Pemaksaan Itu Kekuatan Pertama
la telah sampai umur empat puluh tahun. Sebuah usia kematangan, sekaligus puncak waktu untuk mengerti tentang arti sebuah keprihatinan. Prihatin dengan Mekkah yang gersang ideologis dan gersang moral. Prihatin dengan keseharian masyarakat yang menjalani hidup dalam tradisi yang susah dimengerti, bahkan dalam ukuran nalar. Orang saling membunuh, bahkan mematikan anaknya dengan cara yang paling tragis.
Tetapi Allah berkehendak. Dan kehendak-Nya pasti terlaksana. Maka, di sela pengasingannya yang hening di gua Hira, Malaikat Jibil datang 'memaksa' Muhammad. "Bacalah," kata Jbril. Tetapi Muhammad menjawab, 'Aku tidak bisa membaca." Jibril kembali mengulang. Bahkan ia merangkul Muhammad hingga ia merasa sesak. "Bacalah," kata Jibril. Muhammad kembali menjawab, "Aku tidak bisa merribaca."
Jibil kembali 'memaksa', juga dengan rnerangkulnya hingga sesak, kemudian melepaskannya seraya berkata, "Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia telah meciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbrnulah yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran al-qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dlketahuinya" (QS Al-Alaq: 1-5).
Rasulullah mengulang bacaan itu dengan hati bergetar. Begitulah, sebuah babakan penting kehidupan seorang Muhammad. Bahkan kemudian menjadi episode sangat vital bagi keseluruhan kehidupan umat manusia. Bahwa 'pemaksaan' 'bacalah' itu adalah awal dari perubahan sangat dramatis dad segala pentas kehidupan di atas dunia.
Rasulullah gemetar. Badannya berkeringat. la langsung pulang. Tak ayal setiba di rumah ia segera meminta istrinya, Khadijah, untuk menyelimutinya. Khadijah berusaha menenangkannya. Menghiburnya, bahwa orang sebaik dia tidak akan disia-siakan Tuhannya.
Babakan 'pemaksaan' belum berhenti. Seperti diriwayatkan AI-Bukhari, bahwa beberapa hari sesudah itu, Rasulullah berjalan. Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara dari langit. la mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaiat yang mendatanginya di gua Hira' sedang duduk di sebuah kursi menggantung di antara langit dan bumi. Rasulullah menuturkan kisahnya, "Aku mendekatinya hingga tiba-tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan, "Selimutilah aku, selimutilah aku.
Ternyata justru Jibril membawa wahyu, surat AI-Muddatsir, "Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbrnu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah'." (QS Al-Muddatstsir. 1-4)
Rasulullah yang berselimut itu 'dipaksa' bangun lagi. Untuk menerima beban amanah baru: mengagungkan Allah dan menyeru manusia. Bahkan pada kali yang berbeda, kenyataan tentang beban berat yang harus dipikul Rasulullah itu, dijelaskan langsung oleh Allah melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat:" (QS. AI-Muzammil: 5). Karenanya Rasulullah harus selalu bangun malam.
Begitulah. Kisah mula-mula pengangkatan Muhammad sebagai Rasul adalah juga kisah tentang arti sebuah 'pemaksaan' dalam pengertiannya yang positif. 'Pemaksaan' dalam pengertian 'harus'. Bahwa Rasulullah harus menerima beban kerasulan itu. Harus bangun setiap malam. Harus memberi peringatan kepada kaumnya. Untuc kemudian di hari-hari berikutnya, ia juga harus menelan perlakuan pahit dan sangat menyakitkan dari kaumnya, bahkan perlakuan bagian karib kerabatnya. Yang pasti, ia harus mengawali pengangkatan kerasulan itu tidak dalam suasana yang ringan dan berleha-leha.
Kisah-kisah itu menjadi dasar hukum bagi apa yang disebut dengan sunnah (tradisi) kehidupan, bahwa banyak dari alur hidup ini yang mesti dijalani dari pintu keharusan. Bahkan sebagian besarnya, harus dijalani di bawah 'pemaksaan'.
