Hukum Perempuan Yang Meminta Cerai Kepada Suaminya
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Ada seorang laki-laki yang telah menikah dan ia ingin menikah lagi dengan perempuan lain, karena ia merasa bahwa istrinya yang ada tidak cukup baginya, sedangkan ia khawatir terhadap dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan haram jika tidak berpoligami. Akan tetapi istri menolak hal itu dan bersikeras minta dicerai kalau suaminya tetap akan menikah lagi, padahal si istri mengetahui hukum syari’at tentang poligami. Lalu apa nasehat Syaikh? Apakah ia tetap tidak mendengarkan penolakan istrinya dan ancamannya dengan meminta cerai (talak)? Ataukah ia tetap menikahi perempuan yang diinginkannya dan menceraikan istri yang ada? Padahal diketahui bahwa si suami itu mampu memberi nafkah (kepada semuanya) dan memenuhi keadilan yang diharapkan? Tolong dijelaskan, wa jazakumullahu khairan.
Jawab :
Saya nasehatkan (kepadanya) agar menikah saja, karena hal itu makin memelihara kehormatan diri dan mengikuti sunnah. Juga kami nasehatkan untuk tidak mencerai istri yang ada; dan kami berpesan kepada istri yang ada, agar selalu bertaqwa kepada Allah, tetap sabar dan tidak meminta cerai, Insya Allah, Allah akan memberi jalan keluar dan kebaikan bagi anda semua, sebagaimana firman Allah,
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang berta-wakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3).
Dan Allah berfirman,
“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4).
Semoga Allah memberi taufiq-Nya kepada kita semua.
( Fatwa Syaikh Bin Baz 11/6/1412 H. dan ada stempelnya. )
====================================================================
Hukum Isteri Melarang Suami Kawin Lagi (Berpoligami)
Kamis, 26 Mei 05
Tanya :
Assalamu 'alakum wr wb
Apakah boleh menurut syari'at, seorang isteri melarang suaminya menikah lagi? Mengingat, sekarang ia tidak bisa lagi melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri karena menderita penyakit akut sehingga tidak dapat mengerjakan hal tersebut. Bahkan, ia lebih senang kalau suaminya -ma'af- berzina (istilahnya: jajan-red.,) ketimbang ia membawa wanita lain yang nantinya sama-sama memiliki sang suami dan mendapatkan harta warisan. Jazakumullah khairan. Wallahul Musta'an.
Jawab:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh
Tidak boleh hukumnya seorang isteri melarang suaminya menikah lagi selama belum terjadi perjanjian antara keduanya pada akad nikah. Jika memang disyaratkan, maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "(Kesepakatan) di antara kaum muslimin adalah berdasarkan persyaratan yang mereka ajukan." (HR.Abu Daud, 3594 dan selainnya)
Bila setelah terjadi persyaratan itu, sang suami tetap menikah lagi; maka si isteri (lama) boleh memilih antara tetap menjadi isteri atau membatalkan pernikahan (fasakh).
Sedangkan sikap wanita melarang suaminya menikah dan rela ia berzina, maka ini jelas merupakan sebesar-besar kejahatan dan dosa, bertentangan dengan fitrah dan menyerupai tingkah orang-orang kafir, na'udzubillah. Wa shallaahu 'ala nabiyyina Muhammad.
(Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Ahmad ad-Duraihim, ketua pencatat peradilan di al-Muzahimiyyah, Saudi Arabia)
=====================================================================
Berpoligami Bagi Orang Yang Mempunyai Tanggungan Anak-Anak Yatim
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa’: 3). Kami berharap agar Syaikh menjelaskan yang sebenarnya mengenai masalah ini.
Jawab :
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.
Ayat di atas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan cara untuk memperba-nyak anak keturunan; serta merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyakan kaum wanita, perbuatan ihsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah a dimana disaat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman,“Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21).
Hanya saja Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pen) bahwa tidak seorang pun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.
( Fatwa Ibnu Baz, di dalam majalah al-’Arabiyah, edisi 83. )
====================================================================
Tidak Ada Kontradiksi Di Dalam Ayat Poligami
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Di dalam Al-Qur’an ada satu ayat suci yang berbicara tentang poligami yang mengatakan,
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisa’: 3), dan pada ayat lain Allah berfirman,
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (An-Nisa’: 129).
Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak mungkin tercapai? Kami memohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan Syaikh.
Jawab :
Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena sesungguhnya keadilan yang di-perintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu’asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mencintai, termasuk di dalamnya masalah hubungan badan (jima’) adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisa’: 129).
Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah i. Beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ اَللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ.
“Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo’a: Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya.” Wallahu waliyuttaufiq.
( Fatawal Mar’ah, hal. 62 oleh Syaikh Ibnu Baz. )
====================================================================
Keridhaan Istri Tidak Menjadi Syarat Di Dalam Pernikahan Kedua
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Saya seorang lelaki yang telah lama menikah dan mempunyai beberapa anak, dan saya bahagia dalam kehidupan berkeluarga, akan tetapi saya merasa sedang membutuhkan istri satu lagi, sebab saya ingin menjadi orang yang istiqamah, sedangkan istri satu bagi saya tidak cukup, karena saya mempunyai kemampuan melebihi kemampuan istri. Dan dari sisi lain, saya menginginkan istri yang mempunyai kriteria khusus yang tidak dimiliki oleh istri saya yang ada; dan oleh karena saya tidak ingin terjerumus di dalam hal yang haram, sedangkan di dalam waktu yang sama saya mendapat kesulitan untuk menikah dengan perempuan lain karena masalah ‘usyrah (hubungan keluarga) dan juga karena istri saya, saya mendapatkan hal yang tidak mengenakkan darinya, ia menolak secara membabi buta kalau saya menikah lagi. Apa nasehat Syaikh kepada saya? Apa pula nasehat Syaikh bagi istri saya agar ia menerima? Apakah ia berhak menolak keinginan saya untuk menikah lagi, padahal saya akan selalu memberikan hak-haknya secara utuh dan saya mempunyai kemampuan matrial –alhamdulillah- untuk menikah lagi? Saya sangat berharap jawabannya secara terperinci, karena masalah ini penting bagi kebanyakan orang.
Jawab :
Jika realitasnya seperti apa yang anda sebutkan, maka boleh anda menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisa’: 3).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mem-punyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ber-puasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya.”
Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syari’at Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam,
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih-sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi ummat-ummat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak.”
Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Kepada penanya hendaknya berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap mereka berdua. Semua hal di atas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, “Dan saling tolong-menolong-lah kamu di dalam kebajikan dan taqwa.” (Al-Ma’idah: 2).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ.
“Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka meno-long saudaranya.”
Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong-menolong di dalam kebaikan.
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,
مَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ.
“Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya.”
Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik. Semoga Allah mem-perbaiki keadaan semua pihak dan semoga Dia mencatat bagi kamu berdua kesudahan yang terpuji. Amin.
( Fatwa Ibnu Baz: Majalah al-Arabiyah, edisi: 168. )
====================================================================
Poligami Itu Sunnah
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Apakah berpoligami itu mubah di dalan Islam ataukah sunnah?
Jawab :
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firman-Nya,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa: 3).
Dan praktek Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam itu sendiri, dimana beliau mengawini 9 wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (9 istri) adalah khusus bagi baliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari 4 istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak tunduknya pandangan (ghaddul-bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman,
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisa: 3).
Semoga Allah memberi taufiq kepada segenap kaum Muslimin menuju apa yang menjadi kemaslahatan dan keselamatan bagi mereka di dunia dan akhirat.
( Majalah al-Balagh, edisi: 1028. Fatwa Ibnu Baz. )
====================================================================
Hukum Asalnya Adalah Poligami
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Apakah hukum asal di dalam perkawinan itu poligami ataukah monogami?
Jawab :
Hukum asal perkawinan itu adalah poligami (menikah lebih dari satu istri) bagi lelaki yang mampu dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim. (Yang demikian itu diperbolehkan) karena mengandung banyak maslahat di dalam memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita yang dinikahi itu sendiri dan berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyak keturunan yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak dan makin banyak pula orang yang menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala semata.
Dalil poligami itu adalah firman Allah,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa: 3).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun mengawini lebih dari satu istri, dan Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun bersabda setelah ada beberapa orang shahabat yang mengatakan: “Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang satu lagi berkata: “Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka”. Yang satu lagi berkata: “Aku tidak akan mengawini wanita”.
Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau langsung berkhutbah di hadapan para shahabatnya, seraya memuji kepada Allah, kemudian beliau bersabda,
أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَّا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمُ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّيْ وَأَنَامُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.
“Kaliankah tadi yang mengatakan “begini dan begitu?!” Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepada-Nya. Sekali pun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat malam tapi akupun tidur, dan aku mengawini wanita. Barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari (umat)ku Riwayat Imam Al-Bukhari.”
Ini adalah ungkapan luar biasa dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mencakup satu istri dan lebih. Wabillahittaufiq.
( Majalah al-Balagh, edisi: 1015, tanggal 19 R. Awal 1410 H. Fatwa Ibnu Baz. )
===================================================================
Istri Malas Melayani Suami
Kamis, 01 April 04
Tanya :
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin: “Seorang istri kurang cakap dalam memperhatikan hak-hak suami, rumah dan anaknya sehingga meminta pembantu, apakah suami harus mengambil pembantu?”
Jawab :
Sekarang ini masalah pembantu rumah tangga menjadi ke-banggaan dan sebagian orang memaksakan diri untuk memiliki pembantu, padahal kondisi tidak terlalu membutuhkan, sehingga timbul berbagai fitnah besar seperti perzinaan antara pembantu dengan putra-putranya atau pekerja laki-laki dengan majikan perempuan atau putrinya. Maka sebaiknya tidak mendatangkan pembantu rumah tangga kecuali dalam kondisi sangat terpak-sa dan pembantu tersebut disertai dengan mahramnya. Apabila ada seorang istri yang meminta suaminya agar mengambil pembantu karena alasan ke-sibukan, maka sebaiknya suami mengatakan kepada istrinya: “Kalau begitu saya akan menikah lagi, sehingga ada seseorang yang bisa membantu kamu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah”. Setelah itu pasti tidak akan berani mengajukan tuntutan lagi. Sebenarnya yang demikian itu jalan keluar yang terbaik dan sangat ber-manfaat untuk suami sebab poligami adalah solusi utama untuk mengatasi pekerjaan rumah tangga yang menumpuk dengan syarat mampu berbuat adil. Ibnu Abbas berkata: “Umat yang terbaik adalah orang yang memiliki banyak wanita”, dan Rasulullah bersabda: (( تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرُ بِكُمْ )) “Nikahilah wanita yang mencintaimu dan pandai melahirkan anak”. Jika seseorang mempunyai istri dua, masih khawatir akan terjadi perse-lisihan sebaiknya ia menikah lagi, dengan demikian akan mengurangi perse-lisihan tersebut. Oleh sebab itu sebagian orang mengatakan: “Orang yang memiliki istri tiga lebih mudah menyelesaikan masalah dari pada orang hanya mempunyai istri dua”. Jika masih terjadi perselisihan di antara mereka bertiga, maka sebaiknya menikah lagi yang keempat kalinya.
==================================================================
Apakah Berpoligami Harus Mendapat Izin
Kamis, 01 April 04
Tanya :
Lajnah Daimah ditanya: "Tidak diragukan lagi bahwa berpoligami dianjurkan di dalam Islam, akan tetapi apakah suami harus meminta izin dari istri yang pertama untuk berpoligami?"
Jawab :
Seseorang jika ingin berpoligami tidak harus mendapat izin dari istri yang pertama, tetapi secara moral dan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, maka sebaiknya suami memberitahu hal tersebut kepada istri pertama, untuk menjaga perasaan dan memperingan sakit hatinya sesuai dengan tabiat wanita pada umumnya, dengan ungkapan bahasa dan tutur kata yang santun serta pemberian materi jika diperlukan.
=====================================================================
Tafsir Ayat Poligami
Kamis, 01 April 04
Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Ayat tentang poligami dalam Al-Qur'an berbunyi: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". (An-Nisa': 3). Dan dalam ayat lain Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". (An-Nisa': 129). Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adil itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan?
Jawab :
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala : "Dan kamu selaki-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". (An-Nisa': 129). Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallaahu 'anha bahwasanya Rasu-lullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala dalam do'anya: "Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan". (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban dan Hakim).
Dikutip dari : al-sofwah
Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him
10 Agustus 2008
Kumpulan Tanya Jawab Tettang Poligami
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar