Friday, 19 September 2008
SURABAYA-Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi
tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil
keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, musala,
dan mengurus anak yatim. Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.
Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan
Yatim Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya saat akan diwawancarai Surya
untuk tulisan ini. "Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai.
Masih banyak yang lebih bagus, lebih pintar dan lebih hebat," elaknya
saat ditemui di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan
Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9) lalu.
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha
sukses. Namun kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir
orang di abad ini.
Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan.
Ia mendirikan madrasah, masjid, dan musala di kampungnya, Pacitan.
Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim
dengan menjadi tukang pijat panggilan.
Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul
dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. "Saat itu
ada 100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan
(kebatinan) di rumah. Mereka semua tinggal di rumah," kata ibu lima
anak ini.
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, namun didikan ayahnya tidak
membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD dia sudah menjadi tukang
pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya 'ditabung'
di musala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.
"Saat itu saya masih ingat nasihat ayah. 'Kalau kamu punya rezeki, 50
persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk musala. Pasti rezeki itu
akan barokah'," kenangnya.
Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah
dihasilkan, selalu disisihkan untuk musala. Begitu pula ketika orderan
memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang.
Saat SMP, Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan
ini Sumirah tidak tertarik mencicip pekerjaan lain. Ndilalah,
kemampuan memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986, Sumirah
dan suami mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini, selain tetap
memijat, ia bekerja di pabrik PT Horison Sintex (sekarang Lotus). Ia
hanya masuk pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.
Namun dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang,
Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu,
menjahit baju, dan tukang keriting rambut. "Karena pekerjaan banyak,
rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20
kali," akunya sambil tersenyum.
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia
mengantongi Rp 2 juta. Namun limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk.
Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, musala-musala, dan masjid
di desanya. Sumirah enggan menyebut nama-nama musala itu. "Nanti saya
ndak di-ridhoi kalau pamer," tukasnya.
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa
dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya mem-paving
seluruh jalan itu. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena
simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
"Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena
tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh, kan,"
katanya.
Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar
kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang
berukuran 2,5 meter x 13 meter. "Sebagian dari mereka saya kos-kan di
depan rumah. Saya sewa tiga kamar," katanya.
Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan
sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 WIB, anak-anak itu diusir.
"Mereka saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk,"
kata Sumirah.
Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp
4 juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan, ia
berdoa. Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono,
dermawan dari Barata Jaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya zakat
maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. "Agar tidak mengganggu
penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan," katanya.
Panti Asuhan Amanah, kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah
tahun 1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah
mengasuh balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu,
sekarang berumur sembilan bulan. "Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak
sini, 16 Oktober 2008 nanti saya mantu lagi," ujarnya dengan mata
berbinar.
Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan
donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas subuh, anak
yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan
suami juga membuka toko kelontong.
Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, "Pergunakanlah mata hati.
Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti."
sumber: Surya Online