23 Mei 2010

TAATILAH SUAMIMU!!


Pernikahan adalah salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan dengan kadar yang sama dan berimbang, ia adalah wujud kecintaan, kasih sayang, mementingkan pasangan, saling memberi dan menerima, hal itu terbaca jelas dalam firman Allah Subhanahu waTa’ala artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21).

Demi menjaga kelanggengan kasih sayang dan hubungan baik antara suami istri maka Allah meletakkan hak bagi masing-masing atas pasangannya. Firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. al-Baqarah: 228).

Istri mempunyai hak-hak atas suami yang tidak sedikit yang wajib diberikan oleh suami kepadanya, jika suami tidak menunaikannya, maka hal itu dianggap sebagai dosa dan kemaksiatan yang tidak ringan di sisi Allah. Sebaliknya suami memiliki hak-hak atas istri sebanding dengan hak istri atas suami, di antara hak-hak suami adalah hendaknya seorang wanita muslimah menjadi istri yang patuh dan taat kepada suaminya dengan menunaikan hak-haknya sebaik-baiknya.

Besarnya hak suami atas istri

Hak suami atas istri adalah besar, kedudukannya di hadapannya adalah agung, hal itu tergambar dengan jelas melalui:

A.Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada istri agar bersujud kepada suami seandainya makhluk boleh bersujud kepada makhluk. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain niscaya aku memerintahkan istri agar bersujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi)

B. Murka yang di langit kepada istri yang menolak permintaan suami untuk bermesraan, murka ini redah jika suami ridha kepada istri. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidak ada seorang suami mengajak istri ke ranjangnya lalu istrinya menolaknya kecuali yang di langit memurkainya sehingga suami ridha kepadanya .”

C. Penunaian ibadah-ibadah sunnah oleh istri bergantung kepada izin suami, jika ibadah-ibadah tersebut menghalangi hak suami. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi wanita berpuasa sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya. Dan hendaknya dia tidak mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya.” Khusus dalam hal ini terdapat teladan dari Aisyah radiyallahu ‘anha istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah berkata, “Aku pernah berhutang puasa Ramadhan, aku baru bisa melunasinya di bulan Sya’ban hal itu karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Jamaah).

D. Menghadirkan seseorang di rumah suami bergantung kepada restu suami. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu di atas, “Dan hendaknya dia tidak mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya.”

E. Izin khulu’ –menuntut berpisah dari istri dengan membayar iwadh (ganti rugi)- dalam kondisi istri takut tidak mampu menunaikan hak-hak suami seperti yang dilakukan oleh istri Tsabit bin Qais. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbasz berkata, istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak membenci agama dan akhlak Tsabit, hanya saja aku takut kufur dalam Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Dia menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Tsabit berpisah darinya. Apa yang dilakukan istri Tsabit ini merupakan tindak lanjut dari firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. al-Baqarah: 229).

F. Ihdad (berkabung) hanya boleh tiga hari tetapi untuk suami –maksudnya jika suami yang meninggal- maka masa ihdad lebih panjang yaitu empat bulan sepuluh hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berihdad atas mayit lebih dari tiga malam kecuali atas suami yaitu empat bulan sepuluh hari.” (Muttafaq alaihi).

G. Tatanan iddah (masa tunggu) bagi istri yang berpisah dari suami, di mana dalam masa ini istri belum boleh menerima lamaran dari orang lain karena hak suami dan suami tetap dinamakan suami yang memegang hak rujuk jika berpisahnya masih memungkinkan untuk rujuk. firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS. al-Baqarah: 228).

Keutamaan taat kepada suami

Suami muslim sebagai penanggungjawab rumah tangga mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, diliputi dengan cinta dan kasih sayang demi mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh anggota rumah tangga dan salah satu faktor penting dalam mewujudkan hal tersebut adalah kepatuhan dan ketaatan seorang istri muslimah kepada suaminya setelah ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya.

Bisa dibayangkan bagaimana keadaan rumah tangga seandainya istri tidak taat dan patuh kepada suami, kebahagiaan yang diimpikan akan lenyap, kegembiraan yang didambakan akan terkubur dan kasih sayang yang diharapkan tumbuh subur akan layu untuk selanjutnya mati tergantikan oleh percekcokan, perselisihan dan pertengkaran. Hal ini dipicu oleh –salah satunya- keengganan dan penolakan istri untuk taat kepada suaminya.

Keutuhan rumah tangga sangat diperhatikan oleh Islam, karena bagaimanapun rumah tangga yang utuh jauh lebih baik dari pada rumah tangga yang bubar di tengah jalan, dari sini kita memahami ketika talak diizinkan, ia diizinkan dalam kondisi dharurat dan itu pun demi kebaikan dan kemaslahatan suami dan istri. Demi menjaga keutuhan rumah tangga ini, Islam meletakkan batasan-batasan hak dan kewajiban bagi dan atas suami istri, misalnya dari sisi istri, dia memiliki kewajiban taat dan patuh kepada suaminya.

Jangan salah paham ketika istri diharuskan taat kepada suami setelah ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, ini tidak serta merta berarti derajat istri lebih rendah atau ini merupakan perendahan kepada wanita, tidak demikian karena pada prinsipnya hak dan kewajiban dalam rumah tangga adalah setara dan sebanding sebagaimana telah penulis singgung dalam makalah sebelumnya, akan tetapi ini hanyalah pengaturan dan penempatan masing-masing dari suami dan istri pada pos yang memang sesuai dan sejalan dengan tabiat dan fitrah masing-masing, tidak mungkin dalam satu kapal ada dua nahkoda dan tentu yang paling pantas menjadi nahkoda adalah orang yang memiliki kriteria dalam kadar lebih untuk itu, dan ini ada pada diri suami.

Di samping itu ketaatan dan kepatuhan istri tidak berbuah cuma-cuma, ada imbalan besar lagi utama yang disediakan atasnya sebagai pendorong, akan tetapi buah dan imbalan besar ini hanya bisa dipetik oleh istri-istri yang beriman dengan baik kepada Allah Subhanahu waTa’ala yang dengannya dia lebih mementingkan apa yang ada di sisiNya daripada selainnya.

Ketaatan kepada suami adalah salah satu kunci masuk surga.
Setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan tidak terkecuali istri tentu berharap bisa meraih surga, kebahagiaan abadi yang tidak akan pernah terputus untuk selama-lamanya, oleh karena itu dia akan berusaha menelusuri setiap jalan yang bisa menyampaikannya kepadanya dan jalan ke sana memang banyak, salah satunya secara khusus untuk istri yaitu ketaatannya kepada suaminya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya niscaya dia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Adakah balasan yang lebih besar dan utama dari ini? Masuk surga, tidak sebatas itu akan tetapi lebih dari itu, dari pintu mana saja yang dia kehendaki. Belum cukuplah hal ini menggugah dan mendorongmu untuk taat dan patuh kepada suamimu?

Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan bahwa bibinya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan, setelah dia selesai dari keperluannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada bibi al-Husain, “Apakah kamu bersuami?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bagaimana dirimu terhadapnya?” Dia menjawab, “Saya tidak melalaikannya kecuali jika saya tidak mampu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lihatlah dirimu daripadanya, karena dia adalah surga dan nerakamu.” Wallahu a’lam.

(Ust. Izzudin Karimi, Lc)
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.


Dikutip dari al-sofwah

Muhammad Rasulullah
May Allah's blessings and peace be upon him

Ceritakan Nikmat Yang Anda Dapat!


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
________________________________

dakwatuna.com - "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu
(Muhammad) siarkan". (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk
menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya.
Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan
memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur
yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut
kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus
untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku
umum berdasarkan kaedah "amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi" (perintah
yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk
umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi
ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, "Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh
karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan
memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai
bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut."
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks
mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan
implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin
ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh
Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan,
tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya,
menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin
mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut
beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji
secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan
memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas
pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan
memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga
tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat
Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan
agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia
mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan
contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah
dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’,
ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka
sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang
diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk
menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang
lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap
kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa
tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur
(berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt.
seperti dalam firmanNya, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas
kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah
dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada
salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini
sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta
dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti
kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, "Jika
engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan
ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan
mengikuti jejak yang baik tersebut." Kebiasaan seperti ini pernah
dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan
oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, "Setiap kali aku bangun pagi,
aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat
sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya."
Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas
termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, "Allah
memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan
kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?"
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu
kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh
Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak
mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman,
"Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir." (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri
nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab.
"Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan
sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang
demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir."
(Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan
kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur
seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini,
At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah bahwa ia berkata, "Barangsiapa yang diberi kebaikan
(kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu
untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya
apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih
kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah
mengingkari kebaikannya." Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing
bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ
لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ
اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, "Rasulullah saw. berkhutbah di atas
mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang
sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak
berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada
Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan
meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan
bercerai-berai akan mendatangkan adzab’." (Musnad Imam Ahmad, no.
17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk
senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah
berpesan, "Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena
sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya." Memang
memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh
Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat
lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap
atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan
bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang
dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah
datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta
berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat
keadaan demikian, Rasulullah bertanya, "Apakah kamu memiliki harta?"
Sahabat tersebut menjawab, "Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta
yang cukup kepadaku." Maka Rasulullah berpesan, "Perlihatkanlah nikmat
Allah tersebut dalam penampilanmu." (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai
kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan
memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal
sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata
untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari
manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut
semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama
menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.
Dikutip dari:
http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/



Muhammad RasulullahMay Allah's blessings and peace be upon him

04 Mei 2010

Cara mengejar Rezeki



mengejar rezeki dg cara:

1. istigfar....simak QS hud ayat 3
2. silaturrahmi...menyambung rasa kasih sayang
3. amalan batiniah....
simak QS at talak ayat 23
4. tawakal kpd Allah

Carilah Rezeki yang Halal agar keberkahan sentiasa meliputi kita dan menjadikannya sebagai sarana ibadah.


Muhammad RasulullahMay Allah's blessings and peace be upon him