28 Oktober 2008

Info No.Rekening PPPA

Saudara/i ku bagi yang ingin ber-infak/ zakat/ sedekah. Yuk segera mumpung kita bisa maka segeralah berbuat, karena waktu dan kesempatan yang ada tidak akan datang dua kali. Saudarakoe
 
Salam Baik buat Anda semua..."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu waridwanu wamagfiratuhu"
 
 
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Info No.Rekening PPPA
NO. REKENING ZAKAT / SEDEKAH
 
a/n : Ponpes. Daarul Qur`an Indonesia
       
• Bank Muamalat A/C. 301 005 6215 Cab. BSD Serpong
• BNI Syariah A/C. 103 810 317 Cab. Sudirman
• Bank Syariah Mandiri A/C. 800 112 1121 Cab. Pondok Indah
• Bank Permata Syariah A/C. 097 100 1194 Cab. Pondok Indah
• BRI Syariah A/C. 311 616 165 Cab. Mampang Prapatan
• Bank Hikmah A/C. 5500 526 Cab. Larangan Kreo-Ciledug

 
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 

27 Oktober 2008

Sepucuk "Hidayah" Buat Seorang Sahabat

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

dakwatuna.com - "Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya. "
Sumpah serapah itu keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali
kekang kudanya meninggalkan medan perang yang masih berdebu.
Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai mengambil langkah seribu.

Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur.
Jiwanya masih terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan
pasukannya, ditambah lagi sebuah peristiwa tragis masih membekas di
pelupuk matanya. Ketika Argenta harus menyudahi duel mautnya melawan
orang yang selama ini amat disegani, seorang jenderal, panglima perang
sekaligus seorang sahabat yang selama ini menjadi atasannya. Gregorius
Theodorus, panglima Romawi yang menjadi muslim tewas di ujung pedang
bawahannya sendiri, Argenta.

"Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia.
Berlindung dengan pasukan panah." Margiteus resah. Topi besi yang
menutupi kepalanya melorot sepertiganya. Upaya evakuasi itu sungguh
melelahkan.

"Apa yang terjadi dengan Gregorius?"

"Dia sudah mati."

"Oh, malang benar orang itu."

Dia seorang muslim," imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang
panjangnya.

"Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat."

"Aku telah membunuhnya. " Argenta terduduk lesu

"Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang
pernah dimiliki bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku."

"Siapa yang akan menggantikannya? "

"Wardan."

"Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!" Argenta merasa sangat kecewa.

"Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi
restu."

"Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang
sakit. Orang itu tahunya cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu
mana mungkin mampu menahan gempuran pedang orang Islam."

Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut
Argenta. Bara api menjalar-jalar hampir menyentuh sepatu kulit
lembunya yang berdebu tebal.

"Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari
orang-orang Khalid yang berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa?
Merekakah yang kuat atau kita terlalu lemah!?"

"Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita
menyukai hidup ini."

"Kau pernah melihat Khalid."

"Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di
Parsi. Kedua saat dia bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk
Islam."

"Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu
gagah manusia bernama Khalid itu?"

"Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan
Khalid." Margiteus tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil
melempar pandangan jauh ke gugusun bintang-bintang yang menghias
cakrawala.

Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke
seluruh penjuru batok kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.

"Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi
Muhammad lalu diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid
menarik pedangnya dia menjadi perwira tidak terkalahkan. Tiada lawan
yang dapat mengalahkannya sehingga mendapat gelar `Pedang Allah' dari
Nabinya."

Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita
yang selama ini menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah
menjadi igauan para kaisar di imperium Romawi.

Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar
mereka tidak lari dari medan perang, namun bisa hancur luluh oleh
pasukan Khalid? Dia telah menguasai jalur perniagaan di kota Tadmur
dan menguasai Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu wilayah
Syria jatuh ke tangan mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua
lebur. Porak poranda. Hancur. Pasukan semut menumpaskan bala tentara
gajah. Musibah apakah yang tengah menimpa imperiumku ini?

"Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari
ribuan pejuang Romawi yang tidak mempercayainya. " Ketus Argenta
menahan amarah. Margiteus sudah bangun dari tidurnya, dia menyarungkan
pedangnya ke sisi kuda perang yang tengah asyik memamah santapan
rumput hijau. Margiteus tampak lesu. Mungkin sesuatu yang berat sedang
dipikirkan. Episode perang esok, entah apa yang akan terjadi?

***

Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada
prestise yang perlu dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga
mempertahankan Syria, wilayah kekuasaannya di sebelah timur. Sementara
para pejuang Islam membawa misi membebaskan Syria dari cengkeraman
pejajahan Romawi di samping tugas berat menyebarkan dakwah Islamiah.

Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad
yang bagaikan suatu keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan
Romawi walau hanya dengan kekuatan 39.000 tentara Islam yang berani
berkorban demi agama mereka.

Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi
kehebatan tentara Islam yang terus menggempur, menyerbu dan merangsek
bagaikan air bah yang pantang surut. Namun bukan berjiwa ksatria
namanya kalau harus menerima begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala
Argenta merasakan ada titik-titik kelemahan dari tentara Islam
disitulah upaya serangan balik dilakukan. Mereka menghantam sayap kiri
dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara pertempuran semakin
memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di sana, dia
lenyap dalam hiruk pikuk Yarmuk.

"Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang
ini adalah perang tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan
Romawi. Kalian bukan anak-anak Romawi kalau mati di tangan mereka yang
sedikit dan lemah itu." Argenta meniup semangat pasukannya.

Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang
seakan tak pernah berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua
tentera meregang nyawa, dalam erangan panjang yang memilukan. Ya!
Perang memang sesuatu yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi
belas kasihan. Benarlah, dalam perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!

"Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople. " Teriak salah
seorang tentara Romawi di tengah berkecamuknya perang itu. Laungan
teriakan itu timbul tenggelam seakan ditelan kalutnya pertempuran,
nyaris tidak diketahui dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi
hantaman dahsyat yang meredupkan semangat juang para tentara Romawi.
Seorang Kaisar merangkap panglima tertinggi melarikan diri! Tragis!!!
Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang ada di benak Argenta.

Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar.
Mereka tidak lagi memiliki garis komando di medan tarung itu. Daya
tempur merosot drastis. Mereka mulai berhitung bila melanjutkan
perang, nyawa melayang atau menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya
banyak diantara mereka yang memilih undur diri. Nyawa lebih penting!

"Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan
tentaranya bertempur di barisan depan. Sementara mereka mengambil
posisi di barisan belakang. Mereka dapat dengan leluasa melarikan
diri. Mengapa mereka menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang
demi Romawi dan diri kita sendiri. Bukan demi Kaisar." Argenta
memprotes semangat pasukan Romawi yang mulai luntur.

"Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang
harus ditunaikan. Kita dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang
mengatur strategi. Apatah lagi mendeteksi taktik musuh dan memompa
semangat para tentara. Kita terpaksa mundur juga." Sergah seorang
tentara menegur Argenta yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam
dirinya. Diakui memang sukar mencari tipikal prajurit Romawi sekaliber
Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan Kaisar sendiri melarikan
diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang mereka tahu hanya
menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.

"Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!"
Teriakan itu membuyarkan lamunan para tentara Romawi itu. Argenta
mulai beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap, mencoba membalap
kuda tentara tersebut.

"Lihat di medan sana." Argenta menoleh sambil memastikan letak yang
ditunjuk itu. Dari kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun
tidak sehebat tadi karena banyak tentara Romawi yang sudah melarikan
diri. Yarmuk bergolak lagi.

"Kenapa? Ada apa?"

"Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah
Khalid." Bola mata Argenta gesit membidik sasarannya. Terekam
kegagahan Khalid di kelopak matanya. Khalid sedang melaju dengan
kudanya. Paling terdepan dan paling piawai berkuda. Dia menangkis
setiap hambatan di depannya sambil melaungkan kalam Allah, mengobarkan
jihad para pejuangnya. Dia menebas leher-leher musuh. Baginya tak
mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa tidak ada perwira Romawi
seperti dia?"

"Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku
yang bertempur paling depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan
penerus imperium Romawi. Kini tidak saja terdengar kebobrokan
orang-orang Istana di Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke
seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Tiranik! Pemeras airmata dan darah
rakyat. Apakah ini balasan Tuhan kepada imperium Romawi?"

Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang
baru pertama kalinya dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat
tinggi. Ketaatannya kepada Kaisar tiada berbagi. Mengapa harus dibayar
pengorbanan para tentaranya dengan sikap pengecut para atasannya. Kuda
dipacu Argenta secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus
ditanggung terbang bersama deru angin. Dia pasrah. Samar-samar
terlihat kota Damascus berdiri megah. Apakah kota ini sekokoh dulu?
Argenta makin terbawa dalam lamunannya.

Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan
50,000 orang tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di
Damascus, Antokiah dan Caesarea serta ada juga yang turut mabur
bersama Kaisar Heraklius ke Constantinople. Pertempuran sehari itu
meninggalkan satu catatan buruk dalam sejarah perang Romawi yang sulit
dihapus dalam sejarahnya. Mereka harus bertekuk lutut dengan pasukan
yang bilangannya jauh kecil dengan peralatan perang yang jauh
tertinggal dibanding mereka.

***

Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke
pangkuan kaum muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV
mengadakan jamuan kelahiran anak lelakinya. Khalid bersama beberapa
orang tentara Islam berhasil memanjat tembok kota sekaligus membuka
pintu gerbang al-Syarqi dan al-Jabiat. Panglima Vartanius yang
mengepalai tentara Romawi di Kota Damascus terpaksa melarikan diri ke
Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja Jabala IV terpaksa mengirim
utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum muslimin. Argenta
melarikan diri ke Antokiah.

"Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus," Seorang lelaki yang
telah berumur memberikan sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah
Margiteus membayangi hampir seluruh pikirannya di pagi yang cerah di
Antokiah. Bukankah Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu? Dia masih
belum mati?

Argenta,

Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi
percayalah aku di sini senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan
Allah.

Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi
makan sebagaimana makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu
kaki dan tangan untuk diinterogasi. Mungkin dengan inilah menyebabkan
aku mengenal Allah swt yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu walau waktunya
mungkin sangat singkat.

Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa
sebagaimana biasa dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa
rakyat dengan kuda karena menunggak pajak. Ada ketenangan di sini
sehingga aku bisa mengenal siapa sesungguhnya diriku, tujuan hidup dan
agamaku yang satu. Semuanya jelas dan terbentang indah di benak
sanubari ini.

Argenta,

Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang
di medan juang. Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang
tahu arti menghormati. Raut mukanya tenang menyiratkan keteduhan
jiwanya, hal itulah yang membuat siapa saja tidak menyangka kalau dia
itu Khalid, panglima Islam paling agung. Percayalah!

Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon
diturunkan dari langit. Itu semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para
penakut yang muncul dari para lawan tarungnya setiap kali berhadapan
dengan pedangnya. Pedang Khalid hanya besi yang ditempa seperti pedang
lain. Tidak ada yang istimewa. Khalid dahulu juga seperti kita. Dia
penentang Islam dan Rasulnya. Setelah mendapat hidayah dia beriman.
Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi Muhammad ke atasnya bahwa dia
adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah, terhunus buat
menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid
senantiasa menang di setiap perang yang diikutinya.

Argenta,

Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja
karena kebenaran ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya
pada Khalid. Bagaimana kedudukanku seandainya aku memeluk Islam
dibanding dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk Islam.
Jawabannya sama saja di sisi Allah malah mungkin lebih mulia darinya
sebaik ungkapan syahadah di bibir dan diyakini di dalam hati. Aku
sungguh takjub. Sampai sebegitukah? Tanyaku mana mungkin jadi seperti
itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan menyaksikan
keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang
setelahnya dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan
berjumpa dengan Baginda, maka tentunya dia lebih mulia.

Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu
benar. Tapi percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya.
Cintanya sangat tinggi kepada Allah dan Rasulnya. Itulah yang
membuatnya tidak gentar menghadapi musuh. Dia ingin benar mati di
medan perang. Tidak seperti kita yang sungguh takut akan kematian
karena kecintaan kepada dunia ini. Aku bertanya-tanya. Kalau begitulah
kondisi Khalid. Tentu sungguh agung sekali agama dan pegangan yang
dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang genius perang.
Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.

Argenta,

Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu
selama ini kau dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang
akan Romawi seperti juga kau. Islam tidak memisahkan kita dengan
Romawi. Islam bukannya milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu
orang-orang hitam dari benua Afrika yang selama ini kita anggap hanya
layak mengangkat tahi para petinggi kita, atasan kita. Di sini
segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku tentang arti
kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.

Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu.
Kau tetap seorang sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di
kandung badan. Cuma aku harap persahabatan ini lebih manis kiranya
dapat kau membuka hatimu menerima hidayah-Nya. Semoga Allah menemukan
kita, sahabat. Wassalam.

Margiteus

Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu
hatinya. Sakit dan perih. Apakah ini benteng egoisme paling tinggi
yang berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan dari sahabat
sejatinya. Argenta mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang
jarinya berderap.

***

Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius.
Kota Homs jatuh bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek
ditumpas abis. Bertempurlah kaum muslimin di kota Aleppo yang terkenal
sangat tangguh pertahanannya selama berabad-abad. Allah menolong kaum
muslimin dengan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi
akhirnya mundur ke benteng terakhir di Antokiah. Tentara Romawi
diperintah membuat serangan habis-habisan mempertahan kota. Mereka
digempur habis-habisan oleh pasukan Khalid.

Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya
sesuka hati. Tidak berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan.
Hatinya terbagi dua. Satu sisi terbetik di hatinya kebenaran kata-kata
Margiteus tetapi egoismenya masih mengatasi segala-galanya.

"Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita." Argenta menoleh.
Ditatapnya manusia di hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya.
Darah yang mengalir di sekitar kening menyulitkannya mengenal dengan
pasti orang bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka tanda
tanya Argenta.

"Kau Margiteus"

"Apa kabar sahabatku." Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta
merasa terpukul dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya
itu. Nampak jelas dia bahagia sekali dengan kehidupannya kini. Penuh
keyakinan.

"Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi," Argenta berusaha memancung
kepala Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu
pedang. Sesekali pedang mereka bersilang. Margiteus dengan tenang
terus mendakwahi sahabatnya.

"Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak
Islam bila bersepakat membayar jizyah kecali bila tidak mampu
membayarnya. Kami berjanji akan memberimu perlindungan. Kau tetap
menjadi sahabatku. Romawi tetap megah bahkan akan lebih bersinar
dengan cahaya Islam."

"Diam, pembelot!" Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga melelahkan.

"Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang
Allah turunkan padamu. Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu
menguasai dirimu?" Margiteus tidak putus-putus mendakwahi.

"Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu.
Cuma kau masih ragu-ragu padahal dia sudah jelas di depan mata.
Lihatlah dunia yang kita arungi ini. Adakah karena Romawi megah
seperti yang kau banggakan. Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan
mitos dan kemustahilan menyekat nur ilahi yang ada pada dirimu.
Bangunlah sahabat."

"Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan
anjing-anjing Kaisar," amuk Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan
tengah melawan rasa bersalah yang dipendamnya. Benarkah dia membohongi
dirinya. Kalau dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit meminta
kebebasan dan kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!

Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi
peluang terbuka bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta
terbeliak memperhatikan mata pedang Margiteus jatuh tepat di hadapan
mukanya. Tangan Margiteus menggigil. Dia berusaha mengelak dan ini
memberi peluang kepada Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus
ditusuk hingga tembusi ke belakang badannya. Darah memuncraut
bersimbah ke muka Argenta. Rasa sesal menjalar merasuki naluri
Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir tersungkur.
Kedua-duanya melemah. Lesu.

"Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan
mengkhianati persahabatan kita?"

"Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku
lebih rela mati. Aku merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri."

"Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan
membunuh seluruh umat manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang
menentang agama kami secara kekerasan. Itupun kepada yang mengangkat
senjata. Tidak boleh terjadi pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan
orang tua serta yang uzur…. Ohhh"

"Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku
saja."

"Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini.
Pedang yang terpaksa aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati.
Betapa pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih pedih lagi diriku yang
memikirkan persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku berdosa
terhadap agamaku… Allahhh…"

"Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku
khawatir kau sudah melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku
menipu diriku sendiri! Aku menipu kau wahai sahabat! Maafkan aku."

"Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam
Islam kemanusiaan itu tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita
bertemu karena Allah dan berpisah juga karena-Nya. Kalau kau
mengasihiku. Inilah aku yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai
kehormatan dan kemegahanmu semua itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi
seandainya kau mencintai Allah, Dia sesungguhnya tidak pernah mati
ataupun binasa…."

"Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi
diriku lagi di saat kau begini..?"

Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya.
Dirasakannya luka tusukan itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia
tersenyum mendengar keimanan Argenta. Perlahan-lahan jasadnya kaku
mengiringi lafaz syahadah di mulutnya. Argenta terisak meratapi
sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.

Sumber: Seri Sahabat Nabi, Khalid Al-Walid & Abu Hurairah, K
Publishing & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1990

Naskah Terkait:

* Proklamator "Mosi Integral" Bangsa
* Pejuang Tauhid "Waratsatul Anbiya'"
* Di Manakah Hati Nurani Itu?
* Memahami Kalimat Syahadat
* Hal-hal Yang Merusak Tauhid

http://www.dakwatun a.com/2008/ sepucuk-hidayah- buat-seorang- sahabat/

24 Oktober 2008

Dari Memijat, Entaskan Kemiskinan

Friday, 19 September 2008
 
SURABAYA-Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi
tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil
keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, musala,
dan mengurus anak yatim. Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.
 
Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan
Yatim Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya saat akan diwawancarai Surya
untuk tulisan ini. "Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai.
Masih banyak yang lebih bagus, lebih pintar dan lebih hebat," elaknya
saat ditemui di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan
Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9) lalu.
 
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha
sukses. Namun kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir
orang di abad ini.
 
Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan.
Ia mendirikan madrasah, masjid, dan musala di kampungnya, Pacitan.
Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim
dengan menjadi tukang pijat panggilan.
 
Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul
dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. "Saat itu
ada 100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan
(kebatinan) di rumah. Mereka semua tinggal di rumah," kata ibu lima
anak ini.
 
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, namun didikan ayahnya tidak
membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD dia sudah menjadi tukang
pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya 'ditabung'
di musala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.
 
"Saat itu saya masih ingat nasihat ayah. 'Kalau kamu punya rezeki, 50
persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk musala. Pasti rezeki itu
akan barokah'," kenangnya.
 
Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah
dihasilkan, selalu disisihkan untuk musala. Begitu pula ketika orderan
memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang.
 
Saat SMP, Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan
ini Sumirah tidak tertarik mencicip pekerjaan lain. Ndilalah,
kemampuan memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986, Sumirah
dan suami mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini, selain tetap
memijat, ia bekerja di pabrik PT Horison Sintex (sekarang Lotus). Ia
hanya masuk pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.
 
Namun dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang,
Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu,
menjahit baju, dan tukang keriting rambut. "Karena pekerjaan banyak,
rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20
kali," akunya sambil tersenyum.
 
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia
mengantongi Rp 2 juta. Namun limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk.
Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, musala-musala, dan masjid
di desanya. Sumirah enggan menyebut nama-nama musala itu. "Nanti saya
ndak di-ridhoi kalau pamer," tukasnya.
 
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa
dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya mem-paving
seluruh jalan itu. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena
simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
"Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena
tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh, kan,"
katanya.
 
Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar
kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang
berukuran 2,5 meter x 13 meter. "Sebagian dari mereka saya kos-kan di
depan rumah. Saya sewa tiga kamar," katanya.
 
Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan
sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 WIB, anak-anak itu diusir.
"Mereka saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk,"
kata Sumirah.
 
Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp
4 juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan, ia
berdoa. Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono,
dermawan dari Barata Jaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya zakat
maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. "Agar tidak mengganggu
penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan," katanya.
 
Panti Asuhan Amanah, kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah
tahun 1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah
mengasuh balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu,
sekarang berumur sembilan bulan. "Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak
sini, 16 Oktober 2008 nanti saya mantu lagi," ujarnya dengan mata
berbinar.
 
Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan
donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas subuh, anak
yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan
suami juga membuka toko kelontong.
 
Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, "Pergunakanlah mata hati.
Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti."
 
 
sumber: Surya Online
 

Berebut Kedudukan

By K.H. Abdurrahman Arroisi
Senin, 20 Oktober 2008
 
Saling berlomba untuk memperebutkan kedudukan atau jabatan kini makin marak di mana-mana. ''Penyakit'' tersebut menimpa semua golongan dan lapisan. Tokoh agama melawan tokoh agama, politisi melawan politisi, pedagang melawan pedagang, dan sebagainya. Padahal karunia Tuhan begitu banyaknya, sehingga takkan habis kalau ''diperebutkan'' secara adil. Allah berfirman: Andaikata kamu hitung kenikmatan Allah, sungguh kamu takkan mampu melakukannya ( Q.S. 14: 34).
 
Perihal kedudukan ini, barangkali ada baiknya bila kita menyimak kembali dialog antara Khalifah Harun al-Rasyid dengan seorang penasihatnya. Suatu ketika, Khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal dekat dengan para ulama, mengunjungi salah seorang penasihatnya.
 
''Tuan guru,'' kata Khalifah, ''sudah banyak ulama lain memberi peringatan, dan tak sedikit pula yang menyampaikan kabar gembira. Tapi sepatah pun belum pernah saya dengar dari Tuan. Hati saya belum puas rasanya.'' Ulama yang arif itu terdiam, sesudah berpikir sejenak lalu menjawab, ''Bolehkah saya minta air putih dulu? Secawan untuk saya dan secawan untuk Tuan Khalifah.''
 
Permintaan itu membuat Harun Al Rasyid keheranan. Namun segera ia perintahkan pelayan menyediakan dua cawan air putih. Sesudah tersedia di meja, sang ulama yang bersahaja itu menyuruh Al Rasjid menghirupnya. Tapi, tiba-tiba, sebelum cawan tadi menyentuh bibir Khalifah, penasihatnya mencegah dan bertanya, ''Maaf Amirul Mukminin. Tahan sebentar, jawab dulu pertanyaan saya. Andaikata di suatu padang pasir yang gersang, matahari seolah bertengger di ubun kepala, sedangkan Tuan tidak mempunyai persediaan air, sehingga tak berapa lama lagi bakal mati sengsara, apa yang Tuan lakukan apabila tahu-tahu ada seorang musafir menawarkan air dengan syarat harus Tuan bayar berupa singgasana dan kekayaan Tuan?''
 
