27 Februari 2010

Hadist Qudsi

"Tidak ada satupun hamba-Ku yang ikhlas kuambil harta yg Kuberikan padanya, kecuali Kuganti dengan yang lebih baik. Tidak ada satupun hamba-Ku yang ridha dengan bala yang Kutimpakan padanya, kecuali Kunaikkan derajatnya. Dan tidak satupun hambaKu yang bersyukur, kecuali Kutambah nikmatKu padanya". Hadist Qudsi


Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him

20 Februari 2010

Sikap Memaafkan dan Manfaatnya bagi Kesehatan


Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al Qur’an, 7:199)

Dalam ayat lain Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)

Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:

... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)

Juga dinyatakan dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.""...menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)

(Qur'an 42:43) Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an,

Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keeping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.

Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.

Memaafkan, adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang

Dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:

Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.

Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.

Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.

Dikutip dari: Harun Yahya


Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him

Islam Melindungi Keutuhan Keluarga


Kamis, 04 Februari 10

Agama yang paling besar perhatiannya kepada keluarga adalah Islam, tidak ada tatanan dan aturan yang memberi perhatian kepada keluarga seperti -alih-alih mengungguli- Islam. Islam memiliki tatanan sempurna dan unggul terkait keluarga, mulai dari fase pra keluarga; bagaimana seorang muslim mendapatkan pasangannya secara baik dan benar, apa saja yang boleh dan tidak boleh dia lakukan, lalu bagimana berakad dengan pasangan, akad mana yang shahih dan akad mana yang rusak, setelah akad harus bagaimana, apa hak dan kewajiban dan seterusnya, dalam semua itu Islam memiliki tatanan sempurna dan terbaik yang tidak akan ditemukan pada selain Islam.

Islam berhasrat membentuk dan membangun masyarakat yang baik, bersih dan mulia, di mana anggota-anggotanya hidup dalam strata kemanusiaan yang luhur sesuai dengan derajat kemanusiaan yang dimuliakan oleh penciptanya, dan sudah dimaklumi bahwa sebuah masyarakat adalah susunan atau kumpulan dari rumah-rumah yang lazim disebut dengan keluarga, ibarat sebuah tembok yang menjulang tinggi lagi kokoh, di mana ia merupakan susunan batu bata yang terekat oleh pasir dan semen, batu bata tersebut adalah keluarga dan tembok kokoh itu adalah sebuah masyarakat. Bata yang baik lagi kuat menyumbang dan memberi andil besar dalam membangun sebuah tembok yang kokoh, sebaliknya dengan bata yang rapuh, sebuah tembok tidak akan bertahan lama.

Tidak keliru kalau dikatakan bahwa kebaikan sebuah masyarakat kembali kepada kebaikan keluarga-keluarga, sebaliknya adalah sebaliknya, dari sini kita memahami besarnya perhatian Islam kepada keluarga, khususnya menjaganya dari keretakan dan perpecahan, membendung sebab-sebabnya, menutup sarana-sarananya dan memblokade jalan-jalannya, hal ini supaya keluarga tetap tegak karena tegaknya keluarga membawa kebaikan kepada banyak pihak.

Penjagaan Islam terhadap keluarga terlihat dari ungkapan al-Qur`an yang menyebut seorang wanita yang bersuami dengan al-muhshanah, kata ini adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti yang terjaga, jadi wanita yang bersuami adalah wanita yang terjaga, terjaga dari perkara-perkara di mana dia patut terjaga darinya, karena dia terjaga maka Islam mengharamkan menikahi wanita yang bersuami, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Dan diharamkan pula kamu mengawini wanita yang bersuami.” (An-Nisa`: 24).

Tidak sampai batas ini, bahkan Islam mengharamkan menikahi wanita yang telah ditalak suami tetapi masih dalam masa iddah, hal ini demi menjaga dan melindungi sebuah bangunan keluarga, karena dia terjaga maka dia harus menjaga kerterjagaan tersebut dengan tidak merobeknya melalui perbuatan yang bisa merobeknya, hal seperti ini ditegaskan pula oleh ayat yang lain, di mana ayat ini mengungkapkannya dengan hafizhah yang berarti yang menjaga atau memelihara, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Sebab itu wanita yang shalih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri.” (QS. an-Nisa`: 34).

Jadi wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga, terpelihara dan terlindungi, dia sekaligus menjaga, memelihara dan melindungi dirinya, termasuk keluarganya agar tidak hancur berantakan.

Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka siapa pun tidak boleh merusaknya dengan tujuan apapun, dengan maksud hendak menikahinya setelah dia rusak dari suaminya, atau hanya sekedar merusaknya dan setelah itu habis manis sepah dibuang atau hanya sekedar untuk iseng seperti isengnya seorang bocah dengan seekor burung emprit, dalam hal ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang merusak seorang wanita atas suaminya dan seorang hamba atas majikannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Benar, orang yang merusak wanita atas suaminya dengan mengomporinya supaya dia berani terhadap suaminya, memanas-manasinya supaya dia melawan suaminya, memprovokasinya supaya dia durhaka kepada suaminya, mendorongnya supaya dia berkacak pinggang di depan suaminya bukan termasuk golongan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena dia salah seorang bala tentara iblis yang dia sebar demi tujuan tersebut, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan –dan dia berkata, “Hadits hasan shahih”- dari Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu dia menyebar bala tentaranya, yang paling dekat kepadanya adalah yang paling besar fitnahnya dari mereka, salah seorang dari mereka datang, dia berkata, ‘aku melakukan ini dan ini’, Iblis berkata, ‘kamu tidak melakukan apa-apa’, lalu salah seorang dari mereka datang, dia berkata, ‘aku tidak meninggalkannya sebelum aku memisahkan antara dia dengan istrinya’, maka iblis mendekatkannya dan dia berkata, ‘kamulah orangnya.” Al-A’masy, salah seorang rawi hadits berkata, menurutku dia berkata, maka iblis merangkulnya dan mendekatkannya.

Karena wanita yang berkelurga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka dia tidak layak menjadi penghancur rumah tangganya sendiri dengan tangannya melalui talak yang dia minta kepada suami tanpa alasan yang dibenarkan, dalam hal ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wanita mana pun yang meminta talak kepada suami tanpa sebab maka haram atasnya bau surga.” (HR. Al-Hakim 3/196 dan dia menshahihkannya, disetujui oleh adz-Dzahabi).

Wanita peminta talak tanpa alasan adalah wanita yang tidak menjaga, dia kufur nikmat, maka layak kalau dia dibalas dengan diharamkannya aroma surga baginya.

Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka dia tidak boleh merusak rumah tangga saudarinya dengan meminta suaminya untuk mentalaknya agar dia bisa memonopoli suami, di samping hal ini merusak sebuah keluarga, ia juga menumpahkan bejana saudarinya, maksudnya menghalangi rizkinya dan seorang wanita muslimah tidak layak melakukan hal ini. “Seorang wanita tidak meminta (suami) mentalak saudarinya untuk menumpahkan apa yang ada di piring atau bejananya, hendaknya dia menikah karena rizkinya atas Allah.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka dia tidak patut membicarakan seorang perempuan di depan atau kepada suaminya dengan pembicaraan yang membuat suami seolah-olah melihatnya, hal ini bisa memicu perasaan suami kepada perempuan tersebut, menyibukan pikirannya kepadanya, seandainya perempuan itu adalah kekasih atau istriku, begitu yang terbersit di benaknya, selanjutnya setan meniup sihirnya dan memasang jaring perangkapnya, maka suami berusaha mencari cara dan tangga untuk bisa sampai kepada perempuan itu, ini berarti istri telah menghancurkan rumahnya sendiri dengan tangannya.

Dari sini maka syariat mengharamkan membicarakan perempuan tanpa sebab yang dibenarkan, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang wanita menyifati seorang wanita kepada suaminya sehingga seolah-olah suaminya melihat kepadanya.”
(Ust.Izzudin Karimi, Lc).

Dikutip dari: buletin al-Sofwah

Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him

Bolehkah MENGIRIM PAHALA Kepada Si Mayyit?


Kamis, 18 Februari 10

Ibadah di dalam Islam bersifat ‘tauqifiyah’ artinya bahwa ibadah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Maka tidak boleh seseorang membuat ibadah atau melakukan ibadah tanpa adanya dalil syar’i yang memerintahkannya. Melakukannya bukanlah termasuk keta’atan kepada Allah Subhanahu waTa’ala melainkan bentuk kedurhakaan terhadapNya, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. asy-Syura: 21)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. al-Jatsiyah:18)

Konsekuensi bagi orang yang beribadah tanpa adanya dalil syar’i adalah ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu waTa’ala, sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak” (Muttafaq ‘alaih)

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan/ ibadah yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

Lalu bagaimana dengan menghadiahkan/ mengirim pahala untuk orang yang meninggal (Mayyit)? Apakah ada dalil yang memerintahkannya?

Buletin edisi kali ini mencoba mengenengahkan masalah aktual di atas yang sering kali dipertanyakan oleh kaum muslimin dengan disertai fatwa ulama dalam hal ini.

PERBEDAAN PENDAPAT DI ANTARA PARA ULAMA

Menghadiahkan pahala untuk orang yang meninggal (mayyit), apakah sampai kepada mereka atau tidak? bukanlah perkara yang baru terjadi pada masa kita saat ini, tetapi masalah tersebut merupakan masalah klasik yang sejak dulu para ulama berselisih pendapat di dalamnya.

Ada dua pandangan dalam hal ini:

1. Bahwa semua amal shalih yang dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit adalah sampai kepadanya, seperti: membaca al-Qur’an, puasa, shalat, dan ibadah-ibadah yang lainnya.

2. Bahwa amal shalih yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit tidak sampai kepadanya sedikitpun kecuali terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu sampai kepadanya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih (yang kuat).

DALIL DARI PENDAPAT YANG RAJIH

1. Firman Allah Subhanahu waTa’ala,

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. an-Najm: 39)

2. Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Hurairah radiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya (orang tuanya).” (HR. Muslim)

Sementara paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam Hamzah radiyallaahu ‘anhu, istri beliau Khadijah radiyallaahu ‘anhaa, tiga putri beliau telah meninggal mendahului beliau, tetapi tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk salah seorang di antara mereka, atau beliau menyembelih, berpuasa atau pun shalat dan menghadiahkan pahalanya untuk mereka. Dan hal itu pun tidak pernah dinukil dari salah seorang di antara para sahabat radiyallaahu anhum. Kalau seandainya hal tersebut baik dan disyari’atkan, maka niscaya mereka telah mendahului kita dalam pelaksanaannya.

Adapun ibadah-ibadah yang terdapat dalil yang menunjukkan pengecualiannya dan sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah: haji, umrah, puasa wajib, shadaqah, dan do’a. Al-Hafizh ibnu katsir rahimahullaah ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu waTa’ala, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm:39) berkata, “dari ayat ini Imam asy-Syafi’I rahimahullaahshallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk melakukannya dan tidak pula beliau membimbing mereka kepadanya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan tidak pula dinukil dari salah seorang sahabat radiyallaahu ‘anhum. Dan kalau seandainya hal tersebut merupakan kebaikan, niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya sedangkan ibadah hanya terbatas pada nash-nash dan tidak boleh dilakukan dengan menggunakan kias-kias dan ra’yu. Adapun do’a dan shadaqah, maka hal itu disepakati sampainya pahala dan terdapat nash dan dalil syar’i atasnya”. (lihat: Tafsir ibnu Katsir 4/258).
dan para pengikutnya menyimpulkan, bahwa bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal tidaklah sampai kepadanya, karena hal tersebut bukanlah dari amal dan usahanya, oleh karena itu Rasulullah

Kemudian jika kita menganggap bahwa pahala amal-amal shalih yang dihadiahkan semuanya sampai kepada si mayyit, maka yang paling utama dan yang sangat bermanfaat untuk si mayyit adalah do’a. Lalu kenapa kita meninggalkan apa yang dianjurkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berpaling kepada perkara-perkara lain yang tidak pernah dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam: dan juga para shahabatnya radiyallaahu ‘anhum?! Sebaik-baik kebaikan adalah apa yang terdapat di dalam petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.


FATWA ULAMA TENTANG MENGIRIM PAHALA UNTUK SI MAYYIT

Pertanyaan:

Syaikh bin baz rahimahullaah pernah ditanya tentang menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal?

Jawaban:

“Adapun membaca al-Qur’an, maka para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala tersebut kepada si mayyit kepada dua pendapat, dan pendapat yang paling kuat adalah tidak sampainya pahala kepada si mayyit karena tidak adanya dalil yang menjelaskan tentangnya; karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengerjakannya untuk keluarga beliau dan kaum muslimin yang telah meninggal seperti putri-putri beliau yang meninggal ketika beliau masih hidup, dan juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabatnya radiyallaahu ‘anhum sepengetahuan kami. Maka yang lebih utama bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya, begitu juga dengan shalat dan puasa sunnah untuk mereka, karena semua itu tidak ada dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hukum asal dalam ibadah adalah tauqifiyah atau tidak ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Adapun shadaqah, maka ia dapat bermanfaat baik untuk orang yang hidup maupun yang sudah meninggal berdasarkan ijma’ kaum muslimin, begitu juga dengan do’a. Orang yang hidup, tidak diragukan lagi bahwa dia mendapatkan manfaat dari shadaqah yang ia keluarkan atau dari orang lain, begitu juga dengan do’a, maka orang yang mendo’akan kedua orangtuanya ketika keduanya masih hidup, maka mereka mendapatkan manfaat dari do’anya, begitu pula haji apabila keduanya tidak mampu karena kondisinya (yang renta) atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, maka hal itu memberikan manfaat kepada mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya seorang lelaki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua renta, tidak dapat menunaikan haji, apakah aku boleh menghajikan atau mengumrahkan untuknya?” Beliau menjawab, “Berhaji dan berumrahlah untuk ayahmu!”, maka ini menunjukkan bahwa menghajikan orang yang telah meninggal atau yang masih hidup yang tidak mampu melaksanakannya karena faktor usianya yang telah lanjut atau sakit baik lelaki maupun perempuan adalah boleh. Maka bershadaqah, berdo’a, berhaji atau umrah untuk orang yang meninggal dan orang yang lemah (tidak mampu) semua dapat memberikan manfa’at menurut semua para ulama, begitu juga berpuasa untuk orang yang telah meninggal apabila puasa tersebut adalah puasa wajib seperti puasa nadzar, kafarat, atau puasa ramadhan berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang meninggal dan memiliki tanggungan (hutang) puasa, maka hendaklah walinya yang berpuasa untuknya.” (Muttafaq ‘alaih).

Dan banyak lagi hadits-hadits yang senada dengannya, akan tetapi bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena adanya udzur syar’i seperti sakit atau safar, kemudian ia meninggal sebelum mengqadha puasanya, maka tidak ada qada’ baginya dan tidak pula memberi makan orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya, karena dalam hal ini dia memiliki udzur. (lihat: Majmu’ Fatawa dan Maqalat Syaikh Bin Baz rahimahullah 4/348).

Dari uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa menghadiahkan/ mengirim pahala untuk orang yang masih hidup atau yang telah meninggal tidak sampai kecuali ibadah-ibadah tertentu yang memang terdapat dalil shalih yang menjelaskan tentang hal tersebut seperti: puasa wajib, shadaqah, do’a, haji atau umrah, berdasarkan pendapat yang Rajih (lebih kuat). Oleh karena itu cukup bagi kita hanya mengamalkan dan memperbanyak ibadah-ibadah yang jelas-jelas terdapat dalil atasnya. Karena tidak ada kebaikan yang paling baik kecuali dalam mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radiyallaahu ‘anhum. Wallahu Ta’ala A’lam. (Oleh: Ust. Abu Nabiel, Lc)

Disadur/dikutip dari : buletin Al-Sofwah

Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him