30 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] Sedekah Meringankan Takdir

Sedekah Meringankan takdir


oleh Ummi Agus

===============


“Good morning, Pak Gland, what’d happened with your neck?” sapaku pada Bosku
yang pagi itu datang dengan kondisi berbalut penyangga leher; yang
disambut Bosku dengan cerita panjang lebar penyebab balutan dilehernya,
bagaimana saat liburan akhir minggu disuatu daerah pariwisata, ternyata
motor yang ditumpangi bersama rekannya, terpelanting ditikungan dan
terseret di jalanan berpasir dan akibat peristiwa itu, salah urat pada
leher membuatnya sulit untuk digerakkan dan harus dirawat dua hari
dirumah sakit tempatnya berlibur.

Saat ia bercerita, aku teringat anak kami yang sedang melanjutkan
kuliahnya didaerah yang sama, yang juga mengendarai motor sebagai alat
transportasinya; yah, hanya do’a kami sebagai orang tua yang selalu
kami panjatkan kepada Alloh SWT agar anak kami selalu selamat dalam
lindunganNya dan dijauhi dari segala musibah.

Jam-jam sibuk hari itupun berlalu, sambil beranjak pulang aku
lantunkan dalam hati do’a-do’a kepada Alloh, mohon perlindunganNya;
do’a itu berlanjut saat bus yang kutumpangi dari arah belakang bergerak
lambat, beriringan dengan kendaraan lainnya, karena jam yang sama,
semua orang berpacu menuju ketempat tinggal masing-masing.
Walau bus penuh penumpang, Alhamdulillah, Alloh berikan aku rizki
tempat duduk untuk melepas lelah; saat itu posisi dudukku berada di
deretan belakang, maka dengan leluasa aku dapat melihat apa yang
terjadi di depanku; Diantara penumpang yang kuperhatikan, ada dua anak
yang terlihat seperti kakak-beradik berdiri tidak jauh dari tempatku
duduk; si adik dengan posisi jongkok sepertinya sedang menahan rasa
sakit diperutnya, sedangkan sang kakak berdiri disebelahnya seolah
tidak begitu peduli dengan kondisi si adik.

Sekian menit bus berjalan, aku perhatikan kondisi si adik semakin
meringis,pucat, menahan sakit; membuat hati ini tergugah, maka dengan
tidak mempedulikan reaksi penumpang lain, aku bertanya “Adik sakit
perut ya?”.. ternyata menjawab si kakak “iya tuh Bu, mules, masuk angin
barangkali”..

Tanpa berfikir panjang, dengan cepat aku cari uang duapuluh ribuan
yang sudah aku bayangkan dan niatkan untuk aku berikan pada mereka
sejak tadi, lantas aku ulurkan pada si kakak “kalau nanti sampai, bisa
tolong belikan obat masuk angin dan makanan untuk adikmu”, sang kakak
dengan sigap mengiyakan.

Setibanya bus diterminal, dengan tergesa-gesa semua penumpang
berhamburan keluar, begitu juga dengan kedua kakak-beradik tersebut;
kuperhatikan dari jauh bagaimana si adik langsung menuju ke wc umum,
sedang si kakak ke arah pedagang; sedangkan aku, melanjutkan langkahku
mencari kendaraan umum yang akan membawaku menuju rumah; saat itu jam
menunjukkan pukul 16.30, dan entah mengapa, saat berada dalam kendaraan
tersebut, tiba-tiba airmata ini bercucuran tanpa bisa dicegah, saat
itu, terbayang
anak-anak kami –yang sepertinya- usianya tidak jauh
berbeda dengan kakak beradik yang aku temui tadi; bedanya anak bungsuku
dirumah, sedang sang kakak jauh di daerah.

Akhirnya, alhamdulillah, sampailah aku dirumah, dengan mengucap
salam, aku masuki rumah, kupeluk si bungsu, kemudian kulanjutkan dengan
aktifitasku sebagai ibu rumah tangga. Selang beberapa menit sebelum
adzan maghrib, telpon rumahku berdering, aku fikir, mungkin dari
suamiku yang akan minta izin akan pulang setelah sholat maghrib di
kantornya; ternyata dari seberang sana terdengar suara tersendat-sendat
“Bunda,…a..a.. aku.. ba..ru..ja..tuh..dari
motor…ta..pi..ga’..papa..koq’..” wah!...itu suara si sulung,anak kami,
merintih seperti menahan sakit; dengan paniknya aku menjawab..”Mas,
bagaimana kondisinya, dimana jatuhnya.., apa yang sakit, nak”…dg
perlahan anakku menjawab
“Bunda.. ga’ usah panik, aku sudah ditolong
temanku dibawa ke dokter, alhamdulillah ..Cuma mata kakiku yang lecet,
motorku terpeleset ditikungan jalan yang banyak pasirnya”…

Subhanalloh…

Silih berganti terbayang dibenakku, bagaimana peristiwa yang menimpa
bosku dengan kondisi yang sama dan terbayang juga kondisi kakak beradik
di bus sore ini..
Airmata ini berurai tak terbendung…cepat-cepat aku tanyakan “jam
berapa kejadiannya, anakku?”…”kira2 jam 17.30-an tadi, Bun” ujar
anakku..

MasyaAlloh, dengan selisih perbedaan waktu setempat, ternyata takdir
anakku jatuh dari motor berlaku di jam yang sama dengan linangan
airmata ibunya dikendaraan umum tadi.

Subhanalloh..

Dengan penuh kasih sayang seorang ibu, aku besarkan hatinya untuk
selalu tegar dan menyuruhnya istirahat, minum obat, sambil
mengingatkannya untuk selalu dekat dan berkomunikasi kepada Alloh
dengan menjalankan segala perintahNya, do’a orang tua akan selalu
mengiringi..”

Malam itu, setelah semua kejadian dan hubungannya dengan sedekah
yang diberikan dengan ketulusan hati membuahkan lebih ringannya akibat
dari musibah yang Alloh takdirkan pada anak kami, aku ceritakan kepada
suami dan si bungsu; dengan bersama-sama kami panjatkan do’a syukur
kepada Alloh karena hanya dengan rahmat
Alloh SWT anak kami
Alhamdulillah sehat, selamat.

Semoga Alloh jaga istiqomahnya ibadah kami untuk selalu berzakat dan sedekah karena Alloh semata, amiin ya Robbal ‘alamiin.


sumber:eramuslim.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
 
 

27 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] barangsiapa-menyia-nyiakan-shalat-lima-waktu-untuk-amalan-lainnya-pasti-lebih-disia-siakan-lagi

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu
menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa
menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa,

“Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan
agamanya. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan
penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan
semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat
lima waktunya. Kenalilah dirimu, wahai Abdullah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam
Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam
hatimu.“

Oleh karena itu, jangan heran jika kita melihat seseorang yang sering bolong shalatnya, amalan yang lainnya juga lebihdia sia-siakan, lebih sering berdusta, dan lebih menyia-nyiakan amanat.

Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan: Ash Sholah wa Hukmu Taarikiha, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.

***
Mediu-Jogja, 17 Jumadil Ula 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

23 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] Fwd: JUJUR ITU INDAH

----- Original Message -----
From: "Mailinglist Al-Sofwah" <
ustadz@alsofwah.or.id>

JUJUR ITU INDAH
Senin, 06 Juli 09

"Pokoknya kita mesti cerai hari ini," tukas sang istri kepada suaminya.
"Kembalikan uang saya, saya tidak rela dengan barang cacat seperti ini,"
sahut pembeli kepada penjual. "Tok..tok..tok.." suara palu diketuk, hakim
memutuskan bahwa si fulan bin fulan tersang ka kasus pendinginan uang. dan
masih seabreg kasus lainnya, terjadi di negri kita ini, disebabkan karena
ketidakjujuran dalam mengemban amanah, bagaimanakah Islam menilai
kejujuran..!

Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan,
olehkarenanya hendak-lah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi,
dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.

Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap
ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan
nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi.

Akhlaq itu adalah jujur dalam berkata dan beramal, karenanya seorang muslim
akan merasa tentram, dan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang
berakhir di jannatullah.

Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang
salimah (lurus), pemandangan ironi pun kerap terjadi, ya!.. tanggal 01 April
dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal
dengan April Mop [hari penghalalan ber bohong] innalillahi wainna ilaihi
rajiun! inilah pembatalan syari'at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama
Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan
bohong.

Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]" (QS.
at-Taubah:119), dalam ayat yang lain, "Agar Allah memberikan balasan kepada
yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia
menghendakinya." (QS. al-ahzab: 24)

Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, "Itu semua menunjukkan bahwasanya
kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah,
oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak
menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat"

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah kalian
berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada
kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila
seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala
sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena
sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya
kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa
berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala sebagai seorang
pendusta." (Muttafaqun 'alaih).

Lantas apakah hakekat kejujuran..? Syaikh al-utsaimin Ta'ala berkata, "Jujur
adalah, selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau
perbuatan."

Oleh karenanya kita katakan, apabila khabar (perkataan) selaras dengan
kenyataan maka itulah kejujuran dengan llisan, dan apabila perbuatan badan
selaras dengan hati maka itulah kejujuran dengan perbuatan.

Maka, orang yang berbuat riya', bukanlah orang yang jujur, karena dia
menampakkan ketaatan tapi hatinya tidak demikian.

Begitu juga orang munafiq, menampakkan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran.

Demikian orang musyrik, menampakkan ketauhidan dan menyembunyikan
peribadatan kepada selain Allah.

Tak jauh beda dengan ahli bid'ah, menampakkan keta'atan dan pengikutan
kepada rasul akan tetapi dia menyelisihinya.

Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam
berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan
dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia
dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam
jual beli, berumah tangga,ber patner dalam bekerja, baik di instansi
pemerintahan ataupun swasta, dll. Sehingga tertutuplah pintu kecurangan,
penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.

Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur,
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Celakalah bagi
orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka
celakalah kemudian celakalah." (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani.), oleh
karena itu kita harus berhati-hati.

Adapun buah dari kejujuran adalah, berikut ini;

Bahwasanya ia menghantarkan kepada kebaikan yang bertepi di surga Allah
Ta'ala, mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq
yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya,
terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh
karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tinggalkanlah
yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu
ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan" (HR. at-tirmizi)

Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang
tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh
kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia
mati di atas kasurnya." (HR. Muslim). Dan faidah lainnya yang tak terhitung.

Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita
dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar
-Amirul Mu'minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya,
hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar
percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya,
"Tuangkanlah air ke dalam susu ini," tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka
sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, "Wahai ibu! bukankah Amirul
Mu'minin melarang kita dari perbuatan ini?" Sang ibu pun lantas berkilah,
"Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi
Amirul Mu'minin!" Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, "Wahai ibu!,
kalaulah seandainya Amirul Mu'minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya
Amirul mukminin mengetahui." Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget
dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk
menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh 'Ashim bin umar
dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi
oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim
yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran,
dialah Amirul Mu'minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa,
zuhud dan adil.

Oleh : Ihsan Jawadi
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.

17 Juli 2009

Dokter Lo Siaw Ging, Tak Sudi Berdagang

Rabu, 15 Juli 2009 | 03:32 WIB

Oleh Sonya Hellen Sinombor

Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung
tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter
di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien
tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak
pernah dimintai bayaran.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga
Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar,
Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang
75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para
pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien
yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan
Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah
keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar
ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak
sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan "biasa saja". Dia merasa
dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya
bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak
membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya
pemeriksaan dan resep obatnya.

Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, "Memangnya
kamu sudah punya uang banyak?"

Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita,
dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. "Saya pernah
ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima," ucapnya.

Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan,
para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga
tak pernah diminta bayaran. "Kami hanya bisa bilang terima kasih
dokter, lalu ke luar ruang periksa," katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar
tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini
tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya
uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat
segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan
resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya
menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien
atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo,
petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat
tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? "Bervariasi, dari ratusan
ribu sampai Rp 10 juta per bulan."

Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu
dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat
dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu
membebankan biaya perawatan kepada Lo.

Kerusuhan 1998

Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak
mampu, relatif "populer". Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini
justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan
wawancara dari media.

"Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa," ujarnya.

Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang
tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan
itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,"
ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo
dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang
membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada
Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh
masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia
tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya
rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak
permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.

"Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya
kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan
tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau
berobat," cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan,
yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.

Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke
tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian
berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.

"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?"
ucapnya.

Anugerah

Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian
bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen,
seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan
sang ayah kini telah tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah
kedokteran. "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi
dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter.
Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya
harus terbuka. Saya tidak pasang tarif," kata Lo yang namanya masuk
dalam buku Kitab Solo itu.

Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang.
Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu
karena harus memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar
15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai
panutan. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan
sehari-harinya sederhana," ujarnya.

Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul
saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. "Ini bukan berarti saya
tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama
yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita,
sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa
lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi,
dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang
dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.

"Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa
banyak sih makannya?" ujar Lo.

Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah "cuti" praktik. Lies
(55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan
tahun menjadi pasiennya mengatakan, "Dokter Lo praktik pagi dan malam.
Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu
ada kapan pun kami memerlukan."

DATA DIRI

* Nama: Lo Siaw Ging * Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 * Istri: Maria
Gan May Kwee (62) * Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 * Profesi: -
Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen,
Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo


Dikutip:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/15/03321720/dokter.lo.siaw.ging
.tak.sudi.berdagang

16 Juli 2009

FW: [ika-smanisda] Sebuah Koin Penyok


Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu
arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur.
Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya
sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut
memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, sandang dan
pangan. Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering
marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang
layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin
bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan,
yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya
terantuk sesuatu.
Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya.
"Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok, " gerutunya kecewa.
Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.
"Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno," kata teller itu
memberi saran.
Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya ke kolektor.
Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.
Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia
lakukan dengan rejeki nomplok ini.

Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu
sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena
istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan
jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar,
dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel.
Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu.
Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada
waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar
kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin
itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar
dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai
istrinya.

Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa
lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang. Di tengah perjalanan dia
melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah
barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak
berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200
dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya
menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak
ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima.
Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat
itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati,
merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya
berkata, "Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan ? Apa yang diambil oleh perampok tadi?"
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa..
Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi".

Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam
dalam kepedihan yang berlebihan? Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas
segala karunia hidup yang telah Tuhan berikan pada kita, karena ketika
datang dan pergi kita tidak membawa apa-apa.

15 Juli 2009

Menunda Dunia Untuk Allah


Ust. Yusuf Mansyur
 
 
Bagi saya, persoalan shalat adalah persoalan tauhid. Sebab tauhid kan sederhananya: Mengenal Allah. Lalu bagaimana kualitas shalat kita, sebagaimana itulah kita bertauhid kepadanya. Memang ada urusan lain di urusan shalat, tapi semua bermula dari sini... Dari shalat...
 
Perrmohonan maaf kepada para peserta sebab kemaren sempat kosong tidak ada materi. Alhamdulillah pagi ini kita ketemu lagi. Insya Allah pembahasannya masih seputar shalat. Sebab buat saya, urusan shalat itulah urusan tauhid.
Kemaren pagi jam 11 saya nemanin istri saya check-up kami punya baby di rumah sakit. Diberitahu bahwa dokternya hanya sampe jam 13 saja. Alhamdulillah, urusan shalat nomor satu. Saya mengincar pom bensin di menjelang Mal Puri. Di sana ada tempat shalat yang bersih. Saya belajar seperti ini. Dan saya menyuarakan agar sebanyak-banyaknya orang juga begini. Betul-betul waspada di urusan shalat. Dan alhamdulillah malah nyampe jam 12.40-an. Masih belum terlambat.
 
Nah, kadang suka timbul pikiran begini, shalat di sana saja dah. Takutnya telat. Ntar dokternya malah pergi lagi. Akhirnya malah kadang terlambat semua mua. Datangnya juga terlambat. Dan sering juga akhirnya shalat di akhir waktu. Saya menikmati benar mendahulukan Allah ini. Saya yakin, yang punya jalan adalah Allah. Sehingga kalau mendahulukan Allah, niscaya jalanan akan dibuat lenggang oleh Allah Pemilik Jalan.
Begitulah Saudara-saudaraku, peserta KuliahOnline. Percuma juga kita bicara Allah bila kemudian urusan shalat kita berantakan. Persoalan shalat sebenernya dijadikan Kuliah Dasar tersendiri. Namun, karena bagi saya ini persoalan yang mendasar, maka ia dijadikan sebagai bahagian dari Kuliah Tauhid.
 
Kalau dilihat perilaku manusia-manusia di Indonesia ini, memang bertuhan namun sebenernya masih perlu dipertanyakan lagi ketuhanannya. Sebab seperti ga kenal sama Allah. Contoh, di dalam pesta perkawinan, wuh, soal shalat, kayak ga ketemu shalat tepat waktu di sini, kecuali segelintir saja.
Di mall, di perkantoran, di gedung-gedung, sedikit sekali yang betul-betul memerhatikan shalat sebagai cerminan bertauhid yang benar.
Ok, sebagai kelanjutan bicara-bicara ini, mari kita lanjutkan pembahasan seputar shalat. Selamat menikmati esai-esai pendek. Saya pilih juga cara penyajian dengan esai-esai pendek agar peserta mudah mempelajari dan memahami. Juga mudah mendistribusikan lagi kepada yang lain sebagai perpanjangan dakwah saya dan kawan-kawan. Amin.
Robbij'alnii muqiimash sholaah wa min dzurriyyatii, ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak keturunanku sebagai orang-orang yang menegakkan shalat…
 
Ada hadiah dari Allah
buat siapa saja yang mementingkan diri-Nya
Si A, membawa surat interview.
Dia ini orang yang terbiasa tepat waktu.
Ia gelisah. Sebab di surat interview itu, ia dipanggil jam 11.00. Jam yang rawan bagi dia.
Rawan apaan?
 
Rawan untuk tidak bisa mempersiapkan diri shalat tepat waktu.
Subhaanallaah! Padahal jam 11 kan masih jauh? Masih 1 jam menuju waktu shalat.
Iya. Itu kalo dia prediksi wawancara bisa berlangsung tepat waktu. Bagaimana kalau pewawancara telat. Atau ia datang di urutan wawancara nomor ke sekian? Atau wawancara akan masih berlangsung sedang waktu shalat sudah menjelang. Lihat ya, baru "sudah menjelang", bukan sudah datang.
Pikiran ini betul-betul mengganggu si A ini.
Tapi karena dia butuh pekerjaan, kemudian dia tetap memutuskan untuk datang.
Jam 11 kurang dia sudah sampai. Dia catatkan namanya untuk interview. Ternyata hanya dia seorang. Aman nih.
Tapi apa yang terjadi? Ternyata si penginterview dipanggil oleh direksi. Sampe jam 11.30-an ga kunjung ada kejelasan apakah wawancara bisa dilaksanakan atau tidak, atau di jam berapa wawancara bisa dilaksanakan.
Di mata si A ini, pertanyaan itu jelas ia jawab, atau bahasa lainnya, jawabannya jelas: Batal.
Betul: Batal.
Dia memilih tidak wawancara bila wawancara itu dilakukan di jam 12 lalu mengganggu jadual shalatnya.
Masya Allah.
"Mbak, saya izin dulu ya. Nanti saya balik lagi. Saya titip tas di sini," katanya kepada resepsionis.
"Bawa aja tas nya.
Emangnya mau kemana? Bapak sebentar lagi barangkali datang."
"Mau shalat dulu."
"Oh… Silahkan… Nanti saya beritahu Bapak."
Alhamdulillah, pikir si A. Kirain akan dimarahin. Ini malah dipersilahkan dan akan dibantu untuk memberitahukan ke pewawancara.
Alhamdulillah.
***
 
Sesampenya si A di ruang mushalla, belum ada orang. Sebab baru jam 12.50. saat itu, zuhur jam 12.08.
Kira-kira jam 12-an lewat, tapi belum datang saatnya azan, datang seorang bapak. Bersih wajahnya. Berseri. Bapak ini sudah datang dalam keadaan berwudhu. Ditemani oleh dua orang lagi di sebelahnya. Juga dalam keadaan sudah berwudhu nampaknya. Sebab si A tidak melihat ada tanda-tanda bekas air wudhu baru.
"Mas, bukan pegawai sini ya?" tanya salah satu dari yang tiga orang tersebut.
"Iya Pak"
"Eh, kemana yang azan? Koq belum azan nih?" cetus lagi yang satu, sambil melihat jam.
"Saya saja Pak yang azan," kata si A.
Dalam keadaan rapih baju dan celananya, dan dalam keadaan wangi, si A, azan. Ada rasa kebanggaan di hatinya, bahwa dia bisa mengalahkan interview untuk dapat azan dan shalat zuhur berjamaah.
Berdirilah yang tiga orang tersebut, sambil menunggu azan selesai. Seolah-olah mereka mendampingi si A ber-azan.
Selepas azan, si A tidak sempat lagi bicara-bicara dengan tiga orang tersebut. Sebab mushalla sudah keburu ramai.
Hanya, selepas shalat ba'diyah, pundaknya ditepuk oleh salah satu dari yang tiga. "Mas yang akan diwawancara oleh saya ya?"
Kagetlah si A. Rupanya ia bersama-sama sang pewawancara. Satu shaf.
"Yang ngimamin shalat itu, Dirut kita," katanya datar. "Kita tunggu beliau selesai shalat sunnah."
Singkat cerita, malah si A itu diajak makan siang bersama. Dua dari yang tiga, adalah direksi. Sedang yang mewawancara pun nampaknya memiliki jabatan yang cukup tinggi di kantor tersebut.
Sungguh beruntung si A. Ia jaga shalatnya, malah Allah dudukkan dia dalam posisi yang sangat mulia.
Bagaimana lalu dengan awawancaranya? Ya sudah tidak perlu diwawancara kali. Pertemuan di mushalla, dan azannya si A, sudah menyelesaikan wawancara. Alhamdulillah, subhaanallaah.
Para Peserta Kuliah Online yang budiman, kalau kita hidup dalam aturan Allah, maka Allah akan mengaturkan hal-hal yang terbaik buat kita.
Allah Maha Mengendalikan dunia ini, dan DIA Maha Mengetahui apa yang akan terjadi. Pintu rizki pun di tangan-Nya. Bukan di tangan siapa-siapa.
***
 
Memberi Jam yang Terbaik
Allah begitu baik sama kita.
Sedangkan kita…?
Judul di atas bukan bermaksud memberi hadiah jam tangan. Bukan. Maksudnya, memberikan waktu terbaik kita buat Allah. Tidak mudah loh menerapkan hal ini. Makanya, mintalah bantuan, bimbingan, dan pertolongan Allah, agar bisa memberikan kepada Allah, waktu terbaik untuk-Nya.
Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah?
Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
 
  1. Waktu istirahat kita di pertengahan malam, di dua pertiga malam, dan atau di sepertiga malam. Untuk bangun malam. Untuk ruku' dan sujud, memuji Allah dan memohon pertolongan- Nya. Memohon bimbingan-Nya agar kita tidak kelelahan dalam menjalani hidup ini. Agar anak-anak menjadi anak-anak yang saleh salehah. Agar orang-orang tua kita panjang umur, sehat dan diampuni Allah. Dan masih banyak lagi lah. Wuah, ini berat. Tidak sedikit yang tidak mampu mengorbankan waktu tidurnya. Karena lelahnya mencari dunia, kita lalu tidak bisa bangun malam. Atau karena banyaknya dunia yang di tangan kita, kita lalu berat untuk bangun malam. Suasana pun barangkali sedang nyaman, tidak sedang bermasalah.
  2. Waktu pagi. Ketika manusia langsung ngebut dengan pekerjaannya, dengan usahanya, dengan kesibukannya, kita korbankan dulu barang sedikit untuk menegakkan shalat dhuha. Dan sebelumnya, ketika manusia langsung berburu dunia, kita malah tahan dulu barang sebentar untuk menegakkan shalat shubuh. Subhaanallaah. Kalau bisa shalat shubuhnya di masjid. Masya Allah. Kita ajak anak-anak dan istri.
  3. Jam zuhur. Jam sibuk-sibuknya. Traffic lagi tinggi-tingginya. Ketika pelanggan lagi banyak-banyaknya, kita ridho meninggalkannya demi Yang Memiliki diri kita dengan seluruh pemberian-Nya. Ga usah khawatir degan berkurangnya perniagaan. Lihat saja Mekkah dan madinah. Ketika jam shalat, mereka tutup. Akhirnya apa? Allah malah memberikan international buyer, pembeli internasional. Bukan sekedar local buyer.
  4. Jam ashar. Jam ngantuk. Kita segarkan diri kita, dengan air wudhu. Kita segarkan batin kita, jiwa kita, raga kita, dengan shalat ashar. Sungguh banyak kemuliaan bacaan-bacaan habis ashar. Insya Allah akan saya banyak tulis di website.
 
Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18 mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk keseombongannya, untuk hawa nafsunya. Subhaanallaah.
***
Habis, Kita Digaji Beliau Sih...
Kita tidak pernah tahu dengan sungguh-sungguh
darimana rizki kita berasal. Barangkali, karena
itulah kita jarang mengistimewakan Allah.
"Pak Helmy, ke ruang saya ya…", perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepat-cepat, dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar.
Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak Helmy, dan lalu bicara begitu: "Pak Helmy, ke ruang saya ya…".
Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali diperlukan, supaya bos besar senang.
Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah.
Kalau kita ditegor orang, "Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…". Maka kita akan menjawab, "Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja di perusahaan ini sebab kebaikan dia".
Luar biasa. Begitu hebatnya "tauhid" kita kepada bos besar tersebut.
Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri. Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini.
Semoga Allah menyayangi kita semua.
***
 
Ani SBY
Adalah wajar menghormati dan menghargai seorang manusia, karena kedudukannya, karena kemuliaannya, karena kekayaannya. Tapi menjadi tidak wajar, bila kemudian Pemilik Kesejatian Kedudukan, Kemuliaan, Kekayaan, tidak kita hormati tidak kita hargai.
Ini bukan tulisan esai yang pro partai demokrat. Ini juga bukan cerita tentang seseorang yang membela SBY. Ini hanya cerita seorang anak bangsa yang bangga sama ibu negaranya, istri presidennya yang berkuasa saat ini (SBY adalah presiden Indonesia saat tulisan ini dibuat, Web Admin). Itu saja.
Ok, saya memprologkan hal ini, sebab saya memang senang dengan Bu Ani SBY. Istri dari SBY.
Senang. Sederhana. Kelihatan tidak neko-neko. Tidak kedengeran bisnis yang macam-macam. Nampaknya sosok ibu dan istri yang baik. Dan ini bukan tulisan yang menyatakan ketidaksenangan dengan beliau. Justru lantaran senangnya. Tulisan ini menjadi ada, karena Allah menjadikan ini sebagai pelajaran buat saya.
Pada satu saat, ada pameran buku-buku di Dunia Islam yang pembukaannya saya diundang utuk hadir. Dan katanya, dihadiri oleh Bu Ani SBY sebagai istri Presiden yang bakal membuka pameran secara resmi.
"Pengawalannya ketat Pak!" kata salah satu panitia.
Yang lainnya menimpali, "Iya, seluruh penyewa ruangan pameran, ga boleh lagi masukin barang sejak jam 11 malam tadi".
"Betul-betul diawasi", kata yang satunya lagi.
Saya mendengar dialog ini. Saya yang udah mau nerobos masuk, jadi ga enak. Bukan sombong, insya Allah wajah saya diberi keleluasan untuk masuk, he he he.
Ada pengecualian. Coba saja saya dilarang masuk, ya saya pulang. Kalo saya pulang, maka jadual baca doa, jadi berantakan, he he he. Tapi saya tahan langkah saya ini. Biarlah sistem yang bekerja. Toh kalau panitia butuh, dia akan nyari saya. Namun, pelajaran tauhid, bergetar di hati saya. Saya bergumam di dalam hati, subhaanallaah. Untuk kedatangan pembesar negeri ini, dan ini baru istrinya, manusia sudah dibuat repot, he he he. Kenapa ya kalo yang datang Allah, kita tidak repot? Nah!
Coba aja lihat, barang-barang boleh masuk ke ruang pameran, jam 11 semalam sebelumnya. Dan di pagi hari, engga boleh lagi ada yang keluar masuk 2 jam sebelumnya. Sebab apa? Ya sebab tadi. Bu Presiden bakalan masuk ruangan. Clear Area.
Bagaimana dengan Allah? Bagaimana dengan kedatangan-Nya di waktu shalat?
Allah, hanya minta waktu sama kita untuk tepat waktu. Kita tidak disuruh bersiap-siap yang berlebihan hingga kemudian kita malah melupakan dunia kita. Kita hanya disuruh pada saatnya menghadap, tinggalkanlah perniagaan, tinggalkanlah jual beli. Itu kalau mau beruntung. Tapi lihat? Manusia lebih menghargai manusia yang lebih terhormat. Tidak mau melihat Yang Maha Terhormat. Manusia lebih bisa menghargai manusia lain yang lebih kaya. Tidak menghargai Yang Maha Kaya, Yang Teramat Kaya. Manusia, lebih menghargai terhadap mereka yang punya kekuasaan dan pengaruh lebih. Tapi terhadap Allah, Yang Maha Kuasa dan Teramat Kuasa, ya begitu dah bentuk penghargaan dan penghormatan kita. Kita tau sendiri bagaimana bentuknya.
Maka diri ini berpesan kepada diri ini sendiri, seyogyanya berkenalanlah dengan Allah. Lewat hati. Supaya bisa mementingkan Allah, menghargai Allah, menghormati Allah, lebih dari siapapun di dunia ini.
***
Gelisah
Bilakah kegelisahan menghilang dari kalbu kita manakalah kita mengabaikan waktu shalat?
Bila datang sebentar lagi waktu shalat, dan kita tahu siapa yang bakal turun ke langit dunia (yaitu Allah), sedang kita masih di jalan tol misalnya… bersyukurlah bila kemudian dikarunia hati yang gelisah. Gelisah apa? Gelisah tidak bisa shalat tepat waktu.
Di mana kita ketika waktu shalat tiba? Pertanyaan ini kita tanyakan kepada diri kita. Kalo kita menjawab, alhamdulillah kami sudah di dalam masjid # alhamdulillah kami sudah dalam keadaan berwudhu dan di atas sajadah # alhamdulillah kami sudah berjalan menuju masjid # maka bersyukurlah. Jangan sampe kemudian kita merasa "aman-aman" saja. Bahkan tidak gelisah sama sekali ketika jam shalat sudah mau habis.
Ya, banyak manusia yang gelisah dengan pendapatannya hari itu. Banyak manusia yang gelisah dengan proyek-proyeknya hari itu. Banyak manusia yang resah dengan masalahnya yang belum juga selesai hingga di hari itu. Banyak orang tua yang gelisah dengan keadaan anaknya yang sudah makan atau belum kalau anaknya pulang terlambat, dan gelisah kalau tidak ada tanda-tanda anaknya bakal datang. Tapi siapa yang mampu gelisah sebab khawatir shalat tidak tepat waktu?
Sebuah keutamaan adanya bila kemudian kita datang ke tempat shalat, menyiapkan diri untuk shalat, tapi waktunya azan belum lagi datang. Artinya, kitalah yang datang duluan. Adem rasanya.
Kalau kita tiada gelisah dengan kondisi buruknya shalat kita, maka Allah akan berikan kegelisahan itu di hati kita, sampai kita tidak tahu jawabannya apaan.
Kanbanyak tuh orang-orang yang gelisah tapi ga tahu kenapa dia bisa gelisah? Maka coba aja jajal koreksi dari sisi ini.
***