Tanpa berpikir panjang Harun Al Rasyid menjawab, ''Dalam keadaan seperti itu, separuh kerajaan pun akan saya serahkan.''
 
Guru itu tersenyum. ''Nah, minumlah air yang di cawan itu sampai habis.'' Al Rasyid menurut. Kemudian sang Guru melanjutkan, ''Air di cawan tersebut sudah masuk ke dalam perut Tuan. Sesudah itu Tuan mendapat kesulitan besar, karena tidak bisa buang air kecil sampai berhari-hari. Seandainya dalam kesakitan itu ada yang mampu mengobati dengan syarat Tuan harus menyerahkan separuh kerajaan yang tersisa, apakah Tuan bersedia?''
 
Kembali tanpa ragu-ragu Al Rasyid menjawab, ''Biarlah saya menjadi rakyat biasa tanpa kekuasaan asalkan sehat walafiat.'' Sang ulama pun tersenyum. ''Karena itu saya heran, mengapa orang-orang alim saling menjegal dan memfitnah hanya untuk menduduki kursi pemimpin. Apakah jabatan lebih penting dari kehidupan?'' - ah
 
Dikutip dari eramuslim

PenyayanG

By Danarto
Kamis, 23 Oktober 2008

Orang penyayang adalah orang yang disayangi Allah Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian disayangi Dzat yang di langit - Nabi Muhammad SAW
 
Khalifah Umar jatuh iba ketika melihat seekor burung pipit yang dibuat mainan seorang anak kecil. Beliau membelinya, lalu melepaskannya ke angkasa. Kemudian, sekian waktu berlalu, seorang ulama bermimpi bertemu khalifah yang telah meninggal dan meyakini bahwa Sayidina Umar telah dikaruniai kebahagiaan sorga.
 
''Tinggalkan hambaKu ini. Jangan kalian takut-takuti. Aku menyayanginya. Dan segala dosanya telah Kuampuni karena ia telah menyayangi seekor burung pipit di dunia. Pahalanya, Kusayangi ia di akhiratnya,'' terdengar suatu suara yang menghardik dua malaikat yang mau menanyai sang Khalifah di alam kubur.
 
Subhanallah. Khalifah Umar telah dikaruniai sorga karena sifat dan tindakan sayangnya, telah melebihi kedermawanannya, keadilannya, dan kezuhudannya. Rasa sayang kepada sesama makhluk mampu menjalin persaudaraan antarmanusia dan melanggengkan hubungan manusia dengan alam. Rasa sayang sang Khalifah telah menjangkau secara luas tentang kelestarian alam.
 
Sifat dan perilaku kasih sayang manusia adalah gambaran pada cermin dari sifat-sifat Allah Yang Maha Pemurah - Yang Maha Penyayang. Sifat itu telah mengantarkan siapa pun untuk berbelaskasih kepada sesama, tanpa memandang agama, golongan, dan kepentingan. Bahkan terhadap hewan, tumbuhan, dan alam benda (tanah, air, api, udara, zat), tak terkecuali sehingga hal itu merupakan pengejawantahan tanggungjawab atas kelestarian alam.
 
Allahu Akbar. Seperti yang selalu disinggung Alquran, makhluk-makhluk di luar manusia itu sesungguhnya hidup persis seperti kita. Mereka juga bisa memberikan kasih sayangnya kepada kita sebagai balasan kasih sayang yang kita berikan kepada mereka, sehingga kita bersama mereka dapat hidup tenteram dan menyenangkan.
 
Tindakan kecil dari kita, ternyata berdampak besar bagi alam. Kasih sayang menimbulkan kasih sayang pula. Dan itu persoalan besar bagi Tuhan juga.
 
Dikutip dari eramuslim
 

15 Oktober 2008

Persiapan Mudik ke Kampung Akhirat

Persiapan Mudik ke Kampung Akhirat
 
 
oleh *Syamsul Arifin* Selasa, 14 Okt 2008 11:52 Mudik adalah kegiatan
perantau untuk kembali ke kampung halaman. Pada hari raya Idul Fitri seperti
yang insya Allah telah kita alami..
 
Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halaman. Pada hari
raya Idul Fitri seperti yang Insya Allah kita alami, nuansanya sangat
terasa kental. Persiapan-persiapan bahkan sudah dilakukan dari jauh-jauh
hari, karena seperti pada tahun-tahun sebelumnya, nuansa mudik menjadi
suasana yang sangat ramai, *peak season*.
 
Pemesanan tiket bahkan sudah dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya,
menghindari kenaikan harga yang berlebihan. Pembelian oleh-oleh untuk sanak
kerabat di kampung halaman pun dipersiapkan dengan rapi dan apik.
 
Mudik bisa berarti pula kembali ke akar kebudayaan kita, ke tempat dimana
kita dilahirkan, di daerah yang menjadi asal muasal keluarga besar.
 
Kota-kota perantauan yang dulunya tidak pernah berhenti beraktivitas, megah,
selalu gemerlap siang dan malam, akan menjadi sepi dan lengang, ditinggal
para penghuni yang biasa mengisi keramaiannya.
 
Susah payah kondisi perjalanan tidak menghalangi niatan tuk pulang ke
kampung halaman; letih, lelah, dan tenaga yang terkurang, direlakan;
membengkaknya biaya perjalanan dan biaya yang dihabiskan, memang sudah
diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi sebagian orang, mereka bahkan
rela mengirit pengeluaran sehari-hari, agar dapat menabung guna memenuhi
biaya perjalanan beserta segala pernak-pernik perjalanan mudiknya.
 
*Mudik ke Kampung Akhirat*
 
Ada suatu tempat, yang pasti kita akan kembali ke sana, yang boleh jadi
luput dari persiapan-persiapan yang terencana, lalai dari penjadwalan yang
tersusun runut, dan dilupakan dari bagian rencana kehidupan kita selaku
manusia. Kampung akhirat.
 
*Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An'aam: 32)*
 
*Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah
kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A'raaf: 169)*
 
*dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (QS. Yusuf: 109)*
 
Tidakkah kita memiliki rasa rindu pula dengan kampung akhirat kita? Tidakkah
kita ingin menikmati indahnya kampung akhirat yang berkekalan waktunya?
 
Maka, sudah seberapa baik perbekalan yang telah kita persiapkan? Bahkan,
sudah sampai seberapa siap diri kita tuk menghadapi perjalanan panjangnya?
 
Padahal, akhirat adalah kampung dengan satu pintu saja, sekali kita
melewatinya, maka sudah pasti dan tidak akan mungkin, kita bisa kembali lagi
ke dunia.
 
Imam Ali bin Abi Thalib KW, pernah berkata, "sesungguhnya kita berada pada
hari dimana hanya ada amal tanpa ada perhitungan, dan sesungguhnya kita
menuju hari dimana hanya ada perhitungan tanpa ada amal".
 
Mari kita jadikan dunia ini sebagai ladang tuk mengumpulkan perbekalan mudik
kita ke kampung akhirat. Semoga ia mencukupi sehingga kita mendapatkan
tempat yang terbaik disana. Allahumma amin.
 
*Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah
diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan)
kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan)
yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah
sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka
masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu
mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi
balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang
diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada
mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa
yang telah kamu kerjakan". [QS. An-Nahl: 30-32]*
 
Jadikan kehidupan yang kita jalani ini menjadi hari-hari pengumpulan bekal
mudik ke kampung akhirat kita, dan tidak cukup sampai disitu, jadikan
seluruh sisa usia kita, menjadi ajang persiapan mudik ke kampung akhirat,
dengan kesabaran dalam menjaga diri dari perbuatan kemaksiatan dan bersabar
diri dalam mengerjakan kebaikan.