31 Maret 2008

FATWA MUI TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Tentang

PERKAWINAN BEDA AGAMA


Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H. / 26-29 Juli 2005M., setelah
MENIMBANG :

1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama;
2. Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat;
3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan;
4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.More…

MENGINGAT :

1. Firman Allah SWT :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa [4] : 3);
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21);
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al-Tahrim [66]:6 );
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5);
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221)
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah [60] : 10).
Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25).
2. Hadis-hadis Rasulullah s.a.w :
Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a);
3. Qa’idah Fiqh :
Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.

MEMPERHATIKAN :

1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran.
2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 :

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H.
29 Juli 2005 M.

MUSYAWARAH NASIOANAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Ketua, Sekretaris,

K. H. MA’RUF AMIN HASANUDIN

Sadaqah jariyah Simple, but worth alot!

 
Rasulullah SAW bersabda, "Bila seorang anak Adam wafat, maka amalnya terputus kecuali tiga hal: [1] Shadaqah jariah, [2] Ilmu yang bermanfaat dan [3] Anak shalih yang mendoakannya. (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad)
SADAQAH JARIAH - KEBAJIKAN YANG
TAK BERAKHIR
 
AL SADAQAT AL JARIYAH - THE ACTIONS WHICH OUTLIVES YOU!
 
1.       Berikan al-Quran pada seseorang, dan setiap dibaca, anda mendapatkan hasanah.
Give a copy of Quran to someone and each time they read from it, you will gain hasanaat
2.       Sumbangkan kursi roda ke RS dan setiap orang sakit menggunakannya, anda dapat hasanah.
Donate a wheel chair to a hospital and each time a sick person uses it, you will gain hasanaat
3.       Berbagi bacaan yang membangun dengan seseorang
Share constructive reading material with someone
4.       Bantu Pendidikan seorang anak
Help in educating a child
5.       Ajarkan seseorang sebuah do'a.
Pada setiap bacaan do'a itu, anda dapat hasanah
Teach someone to recite a dua. With each recitation, you will gain hasanaat
6.       Berbagi CD Quran atau Do'a
Share a dua or Quran CD
7.       Terlibat dalam pembangunan sebuah mesjid
Participate in the building of a mosque
8.       Tempatkan pendingin air di tempat umum
Place a water cooler in a public place
9.       Tanam sebuah pohon. Setiap seseorang atau binatang berlindung dibawahnya, anda dapat hasanah
Plant a tree. Each time any person or an animal sits under its shade or eats from the tree, you will gain hasanaat
10.   Bagikan email ini dengan orang lain. Jika seseorang menjalankan salah satu dari hal diatas, Anda dapat hasanah sampai hari Qiamat.
Share this with someone. If one person applies any of the above you will receive your hasanaat until the Day of Judgment
 

Marketing a la Nabi


Marketing a la Nabi

Oleh BHS
04 Juli 2007

Muhammad Rasulullah, Nabi kita tercinta, adalah seorang saudagar
ternama pada zamannya. Bahkan sejak usia muda, beliau dipandang
sebagai sudagar sukses. Disadari atau tidak sukses tersebut tidak
lepas dari aktivitas marketing yang diterapkannya --yang tak cuma
ampuh tapi juga sesuai syariah dan, tentu saja, penuh ridlo dari
Allah. Jika Anda tertarik menerapkannya, selain mendapat keuntungan,
insyaallah bisnis Anda pun barokah. Inilah empat tips marketing a la Nabi:

1. Jujur adalah Brand
Saat berdagang Nabi Muhammad SAW muda dikenal dengan julukan Al Amin
(yang terpercaya). Sikap ini tercermin saat dia berhubungan dengan
customer maupun pemasoknya.

Nabi Muhammad SAW mengambil stok barang dari Khadijah, konglomerat
kaya yang akhirnya menjadi istrinya. Dia sangat jujur terhadap
Khadijah. Dia pun jujur kepada pelanggan. Saat memasarkan barangnya
dia menjelaskan semua keunggulan dan kelemahan barang yang dijualnya.
Bagi Rasulullah kejujuran adalah brand-nya.

2. Mencintai Customer
Dalam berdagang Rasulullah sangat mencintai customer seperti dia
mencintai dirinya sendiri. Itu sebabnya dia melayani pelanggan dengan
sepenuh hati. Bahkan, dia tak rela pelanggan tertipu saat membeli.

Sikap ini mengingatkan pada hadits yang beliau sampaikan, "Belum
beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaramu seperti mencintai
dirimu sendiri."

3. Penuhi Janji
Nabi sejak dulu selalu berusaha memenuhi janji-janjinya. Firman Allah,
"Wahai orang-orang yang beriman penuhi janjimu." (QS Al Maidah 3).

Dalam dunia pemasaran, ini berarti Rasulullah selalu memberikan value
produknya seperti yang diiklankan atau dijanjikan. Dan untuk itu butuh
upaya yang tidak kecil. Pernah suatu ketika Rasulullah marah saat ada
pedagang mengurangi timbangan. Inilah kiat Nabi menjamin customer
satisfaction (kepuasan pelanggan).

Di Indonesia mobil-mobil Toyota berjaya di pasar. Salah satu kiat
pemasarannya adalah memberikan kepuasan pelanggan. Salah satu
ukurannya adalah Call Centre Toyota dinobatkan sebagai call centre
terbaik, mengalahkan Honda dan industri otomotif lainnya.

4. Segmentasi ala Nabi
Nabi pernah marah saat melihat pedagang menyembunyikan jagung basah di
sela-sela jagung kering. Hal itu dengan Nabi, saat menjual barang dia
selalu menunjukkan bahwa barang ini bagus karena ini, dan barang ini
kurang bagus, tapi harganya murah.

Pelajaran dari kisah itu adalah bahwa Nabi selalu mengajarkan agar
kita memberikan good value untuk barang yang dijual. Sekaligus
Rasulullah mengajarkan segmentasi: barang bagus dijual dengan harga
bagus dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang
lebih rendah.

Dalam soal segmentasi ini, Yamaha Motor adalah salah satu perusahaan
yang bisa dijadikan teladan. Dia menciptakan motor Yamaha Mio, dengan
mesin ber-cc kecil, tapi otomatis, dan mudah penggunaannya untuk
segmen pasar perempuan. Dialah pelopor industri motor yang membidiki
segmen ini, segmen yang sebelumnya selalu dilupakan pesaing lain.
Hasilnya, dengan Mio Yamaha menyodok Honda dan menjadi penjual nomor
satu di Indonesia 2007 ini.

Source:
niriah.com 

Allahumma shalli ala Muhammad

 

29 Maret 2008

Hikmah hari ini:

Hikmah Hari ini :
Jangan Mudah Berprasangka, karena itu datangnya dari syaithon laknatullah.

Muhammad Rasulullah.
Sholawat n Salam teruntuk Beliau n keluarga serta para tabi'id tabiin
beserta keluarganya. :-)

28 Maret 2008

7 Bencana Bagi Orang Kikir

'Orang yang kikir tidak akan terhindar dari tujuh kemungkinan.
Pertama, bila ia mati maka hartanya akan diwarisi oleh org yg tidak
mau membelanjakan dan mendermakan hartanya di jln yg diperintahkan
4JJ1. Kedua, hartanya dirampas o/ pengusaha kejam, stlh menghina
dirinya terlebih dulu. Ketiga,dibangkitkan nafsu syahwatnya, shg semua
hartanya habis. Keempat, atau disusulkan unt mmbgun gedung ditmpat yg
rawan shg menyebabkan hartanya lenyap. Kelima, atau tertimpa bencana
dunia, spt banjir, kebakaran, peramPoka

Kitab Rahasia Zakat

 
 
 
 
Pembahagian zakat dan asnaf-asnaf penerimanya.
 
Ketahuilah, bahawa tiada berhak untuk menerima zakat itu melainkan seorang Muslim yang ada padanya salah satu dari sifat-sifat asnaf delapan yang tersebut di dalam al-Quran al-Karim:
 
(1)   Fakir: iaitu orang yang tiada harta dan tiada mampu pula bekerja. Barangsiapa yang boleh bekerja akan terkeluarlah ia dari kategori seorang fakir. Jika ia sedang menuntut ilmu dan yang demikian itu telah menghalangnya dari bekerja maka dikiralah ia seorang fakir dan kekuasaannya untuk bekerja itu tiada dikira. Tetapi kalau ia seorang 'abid (beribadat), sehingga ibadatnya itu menghalangnya dari bekerja disebabkan terlalu banyak ibadatnya dan semua waktunya dihabiskan kerana berwirid maka hendaklah ia disuruh supaya bekerja. Sebab membuat pekerjaan untuk mendapatkan sara hidup itu, adalah lebih penting daripada menghabiskan kesemua masanya pada ibadat dan wirid semata-mata.
 
(2)   Miskin: iaitu orang yang pendapatannya tidak mencukupi perbelanjaan yang mesti dikeluarkan. Seseorang itu boleh jadi memiliki seribu dirham, padahal ia boleh dikira miskin sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali sebilah kapak dan sepotong tali, padahal ia boleh dikira kaya. Demikian pula pondok kecil yang dimilikinya dan sepasang pakaian yang membalut badannya sekadar hal saja, itu semua tidak dapat merampas darinya nama seorang miskin. Begitu juga dengan perkakas-perkakas rumahtangga yang diperlukan di rumah menurut keadaan atau kebiasaan tidak dapat mengeluarkan namanya dari kategori seorang miskin. Termasuk juga kalau ia mempunyai kitab-kitab fiqh yang banyak, kerana tentulah dia berhajat kepadanya untuk mengetahui hukum-hukum agama.
 
(3)   Para amil: iaitu orang-orang yang bekerja untuk mengumpulkan zakat termasuk dalam senarai ini semua orang yang bekerja sebagai kerani, jurukira penyimpan harta zakat dan orang yang bertugas untuk memindahkan harta zakat.
 
(4)   Orang yang dibujuk hatinya menganut Islam atau yang dipanggil muallaf; iaitu seorang ketua sesuatu puak yang memeluk Islam, sedangkan ia ditaati oleh kaumnya. Sebab diberikan kepadanya sebahagian daripada zakat, ialah untuk mengukuhkan kepercayaannya kepada Agama Islam dan menggalakkan pula pengikut-pengikutnya dan orang lain sepertinya untuk memeluk Agama Islam.
 
(5)   Hamba abdi: iaitu untuk maksud menebus dirinya daripada perhambaan, sama ada dibayarkan harganya kepada tuan punyaanya untuk dimerdekakan, ataupun diberikan bahagian perhambaan (sekiranya ia hamba mukatab – pent.).
 
(6)   Gharim atau orang yang dibebani oleh hutang: iaitu kiranya ia berhutang kerana tujuan-tujuan ketaatan ataupun kerana sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak-isteri misalnya sedangkan ia di dalam keadaan fakir, tak punya daya untuk membayar hutang itu. Kiranya ia berhutang kerana tujuan maksiat maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya ia seorang yang kaya (misalnya mempunyai harta benda – pent.), maka tiadalah boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat, kecuali jika ia berhutang itu kerana faedah dan maslahat orang ramai, ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah dan huru-hara.
 
(7)   Orang mujahid atau yang berperang fi-sabilillah: iaitu orang yang tiada menerima apa-apa bayaran berupa upahan atau gaji dari negara, maka diberikan kepada mereka itu satu bahagian dari zakat, meskipun mereka itu tergolong orang-orang yang kaya-raya, kerana pemberian itu adalah untuk menggalakkan mereka supaya terus berperang.
 
(8)   Ibnu sabil: iaitu orang yang meninggalkan negerinya untuk mengembara ke negeri orang bukan kerana maksiat, atau kerana terlantar di negeri orang dan tak punya wang untuk kembali, maka bolehlah diberikan kepadanya bahagian zakat, kiranya ia seorang fakir ataupun kiranya ia mempunyai harta di negeri lain, diberikan sekadar belanja untuk sampai ke negeri itu saja.
 
 
Tugas-tugas penerima zakat
 
Orang yang menerima zakat mempunyai empat tugas:
 
(1)   Hendaklah ia mengetahui bahawa Allah Azzawajalla mewajibkan pemberian itu untuk mencukupi keperluannya supaya menjadi pertolongan kepadanya untuk mengerjakan ketaatan. Jika dipergunakannya untuk maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Dengan itu terjauhlah ia dari rahmat Allah dan mendapat kutukan pula daripadanya.
 
(2)   Hendaklah ia mensyukuri orang yang memberikan zakat itu sambil mendoakan baginya dan memujinya tetapai hendaklah jangan sampai terkeluar dari menganggapnya sebagai pengantara saja, atau sebagai jalan di mana menerusinya disampaikan nikmat Allah tadi, tidak lebih dari itu, Sebab bagi pengantara atau jalan atau wasitah itu, ada haknya juga dari segi hanya dijadikan pengantara atau wasitah. Dan tiadalah menafikan bahawa asal nikmat itu daripada Allah s.w.t.
 
Telah bersabda Rasullullah s.a.w.
 
"Barangsiapa yang tiada menyukuri manusia, maka tiadalah ia mensyukuri Allah."
 
Allah s.w.t. juga telah memuji hamba-hambaNya, kerana amalan-amalan baik mereka dalam beberapa ayat di dalam kitabNya, tetapi Dia telah menentukan bahawa Dialah yang mentakdirkan semua itu, diantaranya firman Allah:
 
"Sebaik-baik hamba itu adalah yang banyak taubatnya,"     (Shad: 30)
 
Bersabda Rasulullah s.a.w.:
 
"Barangsiapa memberikan kepadamu sesuatu kebaikan (bantuan), maka hendaklah kamu membalasnya Kiranya kamu tidak mampu maka doakan baginya (dengan baik) sehinga kamu yakin bahawa kamu telah pun membalasnya."
 
Di antara cara menyempurnakan kesyukuran ialah menutupi aib atau cacat-cacat pemberian itu kalaulah ada cacatnya dan janganlah sampai ia menghina atau mencacinya. Jika ia tiada mahu menerimanya kerana kaaiban itu maka janganlah ia mengata nista orang yang memberinya, bahkan handaklah ia menunjukkan besar hati terhadap pemberian itu dan menganggapnya sangat besar ertinya di hadapan orang ramai, Jelasnya tugas pemberi hendaklah memandang kecil segala pemberiannya, manakala tugas si penerima hendaklah menghargakan kenikmatan itu dan membesar-besarkannya. Dan sewajarnya atas setiap satu dari keduanya menunaikan tugas masing-masing. Semua itu tiadalah berlawanan dengan menganggap bahawa nikmat itu datangnya dari Allah Azzawajalla, sebab barangsiapa yang tiada memandang kepada pengantara atau wasitah, maka oarang itu sebenarnya bodoh. Begitu juga orang yang menganggap pemberian itu berasal dari pengantara, maka orang itu telah ingkar.
 
(3)   Hendaklah ia meneliti zakat yang diterimanya itu, apakah dari harta yang halal atau tidak. Jika ia bukan dari harta yang halal, maka hendaklah ia bersikap wara'. Janganlah menerima zakat dari orang yang kebanyakan perusahaannya dari hasil yang haram, melainkan bila amat terdesak, maka bolehlah diambil sekadar keperluan saja. Ataupun jika zakat yang diberinya itu dari harta yang serupa itu memang wajib dikeluarkan zakatnya. Pendekata dalam keadaan–keadaan seperti di atas boleh diterima zakatnya sekiranya memang sukar untuk mendapat dari yang halal seratus persen.
 
(4)   Hendaklah ia memelihara dari jangan sampai tergelincir ke dalam keraguan dan kesyubhatan dalam kadar zakat yang diambilnya itu, yakni jangan ia menerima, melainkan dalam kadar yang harus diterimanya. Jangan ia menerima juga, melainkan sesudah ia yakin, bahawa ia mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang kedelapan yang telah di tentukan itu. Apabila ia telah meyakini ini, maka hendaklah jangan mengambil atau menerima kadar yang banyak melainkan mengambil sekadar keperluannya saja. Paling banyak boleh diambil untuk menckupi sara hidupnya dalam masa setahun saja. Itulah kadar yang paling tinggi yang dibenarkan oleh syara' baginya untuk menerima sebab Rasulullah s.a.w. sendiri hanya menyimpan perbelanjaan untuk tanggungjawabnya hanya untuk masa setahun saja.
 
Ada pendapat setengah ulama pula yang mengharuskan si fakir untuk mengambil dari harta zakat sekadar membolehkan ia membeli sebidang tanah yang sederhana, sehingga dengan tanah itu, ia boleh mendapat hasil untuk menampung sara hidup sepanjang umurnya dan tidak perlu lagi meminta-minta atau mengambil zakat dari orang lain. Ada yang berpendapat boleh juga mengambil sekadar untuk dijadikan modal perniagaan agar ia tiadalah akan menerima zakat lagi sesudah itu, sebab ketika itu ia telah terkira sebagai orang yang tidak memerlukannya lagi.
 
Saiyidina Umar Ibnul-Khattab r.a telah berkata: Apabila kamu memberi, maka hendaklah kamu memberi sekadar mencukupi hajat orang itu, sehingga ia tiada memerlukan lagi. Dengan pengertian ini, ada pendapat yang mengatakan boleh mengambil sekadar yang boleh memulihkan semula keadaan asal orang yang memerlukannya itu, sekalipun ia mengambil sampai sepuluh ribu dirham.
 
Sekali peristiwa Abu Talhah melahirkan keinginannya kepad Rasulullah s.a.w. untuk menderma-baktikan kebun kurmanya, maka Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
 
"Jadikanlah pemberian itu kepada kaum kerabatmu, maka itu adalah lebih utama."
 
Maka Abu Talhah pun memberikannya kepada Hassan dan Abu Qatadah. Sebenarnya sebidang kebun kurma yang didermakan untuk dua orang saja itu adalah suatu pemberian yang besar dan lebih dari mencukupi.
 
 
Sedekah tathawwu' dan keutamaannya
         
Di antara Hadis yang menyebutkan tentang keutamaan sedekah ialah:
 
"Bersedekah walau dengan sebutir kurma."
 
Dalam riwayat lain:
 
"Takutilah api neraka itu (yakni selamatkanlah dirimu dari api neraka), walaupun dengan bersedekah setengah butir kurma. Jika kamu tiada dapat berbuat demikian, maka dengan perkataan yang baik."
 
Sabdanya lagi:
 
"Setiap manusia di dalam naungan sedekahnya, sehinggalah saat diputuskan Allah antara sekalian manusia (yakni pada Hari Kiamat)."
 
Sabdanya yang lain:
 
"Sedekah secara bersembunyi-sembunyi itu memadamkan kemarahan Allah azzawajalla.
 
Apabila Rasulullah s.a.w. ditanya: Mana satu sedekah yang lebih utama? Baginda menjawab: Bilamana engkau bersedekah sedangkan engkau masih sihat, serta kikir, engkau mengharap jadi kaya dan takut jadi miskin. Dan janganlah engkau menangguhkan sedekah itu, sehingga nyawa telah sampai di kerongkong, maka ketika itu engkau katakan untuk si Fulan sekian banyak, dan untuk si Fulan sekian pula, padahal sememangnya semua itu untuk mereka.
 
Yakni: Kalau dia tidak bilang sekian si A. Atau sekian untuk si B. Memang akan menjadi hak mereka bila sudah tercabut nyawanya.
 
Sabdanya lagi:
 
"Bukanlah seorang miskin itu yang ditolak ketika meminta sebutir atau dua butir kurma, ataupun yang ditolak ketika sesuap atau dua suap makanan. Tetapi yang dikatakan seorang miskin itu ialah orang yang terlalu susah, malah tidak suka meminta-minta. Jika perlu bacalah: (ayat) mereka tiada meminta-minta orang berulang kali."
 
Sabdanya lagi:
 
"Tiada seseorang Muslim yang memberi pakaian kepada Muslim yang lain, melainkan Allah memelihara orang itu, selagi pakaian itu masih digunakan, sekalipun sampai menjadi secarik kain buruk."
 
Dari atsar-atsar cerita lama ialah apa yang dikatakan oleh 'Urwah; bahawasanya Saiyidatina Aisyah r.a telah bersedekah sebanyak lima puluh ribu dirham, padahal bajunya masih koyak-koyak.
 
Saiyidina Umar Ibnul-Khattab r.a pula berdoa: Ya Allah! Ya Tuhanku! Limpahkanlah kurnia kelebihan itu pada orang-orang yang terbaik di antara kami, moga-moga mereka akan mengembalikan kurni-kurnia itu kepada orang-orang yang mempunyai hajat di antara kami.
 
Berkata Ibnu Abil-Ja'ad: Sesungguhnya sedekah itu akan menolak tujuh puluh pintu dari kecelakaan dan keutamaan mengeluarkannya secara sembunyi-sembunyi adalah tujuh puluh kali lebih utama daripada mengeluarkannya secara terang-terangan.
 
 
Keutamaan sedekah yang disembunyikan
 
Allah telah berfirman:
 
"Jika kamu menampakkan sedekah itu, maka itu pun baik juga. Tetapi jika kamu menyembunyikan sedekah itu dan kamu memberikannya kepada orang-orang fakir, itu adalah lebih utama."    (al-Baqarah: 271)
 
Dalam mengeluarkan sedekah secara bersembunyi-sembunyi itu ada lima maksud:
    
Pertama: Memberikannya secara bersembunyi  itu akan menutupi rahsia orang yang menerimanya. Jika ia mengambilnya secara terang-terangan akan jatuhlah marwahnya di muka rama, dan terdedahlah keperluannya di mata merka. Dengan itu terkeluarlah ia dari golongan orang-orang yang hidupnya 'afif, iaitu tidak suka meminta-minta dan memelihara dri dari menunjukkan kesusahan di hadapan orang ramai sebagaimana yang dianjurkan oleh agama, hingga ke darjat orag yang tak tahu bila melihatnya, disangkanya ia tidak memerlukan apa-apa.
 
Kedua: Memberikanya secara sembunyi-sembunyi itu akan menyelamatkannya dari sangkaan tak baik di dalam hati orang ramai, atau dari bencana lidah mereka. Sebab mungkin mereka akan menaruh hasad terhadapnya atau mengumpatnya, atau menyangka orang itu berani mengambil meskipun ia tidak perlu. Padahal hasad, sangkaan yang buruk dan mengumpat itu adalah di antara dosa-dosa besar, sedangkan memelihara orang ramai dari dosa-dosa ini adalah lebih utama.
 
Berkata Ayub as-Sakhtiani: Aku tidak suka memakai pakaian yang baru, kerana bimbang kalau-kalau akan berlaku hasad pada diri jiranku. Dan pada riwayat yang lain: kerana takut kalau-kalau saudara-maraku akan berkata: Dari mana dia dapat pakaian baru itu?
 
Ketiga: Menggalakkan si pemberi untuk merahsiakan pemberian itu, sebab keutamaan memberi secara rahsia atau bersembunyi-sembunyi adalah lebih banyak pahalanya dari memberi secara terang-terangan dan menggalakkan untuk meyempurnakan sesuatu yang baik adalah baik.
 
Adalah diceritakan bahawa ada seorang telah membawa sesuatu pemberian kepada seorang alim dan berikannya secara terang-terangan maka orang alim itu menolak pemberian itu. Kemudian di masa yang lain, datang pula seorang lain memberinya sesuatu pemberian secara rahsia, dia pun menerimanya. Bila ditanya tentang sebabnya orang alim itu berkata: Orang ini telah menyempurnakan pemberiannya dengan penuh adab, sebab diberinya aku dengan rahsia, maka aku terimalah pemberian itu daripadanya. Tetapi orang yang pertama itu tidak tahu menjaga kesopanan bila dia memberikan pemberiannya di muka ramai maka aku tidak mahu menerimanya.
 
Setengah orang pula, bila diberikan kepadanya sesuatu pemberian secara terang-terangan di muka orang ramai, dia akan mengembalikannya seraya berkata: Engkau telah mengsyariatkan pemberian ini dengan selain dari Allah Azzawajalla dan engkau tidak memadai dengan Allah semata-mata kerana itu aku akan kembalikan kepadamu kesyirikanmu itu.
 
Keempat: Sesungguhnya mengambil zakat atau sedekah di muka khalayak ramai adalah suatu penghinaan dan kerendahan moral dan tidak seharusnya seorang Mu'min menghina saudaranya dengan pemberian zakat serupa itu.
 
Kelima: Untuk memelihara diri dari syubhat pengongsian, kerana ada sebuah Hadis yang berbunyi:
 
"Barangsiapa yang menerima sesuatu hadiah di hadapan khalayak ramai, maka orang-orang itu berkongsi dalam hadiah itu."
    
Maksudnya: Memberikannya bukan semata-mata kerana Allah, tetapi meminta kepujian orang ramai.
 
Setiap amalan itu adalah bergantung dengan niat maka sewajarnyalah seseorang yang benar-benar ikhlas di dalam amalanya itu berhati-hati terhadap kelakuan dirinya supaya tidak terkecoh oleh rasa kemegahan yang membendung diri atau terganggu oelh tipu daya syaitan.
 
Kita memohon Allah yang Maha Mulia supaya memberikan kita pertolongan dari taufiqNya yang sempurna, Amin.

 

Dikutip dari sedekat.net

7 (TUJUH) CIRI KHAS ORANG YANG SELALU BERFIKIR POSITIF

1. PERCAYA DIRI

· Citra diri yang positif dan kuat adalah persiapan terbaik untuk kesuksesan dalam kehidupan.

· Batasan untuk mewujudkan cita-cita esok hari adalah keraguan kita hari ini (Franklin Roosevelt ).

2. KESETIAAN UNTUK MELIHAT YANG TERBAIK

· Orang yang positif senantiasa melihat sisi kehidupan ini dari yang terbaik. Rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan menyayangi sesama manusia merupakan salah satu cara melihat sisi terbaik dari kehidupan ini. Salah satu bentuk ungkapannya orang-orang yang positive thinking itu mempunyai kasih saying yang sangat besar terhadap sesama.

· “Jika Anda ingin menempuh jarak jauh dengan cepat, maka ringankanlah beban Anda. Tanggalkanlah segala iri hati, kecemburuan, sikap mementingkan diri sendiri dan ketakutan”...........( Glenn Clark )

3. KEMAMPUAN MELIHAT PELUANG DI MANA-MANA

· Orang-orang yang berpikiran positif memeiliki prinsip: “Di mana-mana ada peluang di situ ada tantangan”.

· “Kegagalan adalah suatu kesempatan bagi saya untuk memulai sekali lagi dengan lebih bijaksana ”. ( Henry Ford )

4. FOKUS PADA PEMECAHAN MASALAH

· Orang-orang yang bersifat positif selalu kelebihan satu solusi, sedangkan orang yang bersifat mental negative selalu kelebihan satu alasan.

5. MEMILIKI HASRAT MEMBERI

· Orang-orang positif thinking dengan tulus ingin bermanfaat bagi orang lain

· Orang-orang yang selalu positif itu akan merasa senang apabila melihat orang lain senang atau sukses.

· Anda akan menjadi sekecil hasrat yang menguasai Anda, sebesar cita-cita Anda yang dominan.

6. MEMLIKI KEULETAN KERJA YANG TINGGI

· Orang-orang yang berfikir positif menyadari bahwa usaha untuk mencapai suatu cita-cita akan memerlukan proses yang tidak selalu mudah. Mereka begitu dekat dengan realitas kehidupan, di mana selalu ada tantangan dan masalah

· “Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu unsure prestasi terpenting dalam upaya apapun. Masalah pasti muncul. Terimalah itu sebagai fakta kehidupan. Memecahkannya adalah jalan menuju sukses”. (Jack M. Zufelt)

7. BERTANGGUNG JAWAB

· Orang-orang yang berpikir positif memiliki kemauan atau kesediaan yang tinggi untuk bertanggung jawab dengan selalu memperbaiki diri.

· “Saat di mana kau sepenuhnya sudah bertanggung jawab pada dirimu, adalah saat di mana keu berhenti menciptakan alasan. Pada saat itulah kau sudah memulai langkah-langkah menuju kesuksesan”. ( O.J. Simpson )

----------

Sumber : ATTITUDE IS EVERYTHING (Sikap adalah Segalanya), Tulisan: Andrew Ho , Managing Director PT. KK Indonesia.

Dikutip dari Gema Insani

Allahumma Shalli Ala Muhammad

Pemaksaan Itu Kekuatan Pertama

Pemaksaan Itu Kekuatan Pertama

Permulaan kenabian adalah hari-hari yang begitu berat. Bukan karena keengganan, tapi memang Muhammad yang tiba-tiba diangkat menjadi Rasul itu, merasakan betapa tidak ringan memikul beban itu.

la telah sampai umur empat puluh tahun. Sebuah usia kematangan, sekaligus puncak waktu untuk mengerti tentang arti sebuah keprihatinan. Prihatin dengan Mekkah yang gersang ideologis dan gersang moral. Prihatin dengan keseharian masyarakat yang menjalani hidup dalam tradisi yang susah dimengerti, bahkan dalam ukuran nalar. Orang saling membunuh, bahkan mematikan anaknya dengan cara yang paling tragis.

Tetapi Allah berkehendak. Dan kehendak-Nya pasti terlaksana. Maka, di sela pengasingannya yang hening di gua Hira, Malaikat Jibil datang 'memaksa' Muhammad. "Bacalah," kata Jbril. Tetapi Muhammad menjawab, 'Aku tidak bisa membaca." Jibril kembali mengulang. Bahkan ia merangkul Muhammad hingga ia merasa sesak. "Bacalah," kata Jibril. Muhammad kembali menjawab, "Aku tidak bisa merribaca."

Jibil kembali 'memaksa', juga dengan rnerangkulnya hingga sesak, kemudian melepaskannya seraya berkata, "Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia telah meciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbrnulah yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran al-qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dlketahuinya" (QS Al-Alaq: 1-5).

Rasulullah mengulang bacaan itu dengan hati bergetar. Begitulah, sebuah babakan penting kehidupan seorang Muhammad. Bahkan kemudian menjadi episode sangat vital bagi keseluruhan kehidupan umat manusia. Bahwa 'pemaksaan' 'bacalah' itu adalah awal dari perubahan sangat dramatis dad segala pentas kehidupan di atas dunia.

Rasulullah gemetar. Badannya berkeringat. la langsung pulang. Tak ayal setiba di rumah ia segera meminta istrinya, Khadijah, untuk menyelimutinya. Khadijah berusaha menenangkannya. Menghiburnya, bahwa orang sebaik dia tidak akan disia-siakan Tuhannya.

Babakan 'pemaksaan' belum berhenti. Seperti diriwayatkan AI-Bukhari, bahwa beberapa hari sesudah itu, Rasulullah berjalan. Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara dari langit. la mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaiat yang mendatanginya di gua Hira' sedang duduk di sebuah kursi menggantung di antara langit dan bumi. Rasulullah menuturkan kisahnya, "Aku mendekatinya hingga tiba-tiba aku terjerembab ke atas tanah. Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan, "Selimutilah aku, selimutilah aku.

Ternyata justru Jibril membawa wahyu, surat AI-Muddatsir, "Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbrnu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah'." (QS Al-Muddatstsir. 1-4)

Rasulullah yang berselimut itu 'dipaksa' bangun lagi. Untuk menerima beban amanah baru: mengagungkan Allah dan menyeru manusia. Bahkan pada kali yang berbeda, kenyataan tentang beban berat yang harus dipikul Rasulullah itu, dijelaskan langsung oleh Allah melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat:" (QS. AI-Muzammil: 5). Karenanya Rasulullah harus selalu bangun malam.

Begitulah. Kisah mula-mula pengangkatan Muhammad sebagai Rasul adalah juga kisah tentang arti sebuah 'pemaksaan' dalam pengertiannya yang positif. 'Pemaksaan' dalam pengertian 'harus'. Bahwa Rasulullah harus menerima beban kerasulan itu. Harus bangun setiap malam. Harus memberi peringatan kepada kaumnya. Untuc kemudian di hari-hari berikutnya, ia juga harus menelan perlakuan pahit dan sangat menyakitkan dari kaumnya, bahkan perlakuan bagian karib kerabatnya. Yang pasti, ia harus mengawali pengangkatan kerasulan itu tidak dalam suasana yang ringan dan berleha-leha.

Kisah-kisah itu menjadi dasar hukum bagi apa yang disebut dengan sunnah (tradisi) kehidupan, bahwa banyak dari alur hidup ini yang mesti dijalani dari pintu keharusan. Bahkan sebagian besarnya, harus dijalani di bawah 'pemaksaan'.

Seorang pencari ilmu harus memaksa dirinya belajar, menghilangkan kantuk di malam-malam yang sering menggoda untuk terlelap, atau bahkan membuai untuk tersesat. Seorang suami harus memaksa dirinya meninggalkan rumah di setiap pagi yang belum terlalu terk. Untuk mengais rejeki yang halal, demi menyambung hidup keluarganya. Seorang pengusaha harus memaksa dirinya bekerja serius, bekerja lebih keras, agar usahanya berjalan dengan baik. Seorang pejabat -semestinya- memaksa dirinya untuk jujur, konsisten, membela kepentingan rakyat, tidak menerima suap, dan menjalankan amanah jabatan sebaik mungkin.

Ini bukan perlawanan terhadap kebebasan atau hak asasi, atau penjajahan atas kemerdekaan pribadi. Tidak. Kenyataan ini justru menjelaskan sisi penting dari arti kemerdekaan: kemerdekaan untuk menjadi baik atas kehendak diri sendiri, tanpa merasa dipaksa orang lain.

Tanyalah kepada ratusan orang yang sukses menjalani hidup ini -sukses dalam pengertian yang sesungguhnya- hampir bisa dipastikan, mereka adalah orang-orang yang terbiasa 'memaksa' diri. Tetapi mereka bukan orang-orang yang suka memaksakan kehendak. Karena antara keduanya sangat jauh berbeda.

Secara naluri, manusia punya dua daya dorong: daya dorong menuju kebaikan dan daya dorong menuju keburukan. Sementara, untuk memilih jalan yang baik memerlukan 'tenaga', hampir sama dan sebanding dengan tenaga yang kita perlukan untuk meninggalkan keburukan. Tenaga itu tidak ringan. Bahkan ia menjadi lebih berat, ketika ada faktor di luar diri kita yang turut memperkeruh suasana. Faktor itu bisa berupa godaan syetan, pengaruh lingkungan, dan segala kesesatan yang bisa menjerumuskan manusia. Karenanya, sedkit atau banyak, sebagian dari tenaga yang kita perlukan untuk menjadi baik itu kita peroleh melalui jalan 'memaksa' diri.

Prinsip 'pemaksaan' diri, sesungguhnya juga makna lain dari prinsip niat dalam setiap pekerjaan. Niat, yang juga berarti kehendak, adalah ruh sekaligus kekuatan pertama dari setiap pekerjaan. Tak berlebihan, bila Rasulullah mengatakan, "Sesungguhnya setiap pekerjaan itu tergantung kepada niatnya." Salah satu pengertiannya, bahwa pekerjaan yang niatnya ikhlas yang akan diterima Allah. Tetapi ia juga mengandung pengertian lain, bahwa pekerjaan itu sangat bergantung kepada kuat lemahnya niat dan kehendak pertamanya.
Belantara hidup di dunia ini telah menyelamatkan orang-orang yang terbiasa 'memaksa' dirinya berjalan di atas jalan yang benar. Pada saat yang sama, dunia juga telah mengubur orang-orang yang tak bisa 'memaksa' dirinya menjadi baik dan menenggelamkan orang-orang yang hidup nyaris tanpa kehendak.

Hari ini, di tengah segala keprihatinan mendalam dalam segala bidang, adalah saat yang sangat tepat untuk kita merenung. Mungkin irama hidup kita terlalu datar dan tak mau sedikit 'memaksa' diri. Padahal masih banyak hal yang semestinya bisa kita lakukan. Boleh jadi banyak kebaikan yang sebenarnya masih bisa kita persembahkan, untuk agama, diri, keluarga, kawan kerabat, dan untuk seluruh nilai-nilai kemanusiaan.

Kita harus bertanya, dan kita harus jujur menjawabnya.

die *Majalah Tarbawi*
Edisi 49 Th.4/5 Desember 2002

27 Maret 2008

Yuk Sedekah Yuk

Sedekah Alas Sujud Untuk Umat
 
Mohon sedekah anda, untuk Pembangunan mesjid dan Alas Sujud (menyediakan Alas sujud disemua mesjid,berupa kain putih untuk sujud, dimana kami akan ganti dan cuci setiap minggu), program ini akan kami sosialisasikan disemua kota. mohon doa dan dukungannya, insya Allah, Allah akan bersama kita yang menafkahkan sebagian rejekinya dijalan Allah.
Semoga menjadi Amal Sholeh, yang tak pernah terputus, walau Kita Sudah Tidak lagi Hidup di Alam Dunia Ini ....
 
Dikutip dari sedekah.net
 
Allahumma Shali Ala Muhammad

26 Maret 2008

Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi

Ustadz Menjawab

bersama Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.

 

Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi

Senin, 19 Peb 07 06:34 WIB

 

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, saya punya pertanyaan yang membingungkan saya mengenai tradisi orang Indonesia menguburkan ari-ari bayi setelah melahirkan itu bagaimana menurut hukum Islam, apakah haram atau halal? Mohon penjelasannya.

Oh ya, kalau boleh saya minta no Hp ustadz untuk konsultasi lebih dekat dengan ustadz.

Hanafi

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ari-ari atau plasenta secara medis berfungsi sebagai penyedia makanan dan saluran lainnya, yang menghubungkan antara janin dengan ibunya. Selama berbulan-bulan, placenta ini sangat berguna bagi bayi di dalam rahim sang ibu. Namun begitu bayi lahir, maka perannya usai sudah.

Namun dalam masyarakat tertentu, ada semacam kepercayaan tertentu bahwa di balik fungsi medis, ada hubungan 'ghaib' tertentu antara bayi dengan plasentanya. Karena itu, sebagian masyarakat yang mewarisi tradisi kuno ini masih terlihat melakukan berbagai macam ritual yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Salah satunya adalah mengubur plasenta di dekat rumah, bahkan harus diberi pelita (lampu). Dan bersamanya juga dikuburkan benda-benda tertentu, yang dipercaya akan berpengaruh atas nasib dan kehidupan si bayi bila kelak dewasa.

Lucunya, terkadangsebagian orang melakukan ritual itu begitu saja, tanpa pernah tahu hubungan sebab akibatnya. Dan semakin lucu lagi, karena yang melakukannya seringkali justru orang yang berpendidikan tinggi dan sarjana. Seharusnya mereka lebih mengedepankan hal-hal yang ilmiyah ketimbang sesuatu yang irrasional.

Bagaimana dengan Pandangan Syariah Islam?

Tentu saja tidak ada satu pun dalil, baik berupa potongan ayat Al-Quran atau hadits nabawi, tentang masalah menanam ari-ari. Bahkan hadits yang paling dhaif atau bahkan hadits palsu sekalipun, sama sekali tidak pernah memuat masalah ini.

Jadi ritual ini betul-betul produk lokal, jauh dari bau-bau Islam dan syariatnya. Tak satu ayat Quran menyebutkannya, tidak satu pun hadits nabi menyinggungnya dan tidak ada dalam syariat Islam tentang aturan mainnya.

Sementara, dari sisi aqidah yang bersih, kepercayaan bahwa ada hubungan ghaib antara plasenta dengan nasib seseorang, jelas telah melanggar wilayah syirik. Sehingga ritual tertentu yang dilakukan terhadap plasenta ini, sangat mengganggu hubungan kita sebagai muslim dengan Allah SWT.

Seolah nasib seseorang ditentukan oleh plasentanya, bukan oleh tugas pendidikan dari kedua orang tuanya dan lingkungannya. Padahal tegas sekali disebutkan bahwa nasih seseorang bukan ditentukan oleh perlakuan terhadap plasenta, namun tergantung dari upaya (ikhtiar) seseorang serta doa-doa yang dipanjatkan.

Khusus masalah doa yang dipanjatkan, Allah SWT telah menetapkan teknis dan tata caranya. Bila menggunakan teknis dan tata cara yang tidak sesuai dengan apa yang dimaui oleh Allah SWT, doa itu bukan saja tertolak, tetapi malah akan menimbulkan bencana. Misalnya ritual perlakuan terhadap plasenta yang cenderung syirik itu, bukan nasih baik yang akan diterima oleh bayi dan keluarga itu, malah boleh jadi sebaliknya.

Namun kita juga harus menerima kenyataan bahwa ritual dan kepercayaan kuno itu masih banyak melekat di tengah masyarakat. Bahkan, tidak jarang yang jadi pelakunya adalah orang terdidik. Mungkin di kepalanya ada ragu dan setengah tidak percaya, tetapi tetap dilakukannya juga, dengan alasan untuk menjaga tradisi nenek moyang.

Maka semua itu harus diklarifikasi ulang, tradisi nenek moyang yang bagaimana yang harus kita lestarikan? Sebab tidak semua tradisi itu baik. Bukankah di zaman nenek moyang dulu, juga ada tradisi minum khamar, zina, judi dan seterusnya? Bukan kah dahulu nenek moyang kita menyembah dewa dan berhala?

Apakah hari ini akan tetap kita lestarikan budaya-budaya yang negatif dari nenek moyang itu? Tentu tidak, bukan?

Tugas kita sekarang ini adalah berupaya mengikis dan mengurangi secara sistematis, tradisi yang sekiranya bertentang dengan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai keIslaman. Namun bila tradisi itu sesuai dengan Islam, barulah kita lestarikan.

Memendam Plasenta untuk Kebersihan Lingkungan

Kalau sekedar mengubur (memendam) palsenta di dalam tanah, tanpa niat apapun kecuali untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan, tentu boleh dan baik. Sebab plasenta itu akan segera membusuk bila tidak dipendam.

Jalan terbaik memang dipendam saja, agar tidak merusak lingkungan. Namun tanpa diiringi ritual apa pun yang bisa merusak hubungan mesra kita kepada Allah SWT. Pendam saja dan selesai.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Dikutip dari eramuslim.

 

Muhammad Rasulullah.

Selawat dan Salam sentiasa untuk Beliau.