25 April 2011

Tips Agar Perjalanan Kita Penuh Makna

Melakukan perjalanan mungkin sudah menjadi kebiasaan
sebagian besar di antara kita. Mulai dari berjalan ke sekolah, kampus,
pasar, sekedar berjalan kaki ke warnet bahkan hingga safar ke luar
kota. Selama perjalanan tersebut tentunya membutuhkan waktu. Namun
pernahkah terpikir oleh kita untuk memanfaatkan waktu selama perjalanan
tersebut dengan amalan-amalan yang akan mendatangkan manfaat bagi
kita? Semoga tulisan berikut ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita
semua untuk memanfaatkan waktu perjalanan agar semakin bermakna.  Perbanyak Berzikir  Berzikir
adalah ibadah yang sangat mudah. Bisa dilakukan kapan pun dan tanpa
mengeluarkan banyak biaya. Namun Alloh menjanjikan ganjaran yang sangat
besar bagi orang yang lisannya selalu basah dengan zikir. Apapun
kendaraan yang kita gunakan, serta selama apapun kita melakukan
perjalanan, berzikir dapat kita lakukan setiap saat. Ketika sedang
memegang setang motor atau memegang kemudi roda empat. Ketika berjalan
cepat di jalan tol atau kondisi kendaraan kita terjebak macet. Ketika
hendak pergi ke kampus atau ketika mudik lebaran ke pulau seberang.  Alloh 'Azza wa Jalla berfirman, يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً  "Hai
orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh,
zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang." (QS. Al Ahzab: 41, 42)  أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ  "Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar Ra'd: 28)  Dari Abdulloh bin Basr rodhiallohu 'anhu ia berkata, "Seorang
laki-laki pernah berkata kepada Rosululloh, 'Wahai Rosululloh,
sesungguhnya syariat Islam itu banyak maka beri tahukan kepadaku sesuatu
yang dapat aku jadikan pegangan!' Maka Rosul menjawab,  لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله  "Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan berzikir pada Alloh." (HR. Tirmidzi)  Adapun lafal zikir yang dapat kita baca saat perjalanan sangat banyak sekali. Kita dapat membaca tasbih (Subhanalloh), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allohu Akbar), tahlil (Laa ilaha illalloh) ataupun lafal-lafal lainnya yang telah dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam,  كلمتان خفيفتان على اللسان, ثقيلتان في المزان, حبيبتان الى الرحمان: سبحان الله و بحمده سبحان الله العظيم  "Dua
buah kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan (mizan) dan
dicintai oleh Ar Rohman: Subhanalloh wa bihamdih, Subhanallohil
'azhiim." (HR. Bukhori Muslim)  Demikian pula, kita dapat mengucapkan lafal-lafal lainnya seperti ucapan istigfar (Astaghfirulloh)
sebagaimana Rosululloh menyebutkan bahwa beliau beristigfar lebih dari
70 kali setiap harinya. Seorang salaf pernah berkata, "Perbanyaklah
istigfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar
dan dalam majelis-majelis kalian dan di mana saja kalian berada! Karena
kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!!"  Kita juga dapat membaca sholawat Nabi yang berasal dari dalil yang shohih sebagaimana sabda beliau shollallohu 'alaihi wa sallam yang artinya, "Janganlah
engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan dan bersholawatlah
untukku karena sesungguhnya sholawat yang engkau ucapkan akan sampai
kepadaku di mana saja engkau berada." (HR. Abu Daud dan Ahmad)  Mengulang Hafalan Al Quran  Terkadang
waktu perjalanan yang kita lakukan bisa memakan waktu yang cukup lama.
Terlebih lagi jika kita perjalanan yang kita lakukan cukup jauh. Hal
lain yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu tersebut adalah dengan
mengulang-ulang kembali hafalan Al Quran kita.  Sebagai
contoh misalnya, perjalanan dari rumah ke sekolah, kampus atau kantor
bisa memakan waktu setengah sampai satu jam. Apalagi jika terjebak
kemacetan lalu lintas. Waktu setengah jam dapat kita gunakan untuk
mengulang hafalan Al Quran setengah sampai satu juz.  Sebenarnya
bukan hanya hafalan Al Quran saja yang bisa kita ulang-ulang saat
perjalanan. Bagi Anda yang telah menghafal beberapa hadits Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam bisa juga mengulangnya selama perjalanan. Mengulang hafalan hadits Arba'in misalnya.  Mengulang hafalan ini sangat bermanfaat bagi kita. Membaca Al Quran merupakan sebuah amal ibadah dan para salafushalih
terdahulu amat semangat dalam membaca Al Quran, menghafalnya,
memahaminya dan mengamalkannya. Maka sudah sepantasnya kita sebagai
orang yang menisbatkan diri pada manhaj salaf juga turut menghafal Al
Quran dengan bersemangat. Namun sangat disayangkan sekali banyak di
antara kita yang belum melakukannya.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan (Kitabul 'Ilmi
hal 43, 44), "Maka sesungguhnya merupakan kewajiban bagi para penuntut
ilmu untuk bersemangat dalam membaca, menghafal dan memahami Al Quran
karena Al Quran adalah tali Alloh yang sangat kokoh dan fondasi seluruh
ilmu pengetahuan. Dahulu para salaf sangat bersemangat dengan Al
Quran. Di antara mereka ada yang memiliki kemampuan yang sangat
mengagumkan tentang Al Quran. Di antara mereka ada yang telah hafal Al
Quran sebelum berumur 7 tahun. Di antara mereka ada yang menghafal Al
Quran hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan. Hal ini membuktikan
semangat mereka atas Al Quran. Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk
bersemangat dalam menghafal Al Quran melalui siapa saja, karena Al
Quran diambil secara talaqqi (berguru)."  Beliau
melanjutkan, "Sesungguhnya sebuah hal yang sangat disayangkan, sering
kita jumpai sebagian penuntut ilmu tidak memiliki hafalan Al Quran
bahkan sebagian mereka tidak dapat membaca Al Quran dengan baik. Ini
merupakan sebuah cacat yang besar dalam metode menuntut ilmu. Oleh
karena itu, Aku tekankan kembali bahwasanya wajib bagi para penuntut
ilmu untuk bersemangat dalam menghafal Al Quran, beramal dengan Al
Quran, berdakwah kepadanya dan memahaminya dengan pemahaman salafushalih."  Demikianlah
perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin, seorang ulama besar di zaman ini
tentang wajibnya seorang penuntut ilmu untuk bersemangat dalam
menghafalkan Al Quran. Namun sangat disayangkan, sebagian aktivis
dakwah di zaman ini lebih sibuk untuk menghafalkan nasyid-nasyid dan
mendendangkannya di setiap tempat. Wallohul musta'an.  وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ  "Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. Al Qomar: 22)  Awas Jangan Melanggar Rambu Lalu Lintas!!!  Seorang
pengendara tentunya mengetahui bahwa ia haruslah menaati rambu-rambu
lalu lintas. Maka pengendara yang baik adalah pengendara yang menaati
rambu-rambu lalu lintas yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan
bersama. Sehingga sudah seharusnya bagi seorang mukmin untuk menaati
kesepakatan ini. Sebagai buktinya bahwa setiap pengendara mesti sudah
menyepakati peraturan lalu lintas adalah surat izin mengemudi (SIM)
yang telah dia dapatkan. Karena menaati peraturan rambu lalu lintas
adalah perintah waliyul amr yang tidak bertentangan dengan syariat
Islam dan wajib bagi kaum muslimin untuk menaati perintah waliyul amr
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.  Alloh ta'ala berfirman,  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ  "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa: 59)  Sebagaimana pula sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam,  المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما  "Seorang
muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali
persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR. Tirmidzi, Ad Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)  Namun
sangat disayangkan sekali, banyak di antara kita yang lalai dari
menunaikan kewajiban ini. Sering kali kita melihat (atau mungkin kita
sebagai pelakunya) orang yang melanggar peraturan lalu lintas yang
telah disepakati bersama. Sering kita menyerobot jalur yang semestinya
digunakan oleh orang lain. Jalur yang seharusnya digunakan untuk
kendaraan yang berbelok ke arah kiri menjadi tertutup, padahal
seharusnya kendaraan tersebut dapat langsung berbelok. Maka hal ini
merupakan salah satu bentuk kezholiman dan Alloh ta'ala telah melarang
hamba-Nya untuk berbuat zholim, Alloh berfirman dalam sebuah hadits
qudsi,  يا عبادي إني حرّمت الظلم على نفسي وجعلته محرّما بينكم فلا تظالموا  "Wahai
hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kezholiman atas diriku dan Aku
jadikan hal tersebut haram di antara kalian maka janganlah kalian
saling berbuat zholim." (HR. Muslim)  Demikian
juga kita dapati banyak sekali para pengendara yang menerobos lampu
lalu lintas ketika sinyal berwarna merah yang menandakan harus
berhenti. Jika orang tersebut berkilah bahwa dia terburu-buru, maka
kita katakan bahwa tidak mustahil orang lain pun memiliki kepentingan
yang lebih mendesak dibandingkan kita. Sering kali terjadinya
pelanggaran-pelanggaran tersebut malah menimbulkan mudhorot yang lebih besar seperti kecelakaan lalu lintas bahkan tidak jarang menelan korban jiwa.  Oleh
sebab itu, hendaknya sebagai seorang pengendara yang baik, kita
menaati peraturan lalu lintas yang telah disepakati bersama.  المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما  "Seorang
muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali
persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR. Muslim)  Awas, Pandangan Liar !!!  Selama
perjalanan, banyak hal-hal yang kita lihat. Terlebih lagi jika
perjalanan kita banyak melewati tempat-tempat keramaian seperti pasar
dan semacamnya. Maka pada tempat-tempat seperti itu, panah-panah syaitan
mengintai bani Adam. Syaitan siap melepaskan panah-panahnya namun
sasarannya adalah mata bani Adam. Panah-panah syaitan ini berupa
pandangan mata kita kepada sesuatu yang haram untuk dilihat baik berupa
aurat maupun hal lainnya. Maka orang yang sedang melakukan perjalanan
hendaknya mampu untuk menjaga pandangannya.  Sangat banyak ayat dan hadits yang telah menjelaskan tentang wajibnya menjaga pandangan. Di antaranya firman Alloh ta'ala,  قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ  "Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka." (QS. An Nuur: 30)  Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly hafizhohulloh berkata (Bahjatun Nadhirin
3/142,143), "Ini adalah perintah Alloh kepada hamba-hambanya yang
beriman agar mereka menjaga pandangan dari hal yang haram. Maka
janganlah mereka melihat kecuali hal-hal yang diperbolehkan untuk
dilihat. Hendaklah mereka memejamkan mata mereka dari hal-hal yang
diharamkan. Jika pada suatu saat pandangan mereka tertuju pada hal yang
haram tanpa sengaja, maka palingkan pandangannya sesegera mungkin
sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits.  Beliau melanjutkan, "Diharamkannya An Nadhor
(memandang pada hal yang haram -pent) karena hal ini menyebabkan
rusaknya hati dan menggiring kepada perbuatan buruk dengan
berangan-angan tentang hal tersebut dan berjalan padanya. Oleh karena
itu Alloh memerintahkan untuk menjaga kemaluan sebagaimana Ia
memerintahkan untuk menjaga pandangan yang merupakan sarana untuk
menjaga kemaluan. Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa barang siapa
yang menjaga kemaluannya, maka Alloh akan menganugerahkan cahaya pada
mata hatinya. Oleh karena itu Alloh mengatakan, "yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka."
Banyak di antara para salaf yang melarang seorang laki-laki untuk
memandang amrod (anak kecil yang tampan dan belum tumbuh janggutnya
-pent). Bahkan sebagian ulama mengharamkannya karena fitnah yang sangat
besar."  Demikianlah, jangan sampai perjalanan kita justru akan membawa mudhorot kepada kita dengan hilangnya cahaya dari Alloh pada hati kita karena pandangan liar yang kita lemparkan.  Seorang
yang sholih pernah berkata, "Barang siapa yang menghidupkan perkara
lahirnya dengan mengikuti sunnah, dan batinnya senantiasa mendekatkan
diri pada Alloh, menjaga pandangannya dari hal yang haram, menjaga
jiwanya dari syubhat dan makan makanan yang halal maka firasatnya tidak
akan keliru." Maka balasan yang diberikan akan setimpal dengan amal
perbuatan yang dilakukan. Barang siapa menjaga pandangannya dari hal
yang haram, maka Alloh akan memberikan cahaya pada hatinya. (Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, hal 39).  Selain ayat di atas yang menegaskan tentang wajibnya kita menjaga pandangan, ada banyak sekali hadits-hadits dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam
tentang hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Hurairoh
bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Telah
ditetapkan nasib keturunan Adam tentang zina yang tidak bisa tidak,
mesti dia lakukan: Zina kedua mata dengan melihat, zina kedua telinga
dengan mendengar, zinanya lisan dengan berbicara, zina kedua tangan
dengan memukul, zinanya kaki dengan berjalan, dan hati dengan bernafsu
dan berangan-angan. Maka kemaluanlah yang membenarkan hal tersebut atau
mendustakannya." (HR. Bukhori Muslim)  Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilal hafizhohulloh
mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Nasihat Nabawi untuk
meninggalkan zina dan hal-hal yang menjadi muqoddimah (pendahuluan)
zina. Sebagaimana firman Alloh ta'ala,  وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً  "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Isra: 32) [Bahjatun Nazhirin 3/144].  Demikianlah,
hendaknya pada saat perjalanan, kita bisa menjaga pandangan kita
karena pada saat inilah banyak orang-orang asing yang kita lihat. Namun
hal ini bukan berarti bahwa kita harus menutup mata selama perjalanan
sehingga bahkan rambu lalu lintas pun tidak kita lihat, bisa kacau
urusannya. Namun hendaklah kita melihat apa yang diperbolehkan kita
melihatnya seperti jalan, pemandangan alam dan lain sebagainya.
Kemudian kita menjaga pandangan kita dari hal-hal yang diharamkan untuk
kita lihat baik berupa gambar-gambar maupun aurat manusia.  Penutup  Demikianlah,
sedikit tips yang dapat kami berikan untuk mengisi waktu perjalanan
kita. Penyebutan yang kami sebutkan di sini hanyalah sekedar contoh
bukan pembatasan. Masih banyak kegiatan lain yang bermanfaat bagi dunia
dan akhirat kita untuk mengisi waktu perjalanan. Bisa dengan membaca
buku yang bermanfaat seperti kisah para sahabat maupun para ulama. Kita
juga bisa mendengarkan yang bermanfaat seperti mendengarkan bacaan Al
Quran dan lain sebagainya. Atau mungkin juga kita bisa mendoakan
orang-orang yang kita cintai seperti orang tua, teman, keluarga dan
lain-lain, karena salah satu penyebab terkabulnya doa adalah ketika
kita dalam kondisi safar. Semoga yang sedikit ini bisa memberikan
manfaat untuk kita semua. Amiin ya mujibbas saailiin.  Maraji': Terjemah Hisnul Muslim.Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, Darul Qolam Beirut.Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihiin, Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilal, Daar ibnul Jauzi, Kerajaan Saudi Arabia.Kitabul 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Ats Tsuraya.
 
*** Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma'had Ilmi) Murojaah: Ustadz Afifi Abdul Wadud  

18 April 2011

Apakah Anda Sudah Mengenal Allah?

Pertanyaan ini mungkin jarang sekali kita dengar. Bahkan, bagi banyak orang
akan terasa aneh dan terkesan tidak penting. Padahal, mengenal Allah dengan
benar (baca: ma’rifatullah) merupakan sumber ketentraman hidup di dunia
maupun di akherat. Orang yang tidak mengenal Allah, niscaya tidak akan
mengenal kemaslahatan dirinya, melanggar hak-hak orang lain, menzalimi
dirinya sendiri, dan menebarkan kerusakan di atas muka bumi tanpa sedikitpun
mengenal rasa malu.

Berikut ini, sebagian ciri-ciri atau indikasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah
serta keterangan para ulama salaf yang dapat kita jadikan sebagai pedoman
dalam menjawab pertanyaan di atas:

Pertama; Orang Yang Mengenal Allah Merasa Takut Kepada-Nya
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS.
Fathir: 28)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, ‘Cukuplah
rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.’ Kurangnya rasa takut kepada
Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan/ma’rifah yang dimiliki seorang
hamba kepada-Nya. Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang
paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah,
niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut
kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu
bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut….”
(Thariq al-Hijratain, dinukil dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])

Kedua; Orang Yang Mengenal Allah Mencurigai Dirinya Sendiri
Ibnu Abi Mulaikah -salah seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan
tiga puluhan orang Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan mereka semua merasa sangat takut kalau-kalau dirinya tertimpa
kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang
alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Sebenarnya orang
yang alim itu adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.” (dinukil
dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])

Ketiga; Orang Yang Mengenal Allah Mengawasi Gerak-Gerik Hatinya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “..Begitu pula hati yang telah disibukkan
dengan kecintaan kepada selain Allah, keinginan terhadapnya, rindu dan merasa
tentram dengannya, maka tidak akan mungkin baginya untuk disibukkan dengan
kecintaan kepada Allah, keinginan, rasa cinta dan kerinduan untuk bertemu
dengan-Nya kecuali dengan mengosongkan hati tersebut dari ketergantungan
terhadap selain-Nya. Lisan juga tidak akan mungkin digerakkan untuk
mengingat-Nya dan anggota badan pun tidak akan bisa tunduk berkhidmat
kepada-Nya kecuali apabila ia dibersihkan dari mengingat dan berkhidmat
kepada selain-Nya. Apabila hati telah terpenuhi dengan kesibukan dengan
makhluk atau ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat maka tidak akan tersisa lagi
padanya ruang untuk menyibukkan diri dengan Allah serta mengenal nama-nama,
sifat-sifat dan hukum-hukum-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 31-32)

Keempat; Orang Yang Mengenal Allah Selalu Mengingat Akherat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan
amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah
orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan
lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam
melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah (ujian dan malapetaka)
bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang
yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore
harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya
demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)

Kelima; Orang Yang Mengenal Allah Tidak Tertipu Oleh Harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu
dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya
adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas
niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan
rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun
yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Keenam; Orang Yang Mengenal Allah Akan Merasakan Manisnya Iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara,
barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…” Di antaranya,
“Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada
Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR.
Muslim).

Ketujuh; Orang Yang Mengenal Allah Tulus Beribadah Kepada-Nya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu
dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas
apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah
dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau
perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas
apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang
dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Ibnu Mubarak rahimahullah
mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan
betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal
Hikam oleh Ibnu Rajab).

Demikianlah, sebagian ciri-ciri orang yang benar-benar mengenal Allah. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kita untuk termasuk dalam golongan mereka. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
 
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

13 April 2011

The Great Benefit and Virtue of Supplication

Taken from 'ad-Daa`u wa ad-Dwaa`u' of Imaam ibn al-Qayyim

By Imaam Ibnul-Qayyim

It is the weapon of the believer as is reported by al-Haakim in his

'Mustadrak' from the hadeeth of Alee bin Abee Taalib (RA) from the Messenger

of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) that he said, "supplication is the

weapon of the believer, the pillar of the religion, and the light of the

heaven and earth."

CHAPTER ONE: SUPPLICATION IS A CURE

[Takhreej by Shaykh Alee Hasan with some summary]

Supplication is from the most beneficial types of healing, it is the enemy

of illness and affliction - repressing it and treating it, preventing its

occurrence, removing it or at least alleviating it. It is the weapon of the

believer as is reported by al-Haakim in his 'Mustadrak' from the hadeeth of

Alee bin Abee Taalib (RA) from the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi

wa sallam) that he said, "supplication is the weapon of the believer, the

pillar of the religion, and the light of the heaven and earth." [Abu Ya`laa

[no. 439], ibn Adee [2/296], al-Haakim [1/492] and al-Qudaa`ee [no. 143].

The hadeeth is maudu` as declared by al-Albaanee.

Al-Haythamee says in 'Majma` az-Zawaa`id' [10/147], "the isnaad contains

al-Hasan bin Abee Zayd and he is abandoned." Refer to: 'ad-Da`eefah'

[no.179, 180].]

Supplication takes one of three positions against illness:

1) It is stronger than the illness and therefore represses it.

2) It is weaker than the illness and therefore the illness overcomes it and

afflicts the servant, however it is still possible that it alleviate the

illness.

3) That they be of equal strength and prevent each other from happening in

the servant.

Al-Haakim reports from the hadeeth of Aa`ishah (RA) that the Messenger of

Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "caution is of no avail against

the decree but supplication benefits those things that have occurred and

have not yet occurred. For indeed while the tribulation is descending the

supplication meets it and they remain struggling with one another until the

Day of Judgement."

[Reported by al-Haakim [1/492], at-Tabaraanee in 'al-Awsat' [no. 4615] and

in 'ad-Du`aa' [no. 33], al-Bazzaar [3/29], al-Khateeb in his 'Taareekh'

[8/453] and ibn al-Jawzee in 'al-Waahiyaat' [no. 1411]

The isnaad to the hadeeth is da`eef but the hadeeth is hasan is due to

witnesses.