Seorang pencari ilmu harus memaksa dirinya belajar, menghilangkan kantuk di malam-malam yang sering menggoda untuk terlelap, atau bahkan membuai untuk tersesat. Seorang suami harus memaksa dirinya meninggalkan rumah di setiap pagi yang belum terlalu terk. Untuk mengais rejeki yang halal, demi menyambung hidup keluarganya. Seorang pengusaha harus memaksa dirinya bekerja serius, bekerja lebih keras, agar usahanya berjalan dengan baik. Seorang pejabat -semestinya- memaksa dirinya untuk jujur, konsisten, membela kepentingan rakyat, tidak menerima suap, dan menjalankan amanah jabatan sebaik mungkin.
Ini bukan perlawanan terhadap kebebasan atau hak asasi, atau penjajahan atas kemerdekaan pribadi. Tidak. Kenyataan ini justru menjelaskan sisi penting dari arti kemerdekaan: kemerdekaan untuk menjadi baik atas kehendak diri sendiri, tanpa merasa dipaksa orang lain.
Tanyalah kepada ratusan orang yang sukses menjalani hidup ini -sukses dalam pengertian yang sesungguhnya- hampir bisa dipastikan, mereka adalah orang-orang yang terbiasa 'memaksa' diri. Tetapi mereka bukan orang-orang yang suka memaksakan kehendak. Karena antara keduanya sangat jauh berbeda.
Secara naluri, manusia punya dua daya dorong: daya dorong menuju kebaikan dan daya dorong menuju keburukan. Sementara, untuk memilih jalan yang baik memerlukan 'tenaga', hampir sama dan sebanding dengan tenaga yang kita perlukan untuk meninggalkan keburukan. Tenaga itu tidak ringan. Bahkan ia menjadi lebih berat, ketika ada faktor di luar diri kita yang turut memperkeruh suasana. Faktor itu bisa berupa godaan syetan, pengaruh lingkungan, dan segala kesesatan yang bisa menjerumuskan manusia. Karenanya, sedkit atau banyak, sebagian dari tenaga yang kita perlukan untuk menjadi baik itu kita peroleh melalui jalan 'memaksa' diri.
Prinsip 'pemaksaan' diri, sesungguhnya juga makna lain dari prinsip niat dalam setiap pekerjaan. Niat, yang juga berarti kehendak, adalah ruh sekaligus kekuatan pertama dari setiap pekerjaan. Tak berlebihan, bila Rasulullah mengatakan, "Sesungguhnya setiap pekerjaan itu tergantung kepada niatnya." Salah satu pengertiannya, bahwa pekerjaan yang niatnya ikhlas yang akan diterima Allah. Tetapi ia juga mengandung pengertian lain, bahwa pekerjaan itu sangat bergantung kepada kuat lemahnya niat dan kehendak pertamanya.
Belantara hidup di dunia ini telah menyelamatkan orang-orang yang terbiasa 'memaksa' dirinya berjalan di atas jalan yang benar. Pada saat yang sama, dunia juga telah mengubur orang-orang yang tak bisa 'memaksa' dirinya menjadi baik dan menenggelamkan orang-orang yang hidup nyaris tanpa kehendak.
Hari ini, di tengah segala keprihatinan mendalam dalam segala bidang, adalah saat yang sangat tepat untuk kita merenung. Mungkin irama hidup kita terlalu datar dan tak mau sedikit 'memaksa' diri. Padahal masih banyak hal yang semestinya bisa kita lakukan. Boleh jadi banyak kebaikan yang sebenarnya masih bisa kita persembahkan, untuk agama, diri, keluarga, kawan kerabat, dan untuk seluruh nilai-nilai kemanusiaan.
Kita harus bertanya, dan kita harus jujur menjawabnya.
die *Majalah Tarbawi*
Edisi 49 Th.4/5 Desember 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar