09 Juni 2008

Pemimpin Muslim Mendesak Pemerintahan Barat untuk Menghukum Segala Aksi yang Menghina Islam

The Associated Press Diterbitkan: June 9, 2008


KUALA LUMPUR, Malaysia: Pemimpin Politik Muslim mendesak negara barat untuk memberi hukuman kepada aksi-aksi yang melawan dan melawan Islam.

Ekmeleddin Ihsanoglu, sekjen 56 negara OKI (organisasi Konferensi Islam), mengingatkan bahwa ada kampanye kebencian dan diskriminasi melawan Muslims oleh sekelompok individu dan organisasi.

Dalam pidato pada konferensi di Kuala Lumpur untuk memperbaiki ukhuwah antara Muslims dan Barat, Ihsanoglu memuji bangsa Barat yang mengkritisi berbagai aksi seperti peluncuran film anti al Quran buatan salah satu anggota dewan dari Belanda.

"Penghinaan dan aksi pelaku kejahatan Islamfobia tidak akan memecahkan masalah sepanjang mereka membenarkan bebas membawa kampanye provokasi dalih kebebasan berekspresi" ujar Ihsanoglu.

Awal tahaun ini, peluncuran film Fitna oleh politisi Belanda Geert Wilders yang menyebabkan gelombang protes oleh kaum Muslim yang menyalahartikan ayat-ayat al-Quran dimana ditampilkan gambar-gambar yang menunjukkan teror peperangan.

Ihsanoglu juga mendesak media untuk menggagalkan pendukung kebencian secara total juga insiden lain seperti kartun warga negara Denmark yang menghina Nabi Muhammad.

"Hal ini membutuhkan kemauan kuat dan kolektif suara politik kepada perubahan" ujar Ihsanoglu. "Saat ini waktunya untuk melakukan aksi pada akar-akar masalah sebelum makan hati lebih jauh".

Ihsanoglu tidak menyarankan aksi apa yang harus diambil.

Pada konferensi ini, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mennyerukan kepada pemimpin dunia untuk bekerja sama memelihara agenda perdamaian dunia.

Abdullah berkata bahwa pandangan yang kabur pada Islam masih tetap berlangsung pada dunia Barat dan saya musti menerimanya, hal ini tidak diperparah oleh aksi-aksi yang salah tuntunan dan penodaan dari sebagian kecil kaum muslim.

Dikutip dari http://www.iht.com/articles/ap/2008/06/09/asia/AS-GEN-Malaysia-Defending-Islam.php

Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him

04 Juni 2008

Akhlaq Untuk Buah Hati

 

Akhlaq Untuk Buah Hati
Penyusun: Ummu Aufa

Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.

Anak adalah buah hati setiap orang tua, dambaan disetiap keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi keletihan jiwa orang tua. Anak tidak lahir begitu saja, anak terlahir dari buah cinta sepasang hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan amanat wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik oleh orangtua.

Karena setiap amanat akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana hadist sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Umar yang berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga dan akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pertanggung jawaban orang tua tersebut baik di dunia ataupun di akherat, namun tatkala anak sudah baligh maka mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggung jawaban tersebut adalah dengan memelihara diri dan keluarga dari api neraka:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Dan hal ini dapat diwujudkan dengan memberi pendidikan kepada anak dengan pendidikan yang baik sesuai Al Qur’an dan As sunnah sebagai bekal perjalanan di dunia maupun di akherat. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, “Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”
Pendidikan tersebut banyak cabangnya satu diantaranya adalah pendidikan akhlak, akhlak anak yang baik dapat menyenangkan hati orang lain baik orangtua atau orang-orang di lingkungan. Bahkan akhlak yang sesederhana sekalipun misalnya memberikan wajah berseri saat bertemu dengan saudara muslim yang lain.
Disamping ikhtiar dengan pendidikan akhlak yang bagus hendaknya orangtua selalu mendo’akan anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan naungan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pula. Karena doa orangtua atas anaknya termasuk doa yang mustajab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orangtua atas anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shohih dan Dho’if Sunan Abu Daud hadist no. 1536)
Sebagaimana para nabi dan rosul dahulu yang selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak cucu mereka.
Do’a Nabi Zakaria ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah:
“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38)
Doa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimussalam: “Ya Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anakcucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. Al Baqoroh: 128)
Sungguh islam adalah agama yang sempurna hingga pendidikan anakpun diperhatikan dengan serius. Namun sangat disayangkan orangtua zaman sekarang jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi buah hatinya lantaran kesibukan mereka atau kejahilan (ketidakmengertian) mereka. Prinsip yang mereka pegang adalah Membahagiakan anak. Namun kebahagiaan yang semacam apa yang ingin diwujudkan oleh sebagian para orangtua tersebut?! Ada yang berpendapat bahagia tatkala anaknya bisa mendapatkan sekolah yang favorit dan menjadi bintang kelas, orang yang berpendapat seperti ini maka akan menggebu-gebu untuk mencarikan tempat les dimana-mana, hingga lupa menyisakan waktu untuk mengenalkan islam kepadanya. Adalagi pendapat bahwa kebahagiaan adalah tatkala si anak tidak kekurangan apapun didunia, orangtua tipe ini akan berambisi untuk mencari materi dan materi untuk memuaskan si anak tanpa disertai pendidikan akhlak bagaimana cara mengatur serta memanfaatkan harta yang baik. Dan ada pula
sebagian yang lain bahwa kebahagiaan adalah buah dari keimanan kepada Allah dengan bentuk ketenangan dalam hati; bersabar tatkala mendapat musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan nikmat. Namun jarang ditemukan orangtua yang sependapat dengan tipe ketiga ini. Kebanyakan diantara mereka sependapat dengan tipe 1 dan 2. Dan tatkala mereka tiada, mereka akan berlomba-lomba untuk mewasiatkan harta ini dan itu, padahal telah dicontohkan oleh lukman mengenai wasiat yang terbaik. Bukan sekedar harta atau perhiasan dunia melainkan sesuatu hal yang lebih berharga dari keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman melalui lisan lukman:
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan yang lemah yang bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKu-lah kembalimu, maka kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata), ‘Hai anakku sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau dilangit atau didalam bumi niscaya
Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjaln dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.’” (QS. Luqman: 13-19)
Tatkala anak tumbuh menjadi anak pembangkang, suka membantah kepada orangtua bahkan durhaka kepada orangtua, banyak diantara orangtua yang menyalahkan si anak, salah bergaullah, tidak bermorallah atau alasan-alasan yang lain. Bukan… bukan lantaran karena anak salah bergaul saja, si anak menjadi seperti itu namun hendaknya orangtua mawas diri terhadap pendidikan akhlak si anak. Sudahkah dibina sejak kecil? Sudahkah dia diajari untuk memilih lingkungan yang baik? Sudahkah dia tahu cara berbakti kepada orangtua? Atau sudahkah si anak tahu bagaimana beretika dalam kehidupan sehari-hari dari bangun tidur hingga tidur kembali? Jika jawabannya belum, maka pantaslah jika orangtua menuai dari buah yang telah mereka tanam sendiri. Seperti perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah,
“Hendaknya anak dijauhkan dari berlebihan dalam makanan, berbicara, tidur dan berbaur dengan perbuatan dosa, sebab kerugian akan didapat dari hal-hal itu dan menjadi penyebab hilangnya kebaikan dunia dan akhirat. Anak harus dijauhkan dari bahaya syahwat perut dan kemaluan sebab jika anak sudah dipengaruhi oleh kotoran syahwat maka akan rusak dan hancur. Berapa anak tercinta menjadi rusak akibat keteledoran dalam pendidikan dan pembinaan bahkan orangtua membantu mereka terjerat dalam syahwat dengan anggapan hal itu sebagai ungkapan perhatian dan rasa kasih sayang kepada anak padahal sejatinya telah menghinakan dan membinasakan anak sehingga orangtua tidak mengambil manfaat daria anak dan tidak meraih keuntungan dari anak baik didunia maupun diakhirat. Apabila engkau perhatikan dengan seksama maka kebanyakan anak rusak berpangkal dari orangtua.”
Mungkin saat si anak masih kecil belum akan terasa dampak dari arti pentingnya akhlak bagi orangtua namun saat dewasa kelak maka akan sangat terasa bahkan sangat menyakitkan bagi kedua orangtua. Dan perlu ditekankan bahwa akhlak yang baik dari seorang anak adalah harta yang lebih berharga daripada sekedar harta yang kini sedang para orangtua obsesikan.
Sebelum terlambat mulailah saat ini menanamkan akhlak tersebut, dari hal yang sederhana:
1. Dengan memberi contoh mengucapkan salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Dan maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkan salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
2. Memperhatikan etika dalam makan.
Dari umar bin Abu Salamah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadaku,
“Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari makanan yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Mengajarkan rasa kebersamaan dengan saudara muslim yang lain, misalnya dengan menjenguk orang sakit.
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangan dan mendoakan orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘alaihi)
4. Mengajarkan kejujuran.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Peganglah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan menunjukan kepada surga. Seseorang selalu jujur dan memelihara kejujuran hingga tercatat di sisi Allah termasuk orang yang jujur. Dan hindarilah dusta karena kedustaan menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang selalu berdusta dan terbiasa berbuat dusta hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim)
Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi yang baik pula, generasi pemuda yang taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orangtua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara muslim yang lain. Wallohu a’lam bishowab.
Maraji’:
Begini Seharusnya Mendidik Anak -Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa-, karya Al Maghribi bin As Said Al Maghribi
***
Artikel www.muslimah.or.id

.

__,_._,___

03 Juni 2008

Islam Menjawab Ahmadiyah

Senin, 02 Juni 2008

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, permainan media sangat canggih
bisa menjadi fitnah bagi umat Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
ke-236

Oleh: Adian Husaini

Harian Republika (23 Mei 2008) menurunkan artikel berjudul "Ahmadiyah
Menjawab", karya MB Shamsir Ali SH SHD, Plt. Sekretaris Media dan Informasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Isinya berupa penegasan bahwa Ahmadiyah adalah
satu Jamaah Islam. Sejak keluarnya artikel tersebut, saya menerima sejumlah
SMS yang meminta agar artikel tersebut dijawab.

Syukurlah, pada 26 Mei 2008, Republika menurunkan artikel Dr. Syamsuddin
Arif yang berjudul "Solusi Masalah Ahmadiyah". Artikel ini dengan sangat
gamblang menjelaskan apa dan bagaimana Ahmadiyah dan mengapa para
cendekiawan dan ulama besar di dunia Islam sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah
adalah aliran di luar Islam. Catatan berikut ini akan lebih memperjelas
bagaimana sebenarnya posisi Ahmadiyah dan Islam, khsusunya dari sisi pandang
Ahmadiyah sendiri.

Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh
Ahmadiyah dan pendukungnya - yang biasanya mengaku bukan pengikut Ahmadiyah
- sering mengangkat "logika persamaan". Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari
Islam, karena banyak persamaannya. Al-Quran-nya sama, syahadatnya sama,
shalatnya sama, dan hal-hal yang sama lainnya. Maka, kata mereka, demi
keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui
saja sebagai bagian dari Islam.

Benarkah logika semacam ini?

Penyair dan cendekiawan Muslim terkenal asal Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal
(1873-1938), pernah menulis sebuah buku berjudul "Islam and Ahmadism" (Tahun
1991 di-Indonesiakan oleh Makhnun Husein dengan judul "Islam dan Ahmadiyah".
Terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad bahwa dia adalah nabi dan penerima wahyu,
Iqbal mencatat: "Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah
orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai
pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka
menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir."

Lebih jauh Iqbal menyatakan: "Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang
secara historik timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai
landasannya dan menyatakan semua ummat Muslim yang tidak mengakui kebenaran
wahyunya itu sebagai orang-orang kafir, sudah semestinya dianggap oleh
setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu
memang sudah semestinya, karena integritas ummat Islam dijamin oleh Gagasan
Kenabian Terakhir (Khatamun Nabiyyin) itu sendiri."

Dalam menilai Ahmadiyah, Iqbal tidak terjebak kepada retorika logika
persamaan. Iqbal mengacu pada inti persoalan, bahwa Ahmadiyah berbeda dengan
Islam, sehingga dengan tegas ia menulis judul bukunya, Islam and Ahmadism.
Titik pokok perbedaan utama antara Islam dan Ahmadiyah adalah pada status
kenabian Mirza Ghulam Ahmad; apakah dia nabi atau bukan? Itulah pokok
persoalannya.

Umat Islam yakin, setelah nabi Muhammad saw, tidak ada lagi manusia yang
diangkat oleh Allah sebagai nabi dan mendapatkan wahyu. Tidak ada! Secara
tegas, utusan Allah itu sendiri (Muhamamd saw) yang menegaskan:
"Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing
mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi
sesudahku." (HR Abu Dawud).

Jadi, umat Islam yakin, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat
wahyu setelah nabi Muhammad saw - apakah Musailamah al-Kazzab, Lia Eden,
atau Mirza Ghulam Ahmad - pasti bohong. Itu pasti! Inilah keyakinan Islam.
Karena itu, pada 7 September 1974, Majelis Nasional Pakistan menetapkan
dalam Konstitusi Pakistan, bahwa semua orang yang tidak percaya kepada Nabi
Terakhir Muhammad secara mutlak dan tanpa syarat telah keluar dari kelompok
umat Islam.

Sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah sebenarnya juga dilakukan berbagai agama
lain. Protestan harus menjadi agama baru karena menolak otoritas Gereja
Katolik dalam penafsiran Bibel, meskipun antara kedua agama ini banyak
sekali persamaannya. Tahun 2007, sebagian umat Hindu di Bali membentuk agama
baru bernama agama Hindu Bali, yang berbeda dengan Hindu lainnya. Agama
Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan. Bibel Yahudi juga dipakai
oleh kaum Kristen sebagai kitab suci mereka (Perjanjian Lama). Tapi, karena
Yahudi menolak posisi Yesus sebagai juru selamat, maka keduanya menjadi
agama yang berbeda.

Logika persamaan harus diikuti dengan logika perbedaan, sebab "sesuatu"
menjadi "dirinya" justru karena adanya perbedaan dengan yang lain. Meskipun
banyak persamaannya, manusia dan monyet tetap dua spesies yang berbeda.
Akal-lah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan monyet. Setampan
apa pun seekor monyet, dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia.

Jika umat Islam bersikap tegas dalam soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pihak
Ahmadiyah juga bersikap senada. Siapa pun yang tidak beriman kepada kenabian
Ghulam Ahmad, dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa
dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah.

Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai - sebuah penerbit buku Ahmadiyah -
menerjemahkan buku berjudul Da'watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya
Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis
buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah
(1914-1965). Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, dan pada tahun
1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul "Invitation to Ahmadiyyat".

Para pendukung Ahmadiyah - dari kalangan non-Ahmadiyah - baiknya membaca
buku ini, sebelum bicara kepada masyarakat tentang Ahmadiyah. Ditegaskan di
sini: "Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat
menjumpai Allah Ta'ala di luar Ahmadiyah." (hal. 377).

Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Masih al-Mau'ud mewajibkan umat
Islam untuk mengimaninya. Kata Bashiruddin Mahmud Ahmad: "Kami sungguh
mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk
menyongsong dengan baik utusan Allah Ta'ala yang datang guna menzahirkan
kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan
beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak
keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan
mendatangkan keberkatan." (hal. 372).

Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad - yang oleh kaum Ahmadiyah juga
diberi gelar r.a. (radhiyallahu 'anhu), setingkat para nabi -- bukti-bukti
kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua
nabi selain Nabi Muhammad saw. Sehingga, kata dia: "Apabila iman bukan
semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan
hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari
kedua hal yaitu mengingkari semua nabi atau menerima pengakuan Hadhrat Masih
Mau'ud a.s." (hal. 372).

Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: iman kepada Ghulam Ahmad
atau ingkar kepada semua nabi? Bandingkan logika kaum Ahmadiyah ini dengan
ultimatum Presiden George W. Bush: "You are with us or with the terrorists".
Oleh Ahmadiyah, umat Islam dipojokkan pada posisi yang tidak ada pilihan
lain kecuali memilih beriman kepada para nabi dan menolak klaim kenabian
Mirza Ghulam Ahmad.

Masih belum puas! Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini:
"Jadi, sesudah Masih Mau'ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau
akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi
penghalang di jalan Masih Mau'ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak
menginginkan adanya Islam." (hal. 374).

Jadi, begitulah pandangan dan sikap resmi Ahmadiyah terhadap Islam dan umat
Islam. Dan itu tidak aneh, sebab Mirza Ghulam Ahmad sendiri mengaku pernah
mendapat wahyu seperti ini: Anta imaamun mubaarakun, la'natullahi
'alalladzii kafara (Kamu - Mirza Ghulam Ahmad - adalah imam yang diberkahi
dan laknat Allah atas orang yang ingkar/Tadzkirah hal. 749). Ada lagi wahyu
versi dia: "Anta minniy bimanzilati waladiy, anta minniy bimanzilatin laa
ya'lamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu
bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk/Tadzkirah,
hal. 236).

Itulah Ahmadiyah, yang katanya bersemboyan: "Love for all. Hatred for None".
Namanya juga slogan! Zionis Israel pun juga mengusung slogan "menebar
perdamaian, memerangi terorisme". Kaum Ahmadiyah pun terus-menerus menteror
kaum Muslim dengan penyebaran pahamnya.

Dalam Surat Edaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 25 Ihsan 1362/25 Juni
1983 M, No. 583/DP83, perihal Petunjuk-petunjuk Huzur tentang Tabligh dan
Tarbiyah Jama'ah, dinyatakan:

"Harus dicari pendekatan langsung dalam pertablighan. Hendaknya
diberitahukan dengan tegas dan jelas bahwa sekarang dunia tidak dapat
selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia akan terpaksa menerima Pimpinan
Ahmadiyah. Tanpa Ahmadiyah dunia akan dihimpit oleh musibah dan kesusahan
dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah, tentu akan mengalami
kehancuran."

Umat Islam sangat cinta damai. Tetapi, umat Islam tentunya lebih cinta
kepada kebenaran. Demi cintanya kepada kebenaran dan juga pada ayahnya, maka
Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada ayahnya, "Aku melihatmu dan kaummu dalam
kesesatan yang nyata!"

Nabi Ibrahim a.s. dan semua Nabi adalah para pecinta perdamaian. Rasulullah
saw juga pecinta damai. Tetapi, dalam masalah aqidah, kebenaran lebih
diutamakan. Nabi Ibrahim harus mengorbankan kehidupannya yang harmonis
dengan keluarga dan kaumnya, karena beliau menegakkan kalimah tauhid. Beliau
menentang praktik penyembahan berhala oleh kaumnya, meskipun beliau harus
dihukum dan diusir dari negerinya.

Dalam kasus Nabi palsu, misalnya, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu
Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah
menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam
masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak
dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan
aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap
tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti
yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam.

Masalah aqidah, masalah iman, inilah yang jarang dipahami, atau sengaja
diketepikan dalam berbagai diskusi tentang Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah
eksis adalah karena iman. Berbagai kelompok yang mendukung Ahmadiyah di
Indonesia sebenarnya sudah sangat keterlaluan, karena mencoba untuk
menafikan masalah iman ini. Bahkan tindakan-tindakan mereka - apalagi yang
mengatasnamakan Islam dan menggunakan dalil-dalil Al-Quran -- lebih merusak
Islam ketimbang Ahmadiyah itu sendiri.

Umat Islam Indonesia memang sedang menghadapi ujian berat. Hal-hal yang
jelas-jelas bathil malah dipromosikan. Lihatlah TV-TV kita saat ini, begitu
gencarnya menyiarkan aksi-aksi kaum homo dan lesbi, seolah-olah mereka tidak
takut pada azab Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Luth. Bahkan, para
aktivis Liberal seperti Guntur Romli, pada salah satu tulisannya di Jurnal
Perempuan, dengan sangat beraninya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat
Al-Quran, sehingga akhirnya menghalalkan perkawinan sesama jenis.

Aktivis liberal yang satu ini juga sudah sangat keterlaluan dalam menghina
Al-Quran. Dia menulis dalam salah satu artikelnya (Koran Tempo, 4 Mei 2007),
yang berjudul "Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah" bahwa:

"Al-Quran adalah "suntingan" dari "kitab-kitab" sebelumnya, yang disesuaikan
dengan "kepentingan penyuntingnya" . Al-Quran tidak bisa melintasi "konteks"
dan "sejarah", karena ia adalah "wahyu" budaya dan sejarah."

Kita juga tidak mudah memahami pemikiran dan kiprah tokoh liberal lain
seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, yang begitu
beraninya membuat-buat hukum baru yang menghalalkan perkawinan muslimah
dengan laki-laki non-Muslim dan perkawinan manusia sesama jenis. Meskipun
sudah mendapat kritikan dari berbagai pihak, tetap saja dia tidak peduli.
Bahkan, di Jurnal Perempuan edisi khusus tentang Seksualitas Lesbian, dia
memberikan wawancara yang sangat panjang. Judul wawancara itu pun sangat
provokatif: "Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia."

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, karena permainan media yang yang
sangat canggih, berbagai fitnah dapat menimpa umat Islam. Orang-orang yang
jelas-jelas merusak Islam ditampilkan sebagai pahlawan kemanusiaan.
Sedangkan yang membela Islam tidak jarang justru dicitrakan sebagai
"penjahat" kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, disamping terus-menerus
berusaha menjelaskan, mana yang haq dan mana yang bathil, kita juga
diwajibkan untuk berserah diri kepada Allah SWT. Kita yakin, dan tidak
pernah berputus asa, bahwa Allah adalah hakim Yang Maha Adil. [Depok, 25 Mei
2008/ <http://hidayatullah .com/ <http://hidayatullah.com/> > www.hidayatullah. com]