Refer to: 'Saheeh al-Jaami' [2/1279 no. 7739].]

He also reports the hadeeth of ibn Umar from the Messenger of Allaah

(sallallaahu 'alayhi wa sallam) that he said, "supplication brings about

benefit to those things that have occurred and those things that have not

yet occurred. So devote yourselves to supplication O servants of Allaah!"

[Mishkaat al-Masaabeeh [Eng. Trans. 1/472], at-Tirmidhee [no. 3548] and

al-Haakim [1/493].

The hadeeth is hasan due to witnesses as declared so by as-Sakhaawee and

al-Albaanee.

Refer to: 'Saheeh al-Jaami' [1/641 no. 3409] and 'Maqaasid al-Hasanah' of

as-Sakhaawee [pg. 255 under no. 486].]

He also reports the hadeeth of Thawbaan from the Prophet (sallallaahu

'alayhi wa sallam) that he said, "nothing but supplication averts the decree

and nothing but righteousness increases the life-span. Indeed a person is

deprived of provision due to performing sins."

[Mishkaat al-Masaabeeh [Eng. Trans. 2/1026]. Reported by Ahmad [5/277, 280],

ibn Maajah [chpt. 10, no.90], al-Haakim [1/493], ibn Abee Shaybah [10/441],

ibn Hibbaan [no. 1090], al-Baghawee [6/13] and al-Qudaa`ee [no. 831].

The isnaad is da`eef but the hadeeth has a support that strengthens it from

the hadeeth of Salmaan with the words, "nothing but supplication averts the

decree, and nothing but righteousness increases the life-span." Reported by

at-Tabaraanee in 'al-Kabeer' [no.6128], at-Tirmidhee [no.2139] and others.]

CHAPTER TWO: BEING EARNEST AND PERSISTENT IN SUPPLICATION

From the most beneficial of treatments is to be earnest and persistent in

supplication. Ibn Maajah reports in his Sunan the hadeeth of Abu Hurayrah

from the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) that he said,

"Allaah is Angry at whosoever does not ask of Him."

[Mishkaat al-Masaabeeh [Eng. Trans. 1/473]. Reported by at-Tirmidhee

[no.3373], ibn Maajah [no. 3827], Ahmad [2/443], al-Haakim [1/491] and

al-Bayhaqee in 'ad-Da`waat al-Kabeerah' [no. 22] with a good isnaad. The

hadeeth has a witness with a da`eef isnaad from the hadeeth of Anas reported

by at-Tabaraanee in 'ad-Du`aa' [no.24] and the hadeeth of Nu`maan bin

Basheer reported by the authors of the Sunan.]

Al-Awzaa`ee mentions from az-Zuhree from Urwa from Aa`ishah (RA) that the

Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "Allaah Loves

those who are earnest and persistent in their supplications."

[Reported by Uqailee in 'ad-Du`afaa' [1/198/2], al-Falaakee in 'al-Fawaa`id'

[2/89], ibn Adee [7/163] and at-Tabaraanee in 'ad-Du`aa' [no. 20].

The hadeeth is maudu.

Refer to: 'Silsilah ad-Da`eefah' [no. 637], 'Irwaa al-Ghaleel' [no. 677] and

'Talkhees al-Habeer' of ibn Hajr al-Asqalaanee [2/194 no.716]]

Imaam Ahmad reports in his 'Kitaab az-Zuhd' from Qataadah from Muwarraq that

he said, "I have not found a deserving similitude for the believer except in

the case of a person on the sea floating on a raft supplicating

to his Lord, 'my Lord! My Lord!' so that perchance Allaah, the Mighty and

Magnificent, may save him." ['Kitaab az-Zuhd' of Imaam Ahmad [2/273, chpt.

'Akhbaar Muwarraq al-Ijlee.'] and Abu Nu`aym in 'al-Hilya' [2/235]]

CHAPTER THREE: BEING IMPATIENT WITH SUPPLICATION

From the reasons that prevent the servant from attaining the fulfillment of

the supplication is his being hasty and impatient, so when the answer is

delayed or slow in coming he becomes frustrated and gives up supplicating.

This person is like the one who sows a seed or plants a flower, watering it

and tending to it, then when it is delayed in appearing or flowering he

leaves it and neglects it.

In Saheeh Bukhaaree from the hadeeth of Abu Hurayrah that the Messenger of

Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "your supplications will be

answered as long as you are not impatient by saying, 'I have supplicated to

my Lord but He has not answered.'" [Saheeh Bukhaaree [ Eng. Trans. 8/236 no.

352]]

In Saheeh Muslim from the hadeeth of Abu Hurayrah that the Messenger of

Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "the supplication of the

servant will always be answered provided that he does not supplicate for

something sinful or supplicate to sever the ties of kinship and provided

that he is not impatient." It was asked, "O Messenger of Allaah, what is

impatience?" He replied, "he says: 'I have supplicated and supplicated but I

have not received an answer' then he becomes frustrated and leaves off

supplicating." [Saheeh Muslim [ Eng. Trans. 4/1430 no. 6595]]

In the Musnad of Ahmad from the hadeeth of Anas that the Messenger of Allaah

(sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "the servant will always be in a state

of good as long as he is not impatient." They asked, "how is he impatient?"

He replied, "he says, 'I have supplicated to my Lord but he has not

answered.'"

[Ahmad [3/193-210], Abu Ya`laa [no. 2865], at-Tabaraanee in 'al-Awsat' [no.

2518] and in 'ad-Du`aa' [no. 21], and ibn Adee [6/2219] Its isnaad is hasan

and the hadeeth is also reported via another route from by al-Bazzaar

[4/37].]

CHAPTER FOUR: THE BEST TIMES FOR SUPPLICATION

When the servant combines with his supplication, the presence of the heart

and its being attentive and devoting itself solely to Allaah, sincerely

asking Him for the desired matter, doing so at one of the six times when the

supplication is more likely to answered - these being:

1) The last third of the night.

2) At the time of the adhaan.

3) Between the adhaan and iqaamah.

4) At the ends of the prescribed prayers.

5) From the time the Imaam ascends the pulpit to the time the prayer has

finished on the day of Jumu`ah.

6) The last hour after the prayer Asr.

Alongside this the servant appends to this fear and reverence in the heart,

beseeching his Lord in a state of humility and submissiveness. He faces the

Qiblah and is in a state of purity, he raises his hands to Allaah and begins

by praising and extolling Him, then he invokes peace and blessings upon

Muhammad, His servant and Messenger (sallallaahu 'alayhi wa sallam). He

precedes mentioning his need by seeking forgiveness from Allaah and then he

earnestly and sincerely makes his request as one who is needy and

impoverished, supplicating to Him out of hope and fear. He seeks the means

of getting close to Him by mentioning His Names and Attributes and making

the religion sincerely for Him Alone. Before making supplication he gives in

charity. If all this is done then this supplication will never be rejected

especially if the servant employs the supplications that the Messenger of

Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) informed us would be accepted or if

his supplication includes mention of Allaah's Greatest Name.

{Translators' notes: the proofs for the above times and recommendations

1) From Abu Hurayrah (RA) that the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi

wa sallam) said, "Our Lord, the Blessed and Most High, Descend every night

to the lowest heaven when only the last third of the night remains and says,

'who is calling upon Me so that I maty respond? Who is seeking My

forgiveness so that I may forgive Him." Reported by Saheeh Muslim [ Eng.

Trans. 1/365 no. 1656]

2) From Anas (RA) that the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa

sallam) said, "when the adhaan is proclaimed, the doors to the heaven open

and the supplications are answered."

Reported by at-Tayaalisee [no. 2106], at-Tabaraanee in 'ad-Du`aa' [no.485]

and others with a hasan isnaad and is made saheeh due to supports. Refer to:

as-Saheehah [no. 1413] and the notes of F. Zamrali to 'at-Targheeb fee

ad-Du`aa' [pg. 76-77 no. 35]

3) From Anas (RA) that the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa

sallam) said, "the supplication made between the adhaan and the iqaamah will

not be rejected."

Reported by Abu Daawood, at-Tirmidhee [no. 212, 3594], Ahmad [3/119], ibn

Abee Shaybah [no. 8465] and others with a da`eef isnaad but the hadeeth has

supports which make it saheeh.

Refer to: 'Irwaa al-Ghaleel' [no. 244], the notes of F. Zamrali to

'at-Targheeb fee ad-Du`aa' [pp. 75-78, no. 35].

4) From Abu Umaamah (RA) that the Prophet (sallallaahu 'alayhi wa sallam)

was asked, "when is the supplication most likely to be accepted?" He

replied, "in the last depth of the night and at the end of the prescribed

prayers." Reported by at-Tirmidhee who said that it was hasan and

al-Albaanee agreed.

5) From Abu Musa (RA) that he heard the Messenger of Allaah (sallallaahu

'alayhi wa sallam) saying concerning the hour in which the supplications

will be answered on the day of Jumu`ah, "it is between the time that the

imaam sits (on the pulpit) and the time that the prayer is completed."

Reported by Muslim and Abu Daawood Shaykh Alee Hasan said, "this (time) is

problematic, however this is not the place to explain it."

6) From Jaabir (RA) that the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa

sallam) said, "the day of Jumu`ah has twelve hours, and during one of the

hours you will not find a Muslim servant (of Allaah) asking Allaah for

something except that He will give it to him. Seek it in the last hour after

the prayer of Asr" Reported by Abu Daawood [Eng. Trans. 1/270 no. 1043],

an-Nasaa`ee and others.

7) Abu Daawood reports the hadeeth of Fudaalah bin Ubaid that the Messenger

of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa sallam) heard a man supplicating in

prayer. He did not glorify Allaah and neither did he invoke blessings on the

Prophet (sallallaahu 'alayhi wa sallam). The Messenger of Allaah

(sallallaahu 'alayhi wa sallam) said, "he made haste." He then called him

and said to him or to those around him, "If any one of you prays, he should

commence by glorifying his Lord and praising Him; he should invoke peace and

blessings on the Prophet (sallallaahu 'alayhi wa sallam) and thereafter he

should supplicate Allaah for anything he wishes."

Abu Daawood [Eng. Trans. 1/390 no. 1476], at-Tirmidhee [no. 3476],

an-Nasaa`ee [3/44], Ahmad [6/18] and others with a hasan isnaad. Refer to

the notes of F. Zamrali to 'at-Targheeb fee ad-Du`aa' [pg. 11].

8) From Alee (RA) that the Messenger of Allaah (sallallaahu 'alayhi wa

sallam) said, "every supplication is veiled until one has invoked peace and

blessings upon the Prophet (sallallaahu 'alayhi wa sallam)."

Reported by ibn Mukhlid in 'al-Muntaqaa' [1/76] and al-Asbahaanee in

'at-Targheeb' [2/171] and others.

The hadeeth is hasan due to supports. Refer to: as-Saheehah [no. 2035] and

Saheeh al-Jaami [no. 4523]}

CHAPTER FIVE: SOME OF THE REASONS FOR SUPPLICATION BEING ANSWERED

Frequently we find the supplications that are answered to be those that

combine dire need with the persons sincerely turning to Allaah Alone, or due

to a good deed that the person performed before the supplication and Allaah

made it to be the reason behind His answering the supplication as a way of

showing appreciation, or the person supplicated at a time in which the

supplication will be answered etc.

Someone may think that the reason of the supplication being answered lies in

the wording of the supplication itself and he takes to this wording only,

ignoring the other matters that this supplicator combined when supplicating.

This is like a person who takes a medicine at a recommended time and in a

recommended way and thereby benefits from it, another person sees this and

thinks that taking the medicine on its own suffices to bring about benefit.

This is incorrect and in fact this is an area in which many people have

erred.

For example a person may supplicate at a time of dire need by the side of a

grave and this supplication be answered. Now an ignorant person may see this

and think that the reason behind the supplication being answered lay with

the grave and not know that the reason actually lay in the person being in

dire need and his sincerely resorting to Allaah. If this person, when being

in this situation, had supplicated in a house from amongst the houses of

Allaah then this would have been better and more beloved to Allaah.

CHAPTER SIX: SUPPLICATION IS LIKE A WEAPON

Supplications and seeking refuge are of the level of a weapon. The strength

of the weapon lies in the strength of the one wielding it and not merely in

its own natural strength. So when the weapon is complete having no defect

and the arm wielding it is strong and any obstacles are absent - then the

weapon will cause harm to the enemy, and when any of these three matters are

absent then the desired effect of the weapon will also be absent. Similarly

when the supplication, in and of itself, is corrupt, or the supplicator does

not combine his heart with his tongue at the time of supplication, or for

some reason there be an obstacle preventing the answer - then the desired

outcome will not be achieved.