23 Mei 2010

Ceritakan Nikmat Yang Anda Dapat!


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
________________________________

dakwatuna.com - "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu
(Muhammad) siarkan". (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk
menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya.
Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan
memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur
yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut
kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus
untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku
umum berdasarkan kaedah "amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi" (perintah
yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk
umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi
ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, "Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh
karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan
memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai
bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut."
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks
mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan
implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin
ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh
Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan,
tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya,
menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin
mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut
beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji
secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan
memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas
pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan
memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga
tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat
Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan
agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia
mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan
contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah
dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’,
ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka
sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang
diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk
menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang
lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap
kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa
tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur
(berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt.
seperti dalam firmanNya, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas
kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah
dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada
salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini
sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta
dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti
kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, "Jika
engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan
ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan
mengikuti jejak yang baik tersebut." Kebiasaan seperti ini pernah
dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan
oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, "Setiap kali aku bangun pagi,
aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat
sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya."
Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas
termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, "Allah
memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan
kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?"
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu
kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh
Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak
mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman,
"Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir." (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri
nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab.
"Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan
sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang
demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir."
(Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan
kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur
seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini,
At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah bahwa ia berkata, "Barangsiapa yang diberi kebaikan
(kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu
untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya
apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih
kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah
mengingkari kebaikannya." Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing
bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ
لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ
اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ
وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, "Rasulullah saw. berkhutbah di atas
mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang
sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak
berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada
Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan
meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan
bercerai-berai akan mendatangkan adzab’." (Musnad Imam Ahmad, no.
17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk
senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah
berpesan, "Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena
sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya." Memang
memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh
Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat
lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap
atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan
bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang
dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah
datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta
berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat
keadaan demikian, Rasulullah bertanya, "Apakah kamu memiliki harta?"
Sahabat tersebut menjawab, "Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta
yang cukup kepadaku." Maka Rasulullah berpesan, "Perlihatkanlah nikmat
Allah tersebut dalam penampilanmu." (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai
kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan
memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal
sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata
untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari
manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut
semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama
menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.
Dikutip dari:
http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/



Muhammad RasulullahMay Allah's blessings and peace be upon him

Tidak ada komentar: