13 November 2009

Siapakah Abdurrahman bin Auf ?

Kamis, 12/11/2009 09:08 WIB

Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, "Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?"
"Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya," seseorang menjawab.
Ummul Mukminin berkata lagi, "Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?"
"Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan."
Aisyah menggeleng-gelengkan kepala¬nya. Pandangannya jauh menerawang se¬olah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.
Kemudian ia berkata, "Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan."
Sebagian sahabat mendengar itu. Me¬reka pun menyampaikannya kepada Ab¬durrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera me-langkahkan kakinya ke rumah Aisyah.
"Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa." Ab¬dur¬rahman bin Auf berkata lagi, "Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut ken¬daraan dan perlengkapannya, kuper¬sem¬bahkan di jalan Allah."
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.
Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang diken¬dalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta ke¬mudian menyimpannya. Ia me¬ngum¬pulkan harta dengan jalan yang halal.
Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sen¬dirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga me¬nikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.
Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, "Seluruh pen¬duduk Madinah bersatu dengan Ab¬dur¬rahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipin¬jamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya di¬berikan dan dibagi-bagikan kepada mereka."
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu ka¬wan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.
Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk ber¬buka puasa. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, "Mush'ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka ke¬palanya."
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat, "Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-ba¬nyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami."
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis.
Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, "Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?"
Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa be¬tapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.
Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, "Rasulullah saw. wafat dan belum pernah beliau berikut ke¬luarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila di¬panjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?"
Jika sudah begini, bukan hanya Ab¬durrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah. (sa)

oleh mohamad hayin <m_hayin@yahoo.co.id>

29 Oktober 2009

Profil Rumah Muslim Ideal


Senin, 30 Juni 08, selengkapnya klik:
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=487

Rumah merupakan kebutuhan yang didambakan oleh setiap insan. Di
sanalah tempat mereka bercengkrama bersama keluarga, melepas kepenatan
dan permasalahan hidup, membina isteri dan anak-anak. Di sanalah
tempat seseorang bersembunyi dari aib diri dan keluarga, menjaga diri
dari panas dan hujan, menghindarkan keluarga dari mara bahaya. Dan
disanalah tempat seseorang menumpahkan segala kebutuhan dan memperoleh
kebahagiaan.

Tidak diragukan lagi bahwa rumah seorang muslim yang ideal adalah
rumah yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding yang lainnya,
teristimewa dalam hal ciri dan tandanya, adab dan etikanya, perhatian
dan arahannya, serta tujuan dan kepentingannya. Demikian pula
teristimewa dalam hal obsesi dan misinya.

Di antara ciri dan keistimewaan rumah seorang muslim yang iltizam
(komitmen), adalah sebagai berikut:

a.. Rumah yang di dalamnya senantiasa dihidupkan ibadah kepada Allah
subhanahu wata'aala dan terhindar dari perbuatan syirik. Ikhlas dan
jauh dari riya' (mengharap pujian orang). Karena Allah subhanahu
wata'aala memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk beribadah,
menyembah dan menauhidkanNya dan menjauhi perbuatan syirik. Allah
subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".(QS. adz-Dzariyat:
56). Dalam ayat yang lain, artinya, "Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun". (QS. an-Nisaa`: 36).
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam juga bersabda
dalam hadits qudsi, "Aku tidak butuh terhadap sekutu-sekutu,
barangsiapa beramal suatu amalan ia menyekutukan Aku dengan selain
diri-Ku (dalam amalnya tersebut) maka pasti Aku tinggalkan dirinya dan
sekutunya". (HR. Muslim)

b.. Rumah yang di dalamnya terdapat amal ibadah yang berdasarkan
ittiba` (mengikuti petunjuk rasul shallallahu 'alahi wasallam) dan
terhindar dari perbuatan bid`ah (amal ibadah yang tidak dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam).

Firman Allah subhanahu wata'aala, artinya, "Katakanlah, "Jika kamu
benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".(QS. Ali Imran: 31).

Dalam ayat yang lain, artinya, "Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih". (QS. an-Nur: 63).

Demikian pula Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
"Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat
beliau bertanya, "Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?
Beliau menjawab, "Siapa yang mentaati aku pasti masuk surga dan siapa
yang membangkang tidak mentaati aku sungguh ia telah enggan untuk
(masuk surga)." (HR. al-Bukhari)

Dalam sabda beliau yang lain, "Siapa yang mengada-adakan (suatu
perbuatan) di dalam agama kami ini yang tidak termasuk darinya, maka
ia tertolak". (Muttafaqun `alaih)

c.. Rumah yang berdiri diatas ketaqwaan kepada Allah, dengan tujuan
membentuk sebuah keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (saling
mencintai) dan rahmah (saling mengasihi). Hal itu juga merupakan
tujuan pokok terjalinnya 'mitsaaqan ghalizha' (perjanjian yang kuat)
antara kaum Adam dan Hawa.

d.. Rumah yang senantiasa di dalamnya dihidupkan nuansa ilmu(syar`i)
dan berpengetahuan. Sungguh Allah subhanahu wata'aala akan mengangkat
derajat orang berilmu beberapa derajat, dan Allah subhanahu wata'aala
mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tentunya akan sangat berbeda
antara rumah yang berpenghuni hamba yang berilmu dan mengamalkannya
dan rumah dengan berpenghuni orang yang tidak mengerti ilmu syar`i.

Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran".
(QS. az-Zumar: 9)

e.. Rumah yang di dalamnya senantiasa dihidupkan kebiasaan saling
tolong-menolong, bahu membahu antara anggota keluarga dalam rangka
kebaikan dan taqwa.

f.. Rumah yang di dalamnya terdapat hubungan yang sangat baik antara
suami isteri dan menjadikan rumah tersebut sebagai madrasah tempat
mendidik, mengarahkan dan membimbing anak-anak. Suami adalah pemimpin
yang senantiasa mengayomi, membimbing, menyayangi orang yang berada di
bawah tanggung-jawabnya. Isteri juga hendaknya senantiasa menaati
suami (dalam kebaikan), menjaga diri, harta, dan menjadi pembimbing
yang baik bagi anak-anak. Demikian pula seorang anak, ia wajib menaati
kedua orang tuanya, berbuat baik, dan tidak menjadikan mereka sakit
hati akibat prilaku buruknya. Dan masing-masing harus selalu ingat,
bahwa ia akan bertanggungjawab di hadapan Allah subhanahu wata'aala.

Dan hendaknya setiap orang tua senantiasa menasihati anak-anaknya,
sebagaimana 'Luqman' menasihati anaknya, agar menyembah hanya kepada
Allah subhanahu wata'aala saja, menjauhi syirik, menghindari perbuatan
dosa sekecil apa pun bentuknya karena Allah subhanahu wata'aala Maha
melihat segala apa yang tersembunyi. Demikian juga janganlah ia
meremehkan perbuatan baik, walaupun kecil bentuknya karena Allah
subhanahu wata'aala akan mengganjarnya, mendirikan shalat, mengajak
untuk berbuat yang ma`ruf, mencegah dari perbuatan maksiat, bersabar,
dan janganlah memalingkan muka terhadap sesama atau berjalan dengan
congkak dan sombong.

g.. Berpenghuni orang-orang yang adil dan tidak berbuat zhalim, baik
terhadap para isteri, anak-anaknya, tidak membedakan antara anak
laki-laki dan perempuan, dan berbuat baik kepada pembantu. Hal
tersebut juga merupakan ciri khas rumah muslim ideal.

Demikianlah Allah subhanahu wata'aala memerintahkan kepada
hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Berbuat adillah karena
adil itu lebih dekat kepada taqwa". (QS. al-Maidah: 8).

Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam juga bersabda, "Siapa yang
memiliki dua isteri, lalu lebih condong kepada salah satunya maka ia
akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring".
(HR. Ahmad dan Abu Daud, dan dinilai shahih oleh al-Albani).

Dan dari Nu`man bin Basyir bahwa ayahnya membawa beliau datang
kepada Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, lalu ia berkata kepada
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, Sesungguhnya saya telah
memberikan kepada anakku ini (Nu'man) seorang budak milikku, kemudian
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bertanya, "Apakah seluruh
anakmu engkau berikan seperti dia?" Ia menjawab, "Tidak." Maka
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam pun bersabda, "Kembalikan
(budak tersebut)". Dalam sebuah riwayat beliau bersabda, "Takutlah
kalian kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak
kalian".(Muttafaq `alaih).

h.. Merupakan keistimewaan rumah muslim ideal adalah rumah yang di
dalamnya hidup sifat 'itsaar' (lebih mendahulukan orang lain walaupun
ia membutuhkan), dan memuliakan orang lain, berbuat baik serta
menghormati tetangganya. Sifat inilah yang hampir-hampir tidak kita
dapati di rumah-rumah muslim zaman ini. Sebaliknya sifat
individualismelah yang semakin membudaya, acuh tak acuh terhadap orang
lain, sampai-sampai kepada tetangga terdekat pun ia tidak mengenalnya,
lebih-lebih mengetahui kondisinya: Apakah tetangganya membutuhkan
bantuan, sakit, kelaparan atau pun yang lainnya. Ia sama sekali tidak
peduli.

Dalam hal ini Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Dan
mereka lebih mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang
beruntung".(QS al-Hasyr: 9)

i.. Rumah yang di dalam anggota keluarga memiliki sifat saling
memaafkan, tidak saling menyalahkan bahkan merasa dirinyalah yang
bersalah apabila terjadi kesalahpahaman dengan orang lain sehingga ia
bersegera mengoreksi dirinya. Saling menasihati karena agama adalah
nasihat, dengan nasihat yang baik dan dengan cara yang baik,
mudah-mudahan seseorang akan kembali dan bertaubat dari kekeliruannya,
saling menepati janji, tidak berkhianat, menghormati tamu karena hal
ini adalah termasuk ciri kesempurnaan iman seseorang, berbuat baik dan
menyayangi anak-anak yatim serta mencukupi kebutuhan mereka, karena
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Saya dan orang yang
mencukupi kebutuhan anak yatim di surga seperti ini, beliau
mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah".(HR. al-Bukhari).
Maksudnya orang yang mengurus anak yatim akan bersama beliau di surga.

j.. Rumah yang didalamnya senantiasa memberikan perhatian utama
terhadap urusan shalat, membaca al-Qur`an, zikrullah, tasbih, tahmid
ataupun tahlil, doa-doa ataupun dzikir-dzikir yang berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari, seperti keluar dan masuk rumah, makan, mau
tidur dan bangunnya, memakai pakaian ataupun lainnya. Demikian pula
senantiasa memanjatkan do'a kepada Allah terutama di waktu-waktu yang
mustajab, qiyamul lail, dan bentuk ibadah-ibadah yang lain.

k.. Rumah muslim ideal adalah rumah yang sederhana, tidak
berlebih-lebihan, tidak pula bermegah-megahan. Penghuninya senantiasa
menyambung silaturrahim terhadap kerabat dan saudara, berbakti kepada
orang tua, memperhatikan hak-hak hewan, dan memperhatikan hak-hak
masyarakat, peka dan peduli terhadap urusan dan kebutuhan masyarakat,
Islam dan kaum Muslimin serta menafkahkan hartanya dalam rangka
ketaatan kepada Allah subhanahu wata'aala.

Saudaraku, ingatlah bahwa setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban
oleh Allah subhanahu wata'aala kelak, Rasulullah shallallahu 'alahi
wasallam bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian
akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya."
(Mutta-faq 'Alaih). Maka perhatikanlah hal-hal tersebut di atas agar
rumah kita menjadi rumah yang benar-benar seperti rumah Rasulullah
shallallahu 'alahi wasallam dan para sahabatnya karena tidak ada
qudwah yang lebih baik dibanding rumah Rasulullah shallallahu 'alahi
wasallam dan para sahabatnya. Wallahu A`lam.

Oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim.

Sumber: Disadur dari artikel berjudul "Jawanib at-Tamayyuz Fi
Baitil-Muslim", DR. Ahmad bin Utsman al-Mazid dan DR. Adil bin Ali
asy-Syuddi.

30 September 2009

Mohon Maaf Lahir Batin

Minal Aidzin wal  Faidzin... 
 
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.... 
 
Selamat Lebaran Iedul Fithri 1430 H..... 

05 Agustus 2009

FW: [daarut-tauhiid] SEBAB SEBAB KERASNYA HATI

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallAllahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah swt agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyAllahu’ anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? ”. Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahan mu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan; hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”

Di antara sebab kerasnya hati adalah :

* Berlebihan dalam berbicara
* Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
* Terlalu banyak tertawa
* Terlalu banyak makan
* Banyak berbuat dosa
* Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembutDisebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”

Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :

* Mengenal Allah melalui nama-nama,sifat-sifat,dan perbuatan-perbuatan-Nya
* Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
* Banyak berdzikir kepada Allah
* Memperbanyak ketaatan
* Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian  atau melihat jenazah orang
* Mengkonsumsi makanan yang halal
* Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
* Sering mendengarkan nasehat
* Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
* Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
* Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
* Berdoa
* Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri

[diringkas dari al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]
 

__,_._,___

30 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] Sedekah Meringankan Takdir

Sedekah Meringankan takdir


oleh Ummi Agus

===============


“Good morning, Pak Gland, what’d happened with your neck?” sapaku pada Bosku
yang pagi itu datang dengan kondisi berbalut penyangga leher; yang
disambut Bosku dengan cerita panjang lebar penyebab balutan dilehernya,
bagaimana saat liburan akhir minggu disuatu daerah pariwisata, ternyata
motor yang ditumpangi bersama rekannya, terpelanting ditikungan dan
terseret di jalanan berpasir dan akibat peristiwa itu, salah urat pada
leher membuatnya sulit untuk digerakkan dan harus dirawat dua hari
dirumah sakit tempatnya berlibur.

Saat ia bercerita, aku teringat anak kami yang sedang melanjutkan
kuliahnya didaerah yang sama, yang juga mengendarai motor sebagai alat
transportasinya; yah, hanya do’a kami sebagai orang tua yang selalu
kami panjatkan kepada Alloh SWT agar anak kami selalu selamat dalam
lindunganNya dan dijauhi dari segala musibah.

Jam-jam sibuk hari itupun berlalu, sambil beranjak pulang aku
lantunkan dalam hati do’a-do’a kepada Alloh, mohon perlindunganNya;
do’a itu berlanjut saat bus yang kutumpangi dari arah belakang bergerak
lambat, beriringan dengan kendaraan lainnya, karena jam yang sama,
semua orang berpacu menuju ketempat tinggal masing-masing.
Walau bus penuh penumpang, Alhamdulillah, Alloh berikan aku rizki
tempat duduk untuk melepas lelah; saat itu posisi dudukku berada di
deretan belakang, maka dengan leluasa aku dapat melihat apa yang
terjadi di depanku; Diantara penumpang yang kuperhatikan, ada dua anak
yang terlihat seperti kakak-beradik berdiri tidak jauh dari tempatku
duduk; si adik dengan posisi jongkok sepertinya sedang menahan rasa
sakit diperutnya, sedangkan sang kakak berdiri disebelahnya seolah
tidak begitu peduli dengan kondisi si adik.

Sekian menit bus berjalan, aku perhatikan kondisi si adik semakin
meringis,pucat, menahan sakit; membuat hati ini tergugah, maka dengan
tidak mempedulikan reaksi penumpang lain, aku bertanya “Adik sakit
perut ya?”.. ternyata menjawab si kakak “iya tuh Bu, mules, masuk angin
barangkali”..

Tanpa berfikir panjang, dengan cepat aku cari uang duapuluh ribuan
yang sudah aku bayangkan dan niatkan untuk aku berikan pada mereka
sejak tadi, lantas aku ulurkan pada si kakak “kalau nanti sampai, bisa
tolong belikan obat masuk angin dan makanan untuk adikmu”, sang kakak
dengan sigap mengiyakan.

Setibanya bus diterminal, dengan tergesa-gesa semua penumpang
berhamburan keluar, begitu juga dengan kedua kakak-beradik tersebut;
kuperhatikan dari jauh bagaimana si adik langsung menuju ke wc umum,
sedang si kakak ke arah pedagang; sedangkan aku, melanjutkan langkahku
mencari kendaraan umum yang akan membawaku menuju rumah; saat itu jam
menunjukkan pukul 16.30, dan entah mengapa, saat berada dalam kendaraan
tersebut, tiba-tiba airmata ini bercucuran tanpa bisa dicegah, saat
itu, terbayang
anak-anak kami –yang sepertinya- usianya tidak jauh
berbeda dengan kakak beradik yang aku temui tadi; bedanya anak bungsuku
dirumah, sedang sang kakak jauh di daerah.

Akhirnya, alhamdulillah, sampailah aku dirumah, dengan mengucap
salam, aku masuki rumah, kupeluk si bungsu, kemudian kulanjutkan dengan
aktifitasku sebagai ibu rumah tangga. Selang beberapa menit sebelum
adzan maghrib, telpon rumahku berdering, aku fikir, mungkin dari
suamiku yang akan minta izin akan pulang setelah sholat maghrib di
kantornya; ternyata dari seberang sana terdengar suara tersendat-sendat
“Bunda,…a..a.. aku.. ba..ru..ja..tuh..dari
motor…ta..pi..ga’..papa..koq’..” wah!...itu suara si sulung,anak kami,
merintih seperti menahan sakit; dengan paniknya aku menjawab..”Mas,
bagaimana kondisinya, dimana jatuhnya.., apa yang sakit, nak”…dg
perlahan anakku menjawab
“Bunda.. ga’ usah panik, aku sudah ditolong
temanku dibawa ke dokter, alhamdulillah ..Cuma mata kakiku yang lecet,
motorku terpeleset ditikungan jalan yang banyak pasirnya”…

Subhanalloh…

Silih berganti terbayang dibenakku, bagaimana peristiwa yang menimpa
bosku dengan kondisi yang sama dan terbayang juga kondisi kakak beradik
di bus sore ini..
Airmata ini berurai tak terbendung…cepat-cepat aku tanyakan “jam
berapa kejadiannya, anakku?”…”kira2 jam 17.30-an tadi, Bun” ujar
anakku..

MasyaAlloh, dengan selisih perbedaan waktu setempat, ternyata takdir
anakku jatuh dari motor berlaku di jam yang sama dengan linangan
airmata ibunya dikendaraan umum tadi.

Subhanalloh..

Dengan penuh kasih sayang seorang ibu, aku besarkan hatinya untuk
selalu tegar dan menyuruhnya istirahat, minum obat, sambil
mengingatkannya untuk selalu dekat dan berkomunikasi kepada Alloh
dengan menjalankan segala perintahNya, do’a orang tua akan selalu
mengiringi..”

Malam itu, setelah semua kejadian dan hubungannya dengan sedekah
yang diberikan dengan ketulusan hati membuahkan lebih ringannya akibat
dari musibah yang Alloh takdirkan pada anak kami, aku ceritakan kepada
suami dan si bungsu; dengan bersama-sama kami panjatkan do’a syukur
kepada Alloh karena hanya dengan rahmat
Alloh SWT anak kami
Alhamdulillah sehat, selamat.

Semoga Alloh jaga istiqomahnya ibadah kami untuk selalu berzakat dan sedekah karena Alloh semata, amiin ya Robbal ‘alamiin.


sumber:eramuslim.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
 
 

27 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] barangsiapa-menyia-nyiakan-shalat-lima-waktu-untuk-amalan-lainnya-pasti-lebih-disia-siakan-lagi

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu
menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa
menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa,

“Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan
agamanya. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan
penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan
semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat
lima waktunya. Kenalilah dirimu, wahai Abdullah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam
Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam
hatimu.“

Oleh karena itu, jangan heran jika kita melihat seseorang yang sering bolong shalatnya, amalan yang lainnya juga lebihdia sia-siakan, lebih sering berdusta, dan lebih menyia-nyiakan amanat.

Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan: Ash Sholah wa Hukmu Taarikiha, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.

***
Mediu-Jogja, 17 Jumadil Ula 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

23 Juli 2009

FW: [daarut-tauhiid] Fwd: JUJUR ITU INDAH

----- Original Message -----
From: "Mailinglist Al-Sofwah" <
ustadz@alsofwah.or.id>

JUJUR ITU INDAH
Senin, 06 Juli 09

"Pokoknya kita mesti cerai hari ini," tukas sang istri kepada suaminya.
"Kembalikan uang saya, saya tidak rela dengan barang cacat seperti ini,"
sahut pembeli kepada penjual. "Tok..tok..tok.." suara palu diketuk, hakim
memutuskan bahwa si fulan bin fulan tersang ka kasus pendinginan uang. dan
masih seabreg kasus lainnya, terjadi di negri kita ini, disebabkan karena
ketidakjujuran dalam mengemban amanah, bagaimanakah Islam menilai
kejujuran..!

Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan,
olehkarenanya hendak-lah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi,
dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.

Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap
ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan
nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi.

Akhlaq itu adalah jujur dalam berkata dan beramal, karenanya seorang muslim
akan merasa tentram, dan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang
berakhir di jannatullah.

Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang
salimah (lurus), pemandangan ironi pun kerap terjadi, ya!.. tanggal 01 April
dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal
dengan April Mop [hari penghalalan ber bohong] innalillahi wainna ilaihi
rajiun! inilah pembatalan syari'at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama
Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan
bohong.

Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]" (QS.
at-Taubah:119), dalam ayat yang lain, "Agar Allah memberikan balasan kepada
yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia
menghendakinya." (QS. al-ahzab: 24)

Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, "Itu semua menunjukkan bahwasanya
kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah,
oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak
menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat"

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah kalian
berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada
kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila
seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala
sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena
sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya
kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa
berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta'ala sebagai seorang
pendusta." (Muttafaqun 'alaih).

Lantas apakah hakekat kejujuran..? Syaikh al-utsaimin Ta'ala berkata, "Jujur
adalah, selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau
perbuatan."

Oleh karenanya kita katakan, apabila khabar (perkataan) selaras dengan
kenyataan maka itulah kejujuran dengan llisan, dan apabila perbuatan badan
selaras dengan hati maka itulah kejujuran dengan perbuatan.

Maka, orang yang berbuat riya', bukanlah orang yang jujur, karena dia
menampakkan ketaatan tapi hatinya tidak demikian.

Begitu juga orang munafiq, menampakkan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran.

Demikian orang musyrik, menampakkan ketauhidan dan menyembunyikan
peribadatan kepada selain Allah.

Tak jauh beda dengan ahli bid'ah, menampakkan keta'atan dan pengikutan
kepada rasul akan tetapi dia menyelisihinya.

Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam
berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan
dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia
dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam
jual beli, berumah tangga,ber patner dalam bekerja, baik di instansi
pemerintahan ataupun swasta, dll. Sehingga tertutuplah pintu kecurangan,
penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.

Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur,
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Celakalah bagi
orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka
celakalah kemudian celakalah." (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani.), oleh
karena itu kita harus berhati-hati.

Adapun buah dari kejujuran adalah, berikut ini;

Bahwasanya ia menghantarkan kepada kebaikan yang bertepi di surga Allah
Ta'ala, mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq
yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya,
terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh
karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tinggalkanlah
yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu
ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan" (HR. at-tirmizi)

Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang
tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh
kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia
mati di atas kasurnya." (HR. Muslim). Dan faidah lainnya yang tak terhitung.

Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita
dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar
-Amirul Mu'minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya,
hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar
percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya,
"Tuangkanlah air ke dalam susu ini," tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka
sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, "Wahai ibu! bukankah Amirul
Mu'minin melarang kita dari perbuatan ini?" Sang ibu pun lantas berkilah,
"Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi
Amirul Mu'minin!" Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, "Wahai ibu!,
kalaulah seandainya Amirul Mu'minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya
Amirul mukminin mengetahui." Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget
dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk
menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh 'Ashim bin umar
dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi
oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim
yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran,
dialah Amirul Mu'minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa,
zuhud dan adil.

Oleh : Ihsan Jawadi
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.

17 Juli 2009

Dokter Lo Siaw Ging, Tak Sudi Berdagang

Rabu, 15 Juli 2009 | 03:32 WIB

Oleh Sonya Hellen Sinombor

Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung
tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter
di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien
tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak
pernah dimintai bayaran.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga
Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar,
Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang
75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para
pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien
yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan
Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah
keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar
ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak
sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan "biasa saja". Dia merasa
dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya
bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak
membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya
pemeriksaan dan resep obatnya.

Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, "Memangnya
kamu sudah punya uang banyak?"

Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita,
dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. "Saya pernah
ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima," ucapnya.

Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan,
para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga
tak pernah diminta bayaran. "Kami hanya bisa bilang terima kasih
dokter, lalu ke luar ruang periksa," katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar
tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini
tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya
uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat
segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan
resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya
menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien
atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo,
petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat
tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? "Bervariasi, dari ratusan
ribu sampai Rp 10 juta per bulan."

Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu
dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat
dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu
membebankan biaya perawatan kepada Lo.

Kerusuhan 1998

Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak
mampu, relatif "populer". Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini
justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan
wawancara dari media.

"Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa," ujarnya.

Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang
tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan
itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,"
ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo
dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang
membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada
Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh
masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia
tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya
rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak
permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.

"Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya
kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan
tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau
berobat," cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan,
yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.

Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke
tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian
berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.

"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?"
ucapnya.

Anugerah

Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian
bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen,
seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan
sang ayah kini telah tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah
kedokteran. "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi
dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter.
Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya
harus terbuka. Saya tidak pasang tarif," kata Lo yang namanya masuk
dalam buku Kitab Solo itu.

Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang.
Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu
karena harus memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar
15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai
panutan. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan
sehari-harinya sederhana," ujarnya.

Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul
saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. "Ini bukan berarti saya
tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama
yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita,
sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa
lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi,
dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang
dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.

"Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa
banyak sih makannya?" ujar Lo.

Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah "cuti" praktik. Lies
(55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan
tahun menjadi pasiennya mengatakan, "Dokter Lo praktik pagi dan malam.
Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu
ada kapan pun kami memerlukan."

DATA DIRI

* Nama: Lo Siaw Ging * Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 * Istri: Maria
Gan May Kwee (62) * Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 * Profesi: -
Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen,
Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo


Dikutip:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/15/03321720/dokter.lo.siaw.ging
.tak.sudi.berdagang

16 Juli 2009

FW: [ika-smanisda] Sebuah Koin Penyok


Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu
arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur.
Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya
sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut
memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, sandang dan
pangan. Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering
marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang
layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin
bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan,
yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya
terantuk sesuatu.
Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya.
"Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok, " gerutunya kecewa.
Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.
"Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno," kata teller itu
memberi saran.
Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya ke kolektor.
Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.
Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia
lakukan dengan rejeki nomplok ini.

Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu
sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena
istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan
jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar,
dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel.
Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu.
Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada
waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar
kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin
itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar
dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai
istrinya.

Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa
lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang. Di tengah perjalanan dia
melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah
barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak
berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200
dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya
menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak
ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima.
Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat
itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati,
merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya
berkata, "Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan ? Apa yang diambil oleh perampok tadi?"
Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa..
Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi".

Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam
dalam kepedihan yang berlebihan? Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas
segala karunia hidup yang telah Tuhan berikan pada kita, karena ketika
datang dan pergi kita tidak membawa apa-apa.

15 Juli 2009

Menunda Dunia Untuk Allah


Ust. Yusuf Mansyur
 
 
Bagi saya, persoalan shalat adalah persoalan tauhid. Sebab tauhid kan sederhananya: Mengenal Allah. Lalu bagaimana kualitas shalat kita, sebagaimana itulah kita bertauhid kepadanya. Memang ada urusan lain di urusan shalat, tapi semua bermula dari sini... Dari shalat...
 
Perrmohonan maaf kepada para peserta sebab kemaren sempat kosong tidak ada materi. Alhamdulillah pagi ini kita ketemu lagi. Insya Allah pembahasannya masih seputar shalat. Sebab buat saya, urusan shalat itulah urusan tauhid.
Kemaren pagi jam 11 saya nemanin istri saya check-up kami punya baby di rumah sakit. Diberitahu bahwa dokternya hanya sampe jam 13 saja. Alhamdulillah, urusan shalat nomor satu. Saya mengincar pom bensin di menjelang Mal Puri. Di sana ada tempat shalat yang bersih. Saya belajar seperti ini. Dan saya menyuarakan agar sebanyak-banyaknya orang juga begini. Betul-betul waspada di urusan shalat. Dan alhamdulillah malah nyampe jam 12.40-an. Masih belum terlambat.
 
Nah, kadang suka timbul pikiran begini, shalat di sana saja dah. Takutnya telat. Ntar dokternya malah pergi lagi. Akhirnya malah kadang terlambat semua mua. Datangnya juga terlambat. Dan sering juga akhirnya shalat di akhir waktu. Saya menikmati benar mendahulukan Allah ini. Saya yakin, yang punya jalan adalah Allah. Sehingga kalau mendahulukan Allah, niscaya jalanan akan dibuat lenggang oleh Allah Pemilik Jalan.
Begitulah Saudara-saudaraku, peserta KuliahOnline. Percuma juga kita bicara Allah bila kemudian urusan shalat kita berantakan. Persoalan shalat sebenernya dijadikan Kuliah Dasar tersendiri. Namun, karena bagi saya ini persoalan yang mendasar, maka ia dijadikan sebagai bahagian dari Kuliah Tauhid.
 
Kalau dilihat perilaku manusia-manusia di Indonesia ini, memang bertuhan namun sebenernya masih perlu dipertanyakan lagi ketuhanannya. Sebab seperti ga kenal sama Allah. Contoh, di dalam pesta perkawinan, wuh, soal shalat, kayak ga ketemu shalat tepat waktu di sini, kecuali segelintir saja.
Di mall, di perkantoran, di gedung-gedung, sedikit sekali yang betul-betul memerhatikan shalat sebagai cerminan bertauhid yang benar.
Ok, sebagai kelanjutan bicara-bicara ini, mari kita lanjutkan pembahasan seputar shalat. Selamat menikmati esai-esai pendek. Saya pilih juga cara penyajian dengan esai-esai pendek agar peserta mudah mempelajari dan memahami. Juga mudah mendistribusikan lagi kepada yang lain sebagai perpanjangan dakwah saya dan kawan-kawan. Amin.
Robbij'alnii muqiimash sholaah wa min dzurriyyatii, ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak keturunanku sebagai orang-orang yang menegakkan shalat…
 
Ada hadiah dari Allah
buat siapa saja yang mementingkan diri-Nya
Si A, membawa surat interview.
Dia ini orang yang terbiasa tepat waktu.
Ia gelisah. Sebab di surat interview itu, ia dipanggil jam 11.00. Jam yang rawan bagi dia.
Rawan apaan?
 
Rawan untuk tidak bisa mempersiapkan diri shalat tepat waktu.
Subhaanallaah! Padahal jam 11 kan masih jauh? Masih 1 jam menuju waktu shalat.
Iya. Itu kalo dia prediksi wawancara bisa berlangsung tepat waktu. Bagaimana kalau pewawancara telat. Atau ia datang di urutan wawancara nomor ke sekian? Atau wawancara akan masih berlangsung sedang waktu shalat sudah menjelang. Lihat ya, baru "sudah menjelang", bukan sudah datang.
Pikiran ini betul-betul mengganggu si A ini.
Tapi karena dia butuh pekerjaan, kemudian dia tetap memutuskan untuk datang.
Jam 11 kurang dia sudah sampai. Dia catatkan namanya untuk interview. Ternyata hanya dia seorang. Aman nih.
Tapi apa yang terjadi? Ternyata si penginterview dipanggil oleh direksi. Sampe jam 11.30-an ga kunjung ada kejelasan apakah wawancara bisa dilaksanakan atau tidak, atau di jam berapa wawancara bisa dilaksanakan.
Di mata si A ini, pertanyaan itu jelas ia jawab, atau bahasa lainnya, jawabannya jelas: Batal.
Betul: Batal.
Dia memilih tidak wawancara bila wawancara itu dilakukan di jam 12 lalu mengganggu jadual shalatnya.
Masya Allah.
"Mbak, saya izin dulu ya. Nanti saya balik lagi. Saya titip tas di sini," katanya kepada resepsionis.
"Bawa aja tas nya.
Emangnya mau kemana? Bapak sebentar lagi barangkali datang."
"Mau shalat dulu."
"Oh… Silahkan… Nanti saya beritahu Bapak."
Alhamdulillah, pikir si A. Kirain akan dimarahin. Ini malah dipersilahkan dan akan dibantu untuk memberitahukan ke pewawancara.
Alhamdulillah.
***
 
Sesampenya si A di ruang mushalla, belum ada orang. Sebab baru jam 12.50. saat itu, zuhur jam 12.08.
Kira-kira jam 12-an lewat, tapi belum datang saatnya azan, datang seorang bapak. Bersih wajahnya. Berseri. Bapak ini sudah datang dalam keadaan berwudhu. Ditemani oleh dua orang lagi di sebelahnya. Juga dalam keadaan sudah berwudhu nampaknya. Sebab si A tidak melihat ada tanda-tanda bekas air wudhu baru.
"Mas, bukan pegawai sini ya?" tanya salah satu dari yang tiga orang tersebut.
"Iya Pak"
"Eh, kemana yang azan? Koq belum azan nih?" cetus lagi yang satu, sambil melihat jam.
"Saya saja Pak yang azan," kata si A.
Dalam keadaan rapih baju dan celananya, dan dalam keadaan wangi, si A, azan. Ada rasa kebanggaan di hatinya, bahwa dia bisa mengalahkan interview untuk dapat azan dan shalat zuhur berjamaah.
Berdirilah yang tiga orang tersebut, sambil menunggu azan selesai. Seolah-olah mereka mendampingi si A ber-azan.
Selepas azan, si A tidak sempat lagi bicara-bicara dengan tiga orang tersebut. Sebab mushalla sudah keburu ramai.
Hanya, selepas shalat ba'diyah, pundaknya ditepuk oleh salah satu dari yang tiga. "Mas yang akan diwawancara oleh saya ya?"
Kagetlah si A. Rupanya ia bersama-sama sang pewawancara. Satu shaf.
"Yang ngimamin shalat itu, Dirut kita," katanya datar. "Kita tunggu beliau selesai shalat sunnah."
Singkat cerita, malah si A itu diajak makan siang bersama. Dua dari yang tiga, adalah direksi. Sedang yang mewawancara pun nampaknya memiliki jabatan yang cukup tinggi di kantor tersebut.
Sungguh beruntung si A. Ia jaga shalatnya, malah Allah dudukkan dia dalam posisi yang sangat mulia.
Bagaimana lalu dengan awawancaranya? Ya sudah tidak perlu diwawancara kali. Pertemuan di mushalla, dan azannya si A, sudah menyelesaikan wawancara. Alhamdulillah, subhaanallaah.
Para Peserta Kuliah Online yang budiman, kalau kita hidup dalam aturan Allah, maka Allah akan mengaturkan hal-hal yang terbaik buat kita.
Allah Maha Mengendalikan dunia ini, dan DIA Maha Mengetahui apa yang akan terjadi. Pintu rizki pun di tangan-Nya. Bukan di tangan siapa-siapa.
***
 
Memberi Jam yang Terbaik
Allah begitu baik sama kita.
Sedangkan kita…?
Judul di atas bukan bermaksud memberi hadiah jam tangan. Bukan. Maksudnya, memberikan waktu terbaik kita buat Allah. Tidak mudah loh menerapkan hal ini. Makanya, mintalah bantuan, bimbingan, dan pertolongan Allah, agar bisa memberikan kepada Allah, waktu terbaik untuk-Nya.
Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah?
Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
 
  1. Waktu istirahat kita di pertengahan malam, di dua pertiga malam, dan atau di sepertiga malam. Untuk bangun malam. Untuk ruku' dan sujud, memuji Allah dan memohon pertolongan- Nya. Memohon bimbingan-Nya agar kita tidak kelelahan dalam menjalani hidup ini. Agar anak-anak menjadi anak-anak yang saleh salehah. Agar orang-orang tua kita panjang umur, sehat dan diampuni Allah. Dan masih banyak lagi lah. Wuah, ini berat. Tidak sedikit yang tidak mampu mengorbankan waktu tidurnya. Karena lelahnya mencari dunia, kita lalu tidak bisa bangun malam. Atau karena banyaknya dunia yang di tangan kita, kita lalu berat untuk bangun malam. Suasana pun barangkali sedang nyaman, tidak sedang bermasalah.
  2. Waktu pagi. Ketika manusia langsung ngebut dengan pekerjaannya, dengan usahanya, dengan kesibukannya, kita korbankan dulu barang sedikit untuk menegakkan shalat dhuha. Dan sebelumnya, ketika manusia langsung berburu dunia, kita malah tahan dulu barang sebentar untuk menegakkan shalat shubuh. Subhaanallaah. Kalau bisa shalat shubuhnya di masjid. Masya Allah. Kita ajak anak-anak dan istri.
  3. Jam zuhur. Jam sibuk-sibuknya. Traffic lagi tinggi-tingginya. Ketika pelanggan lagi banyak-banyaknya, kita ridho meninggalkannya demi Yang Memiliki diri kita dengan seluruh pemberian-Nya. Ga usah khawatir degan berkurangnya perniagaan. Lihat saja Mekkah dan madinah. Ketika jam shalat, mereka tutup. Akhirnya apa? Allah malah memberikan international buyer, pembeli internasional. Bukan sekedar local buyer.
  4. Jam ashar. Jam ngantuk. Kita segarkan diri kita, dengan air wudhu. Kita segarkan batin kita, jiwa kita, raga kita, dengan shalat ashar. Sungguh banyak kemuliaan bacaan-bacaan habis ashar. Insya Allah akan saya banyak tulis di website.
 
Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18 mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk keseombongannya, untuk hawa nafsunya. Subhaanallaah.
***
Habis, Kita Digaji Beliau Sih...
Kita tidak pernah tahu dengan sungguh-sungguh
darimana rizki kita berasal. Barangkali, karena
itulah kita jarang mengistimewakan Allah.
"Pak Helmy, ke ruang saya ya…", perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepat-cepat, dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar.
Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak Helmy, dan lalu bicara begitu: "Pak Helmy, ke ruang saya ya…".
Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali diperlukan, supaya bos besar senang.
Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah.
Kalau kita ditegor orang, "Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…". Maka kita akan menjawab, "Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja di perusahaan ini sebab kebaikan dia".
Luar biasa. Begitu hebatnya "tauhid" kita kepada bos besar tersebut.
Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri. Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini.
Semoga Allah menyayangi kita semua.
***
 
Ani SBY
Adalah wajar menghormati dan menghargai seorang manusia, karena kedudukannya, karena kemuliaannya, karena kekayaannya. Tapi menjadi tidak wajar, bila kemudian Pemilik Kesejatian Kedudukan, Kemuliaan, Kekayaan, tidak kita hormati tidak kita hargai.
Ini bukan tulisan esai yang pro partai demokrat. Ini juga bukan cerita tentang seseorang yang membela SBY. Ini hanya cerita seorang anak bangsa yang bangga sama ibu negaranya, istri presidennya yang berkuasa saat ini (SBY adalah presiden Indonesia saat tulisan ini dibuat, Web Admin). Itu saja.
Ok, saya memprologkan hal ini, sebab saya memang senang dengan Bu Ani SBY. Istri dari SBY.
Senang. Sederhana. Kelihatan tidak neko-neko. Tidak kedengeran bisnis yang macam-macam. Nampaknya sosok ibu dan istri yang baik. Dan ini bukan tulisan yang menyatakan ketidaksenangan dengan beliau. Justru lantaran senangnya. Tulisan ini menjadi ada, karena Allah menjadikan ini sebagai pelajaran buat saya.
Pada satu saat, ada pameran buku-buku di Dunia Islam yang pembukaannya saya diundang utuk hadir. Dan katanya, dihadiri oleh Bu Ani SBY sebagai istri Presiden yang bakal membuka pameran secara resmi.
"Pengawalannya ketat Pak!" kata salah satu panitia.
Yang lainnya menimpali, "Iya, seluruh penyewa ruangan pameran, ga boleh lagi masukin barang sejak jam 11 malam tadi".
"Betul-betul diawasi", kata yang satunya lagi.
Saya mendengar dialog ini. Saya yang udah mau nerobos masuk, jadi ga enak. Bukan sombong, insya Allah wajah saya diberi keleluasan untuk masuk, he he he.
Ada pengecualian. Coba saja saya dilarang masuk, ya saya pulang. Kalo saya pulang, maka jadual baca doa, jadi berantakan, he he he. Tapi saya tahan langkah saya ini. Biarlah sistem yang bekerja. Toh kalau panitia butuh, dia akan nyari saya. Namun, pelajaran tauhid, bergetar di hati saya. Saya bergumam di dalam hati, subhaanallaah. Untuk kedatangan pembesar negeri ini, dan ini baru istrinya, manusia sudah dibuat repot, he he he. Kenapa ya kalo yang datang Allah, kita tidak repot? Nah!
Coba aja lihat, barang-barang boleh masuk ke ruang pameran, jam 11 semalam sebelumnya. Dan di pagi hari, engga boleh lagi ada yang keluar masuk 2 jam sebelumnya. Sebab apa? Ya sebab tadi. Bu Presiden bakalan masuk ruangan. Clear Area.
Bagaimana dengan Allah? Bagaimana dengan kedatangan-Nya di waktu shalat?
Allah, hanya minta waktu sama kita untuk tepat waktu. Kita tidak disuruh bersiap-siap yang berlebihan hingga kemudian kita malah melupakan dunia kita. Kita hanya disuruh pada saatnya menghadap, tinggalkanlah perniagaan, tinggalkanlah jual beli. Itu kalau mau beruntung. Tapi lihat? Manusia lebih menghargai manusia yang lebih terhormat. Tidak mau melihat Yang Maha Terhormat. Manusia lebih bisa menghargai manusia lain yang lebih kaya. Tidak menghargai Yang Maha Kaya, Yang Teramat Kaya. Manusia, lebih menghargai terhadap mereka yang punya kekuasaan dan pengaruh lebih. Tapi terhadap Allah, Yang Maha Kuasa dan Teramat Kuasa, ya begitu dah bentuk penghargaan dan penghormatan kita. Kita tau sendiri bagaimana bentuknya.
Maka diri ini berpesan kepada diri ini sendiri, seyogyanya berkenalanlah dengan Allah. Lewat hati. Supaya bisa mementingkan Allah, menghargai Allah, menghormati Allah, lebih dari siapapun di dunia ini.
***
Gelisah
Bilakah kegelisahan menghilang dari kalbu kita manakalah kita mengabaikan waktu shalat?
Bila datang sebentar lagi waktu shalat, dan kita tahu siapa yang bakal turun ke langit dunia (yaitu Allah), sedang kita masih di jalan tol misalnya… bersyukurlah bila kemudian dikarunia hati yang gelisah. Gelisah apa? Gelisah tidak bisa shalat tepat waktu.
Di mana kita ketika waktu shalat tiba? Pertanyaan ini kita tanyakan kepada diri kita. Kalo kita menjawab, alhamdulillah kami sudah di dalam masjid # alhamdulillah kami sudah dalam keadaan berwudhu dan di atas sajadah # alhamdulillah kami sudah berjalan menuju masjid # maka bersyukurlah. Jangan sampe kemudian kita merasa "aman-aman" saja. Bahkan tidak gelisah sama sekali ketika jam shalat sudah mau habis.
Ya, banyak manusia yang gelisah dengan pendapatannya hari itu. Banyak manusia yang gelisah dengan proyek-proyeknya hari itu. Banyak manusia yang resah dengan masalahnya yang belum juga selesai hingga di hari itu. Banyak orang tua yang gelisah dengan keadaan anaknya yang sudah makan atau belum kalau anaknya pulang terlambat, dan gelisah kalau tidak ada tanda-tanda anaknya bakal datang. Tapi siapa yang mampu gelisah sebab khawatir shalat tidak tepat waktu?
Sebuah keutamaan adanya bila kemudian kita datang ke tempat shalat, menyiapkan diri untuk shalat, tapi waktunya azan belum lagi datang. Artinya, kitalah yang datang duluan. Adem rasanya.
Kalau kita tiada gelisah dengan kondisi buruknya shalat kita, maka Allah akan berikan kegelisahan itu di hati kita, sampai kita tidak tahu jawabannya apaan.
Kanbanyak tuh orang-orang yang gelisah tapi ga tahu kenapa dia bisa gelisah? Maka coba aja jajal koreksi dari sisi ini.
***

 

18 Juni 2009

FW: [daarut-tauhiid] SALAH KAPRAH TENTANG WAKTU SUBUH

oleh : Mamduh Farhan al-Buhairi

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa`: 103)

Keprihatinan

Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa
kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya.
Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam
hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat
kesalahan seputar waktu Subuh. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya,
saya menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya berkisar
antara 9 hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara
umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni
mengumandangkan adzan paling tidak 24 menit sebelum munculnya fajar
shadiq.

Sesungguhnya jadual waktu shalat yang dipakai sekarang ini hampir di semua
Negara Islam, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang
insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini
ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama
beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah,
kemudian dari tempat itu, juga berdasarkan letak garis bujur dan garis
lintang, berdasarkan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan
waktu harian, diantaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu
tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad
Ali Basya dan Negara Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan
(matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan
penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis
lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum)
pada setiap Negara. Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun
melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling
mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari
setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit
untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan
waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu
berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah.

Masuknya waktu adalah syarat sahnya shalat

Sebelum kami sebutkan dalil-dalil yang mendukung kebenaran apa yang saya
sampaikan -bahwa penanggalan sekarang salah- saya akan mulai dengan
menyebutkan pentingnya waktu shalat, karena termasuk syarat terpenting
bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Ibn Abdilbarr mengatakan,
"Shalat tidak sah sebelum waktunya, ini tidak diperselisihkan di antara
ulama." Dari kitab al-Ijma' karya Ibn Abdilbarr -Rahimahullah-, hal. 45.

Para ulama fikih menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu
shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin
bahwa waktunya telah masuk, atau besar dugaannya bahwa waktu telah masuk,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah -Rahimahullah- dalam kitab
al-Mughni (2/30).

Yang kita lihat di sebagian besar negeri muslim adalah mereka shalat Subuh
di waktu fajar kadzib (Zodiacal light), yakni pada waktu masih gelap di
akhir malam.

Supaya tidak memperpanjang kalam, maka saya akan mulai masuk dalam
pembahasan, dengan menjelaskan makna fajar menurut ahli bahasa dan ulama
fikih.

Menurut Ibn Mandzur, al-Fajr adalah, "Cahaya Subuh, yaitu semburat merah
di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama
adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang
kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq,
yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang
berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini." Lisanul Arab
(5/45), cet. Beirut.

Dalam kitab Mukhtarus Sihah (hal. 324, cet. Darul Basya`ir) disebutkan,
"al-Fajr, di akhir malam seperti syafaq(semburat mega merah) di awal
malam."

Dalam al-Qamus al-Muhith (hal. 584, Mu`assasah ar-Risalah), disebutkan,
"Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu semburan sinar matahari yang merah…"

Dengan demikian, kita mengetahui kata al-Fajr dalam bahasa Arab
dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang
pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq, dan bahwa yang berkaitan dengan
hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang
puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar
shadiq.

Fajar dalam al-Qur`an dan Sunnah.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."
(QS. Al-Baqarah: 187)

Dari Salim bin abdillah dari ayahnya, bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi
wasalam- bersabda: "Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu
malam, makan dan minumlah hingga Ibn Ummi Maktum adzan." Kemudian berkata,
“Ia adalah laki-laki buta, ia tidak adzan hingga dikatakan kepadanya:
Sudah subuh, sudah subuh." (HR. al-Bukhari: 610)

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas
-Radiallahuanhuma-, bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
"Fajar itu ada dua; fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan
shalat, kedua fajar yang di dalamnya halam makanan dan haram shalat
-Subuh-." Dishahihkan al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4279.

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir , Rasulullah -Shalallahu
alaihi wasalam- bersabda, "Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala
tidak boleh shalat dan tidak mengharamkan makanan. Adapun fajar yang
menyebar di ufuk maka boleh shalat dan tidak boleh makan." Shahihul Jami'
no. 4278.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Fajar ada dua, fajar yang disebut
seperti ekor serigala adalah fajar kadzib yang memanjang vertical dan
tidak menyebar secara horizontal, yang kedua fajar yang melebar
(horizontal) dan bukan vertical." Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
ash-Shahihah, no. 2002; Shahih al-Jami': 4278.

Fajar menurut ulama
Ibn Abbas -Radiallahuanhuma- mengatakan, "Fajar ada dua, fajar yang
mencuat ke langit tidak menghalalkan dan tidak pula mengharamkan apapun,
akan tetapi fajar yang jelas terlihat di puncak-puncak gunung, itulah yang
mengharamkan minum." Dikeluarkan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam Jami'ul
Bayan (2/173).

Ibn Qudamah -Rahimahullah- mengatakan, "Ringkasnya, bahwa waktu Subuh
masuk dengan terbitnya fajar kedua, berdasarkan ijma' ulama. Hadits-hadits
tentang penentuan waktu shalat menunjukkan hal ini, yaitu sinar putih yang
melebar di ufuk. Disebut fajar shadiq, karena ia benar memberitakan
tentang Subuh dan menjelaskannya kepada anda. Subuh itu adalah waktu yang
menggabungkan sinar putih (terang) dengan semburat merah. Dari sini orang
yang berkulit putih bercampur merah disebut Ashbah. Sedangkan fajar
pertama yaitu sinar terang yang memanjang ke atas dan tidak melebar
(vertical) maka tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syar'i, disebut
fajar kadzib." Dari kitab al-Mughni (2/30).

Ibn Hazm -Rahimahullah- mengatakan, "Fajar pertama adalah meninggi ke atas
seperti ekor serigala, setelah itu gelap lagi menyelimuti ufuk, tidak
mengharamkan makan dan minum bagi orang yang puasa, belum masuk waktu
shalat Subuh. Ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari umat ini."
Yang kedua, adalah sinar terang yang melebar di langit di ufuk timur di
tempat terbitnya matahari pada setiap masa. Ia berpindah dengan
perpindahannya (matahari), ia merupakan permulaan cahaya Subuh, dan
semakin terang, barangkali dicampuri dengan semburat merah yang indah.
Inilah yang menjelaskan masuknya waktu puasa, dan adzan shalat Subuh.
Adapun masuknya waktu shalat terjadi dengan semakin terangnya, maka ini
tidak diperselisihkan oleh seorangpun." Al-Muhalla (3/192)

Dari dalil-dalil ini, menjadi jelas bagi kita kapan waktu fajar shadiq.
Kita bisa mengenalinya dengan sinar terang yang menyebar di langit. Agar
sinar terang ini menjadi jelas, dan kita mengetahui kapan ulama terdahulu
shalat, mari kita baca penjelasan Ibn Jarir At-Thabari -Rahimahullah-
tentang sifat atau karakter sinar terang tersebut. Ia mengatakan,

"Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit,
sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan
jalan-jalan menjadi jelas." Tafsir At-Thabari (2/167).

Lantas bandingkanlah keadaan kita sekarang ini, dengan apa yang disebutkan
oleh Ibn Jarir ini?

Syaikh Ibn Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan, "Para ulama menyebutkan
bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga perbedaan:
1. Fajar kadzib mumtad (memanjang) tidak mu'taridh (menghadang); Mumtad
maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar shadiq melebar
dari utara ke selatan.
2. Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini sebentar kemudian
gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan
semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang).
3. Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar
ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada
kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.
Fajar pertama ini (kadzib) tidak berkaitan dengan hukum syariat apapun,
tidak menjadi awal menahan diri dari makan minum ketika puasa, tidak pula
awal masuknya waktu Subuh. Hukum-hukum yang disebutkan ini berkaitan
dengan fajar kedua, yakni fajar shadiq." Syarhu Al-Mumti' (2/107-108).

Pendapat para ulama
Ibn Hajar Rahimahullah mengatakan, "Termasuk bid'ah mungkar adalah apa
yang diada-adakan di zaman ini, berupa mengumandangkan adzan kedua sekitar
1/3 jam (20 menit) sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan
lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang
hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian
dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari
manusia." Silahkan dirujuk, Fathulbari, 4/199.

Serupa dengan masalah ini adalah apa yang terjadi di zaman kita sekarang
ini, karena sebagian besar penanggalan memasukkan waktu shalat Subuh
sebelum waktunya yang syar'i, dengan perbedaan yang beraneka ragam.

Taqiyuddin Al-Hilali dalam risalahnya yang berjudul "Bayanu Al-Fajri
Ash-Shadiq wa Imtiyazuhu ani Al-Fajri Al-Kadzib (penjelasan tentang fajar
shadiq dan perbedaannya dengan fajar kadzib), hal. 2, ia mengatakan, "Saya
telah menemukan sesuatu yang tidak membutuhkan penelitian lagi, serta
persaksian yang berulang-ulang, bahwa penentuan waktu adzan subuh tidak
sesuai dengan penentuan waktu yang syar'i, karena muadzin mengumandangkan
adzan sebelum munculnya fajar shadiq."

Ibn Hazm mengatakan, "Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang orang yang
adzan sebelum masuk waktu Subuh dengan tujuan untuk membangunkan orang?
Maka beliau marah dan mengatakan,
"'Uluj Faragh, (yang berarti orang-orang keterlaluan yang pengangguran),
seandainya Umar bin Khathab mendapati mereka tentu ia akan memukul
sisi-sisi tubuh mereka. Siapa yang adzan sebelum waktu subuh, maka jama'ah
masjid itu shalat berdasarkan iqamah saja, tidak ada adzan padanya (adzan
tidak sah. Itu jika iqamahnya sudah masuk waktu, jika belum maka shalat
tanpa adzan dan iqamah; shalat di luar waktu)."

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ia (Al-Hasan Al-Bashri) mendengar
seseorang adzan di malam hari, ia berkata,
"'Uluj (orang-orang kasar) berlomba dengan ayam! Bukankah adzan di masa
Rasulullah –Shalallahu alaihi wa salam- tidak dilakukan kecuali setelah
terbit fajar?"

Dari Ibrahim an-Nakha'i, disebutkan bahwa ia membenci dikumandangkannya
adzan sebelum terbit fajar.
Darinya pula, ia mengatakan, "Alqamah bin Qais mendengar seseorang adzan
di malam hari (sebelum terbit fajar), maka ia berkata, "Orang ini telah
menyelisihi salah satu sunnah para sahabat Rasulullah -Shalallahu alaihi
wasalam-, seandainya ia tidur di tikarnya, tentu itu lebih baik baginya."
(Silakan merujuk kitab al-Muhalla, 3/118)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hasan Bashri berkata: “Orang-orang kasar
pengangguran, mereka tidak menyambung dengan iqamah. Seandainya Umar
mendapati mereka, tentu sudah memukuli atau memukul kepada mereka.”
(Mushannaf: 2306)

Dari sini menjadi jelas bagi kita, bahwa mendahulukan waktu adzan subuh
bukanlah perkara baru dalam umat ini, sebaliknya telah terjadi di
masa-masa yang lalu, akan tetapi itu kasus personal, individual
(perseorangan) dan itupun sudah diingkari. Sedangkan yang terjadi di masa
kita sekarang ini, maka ia merupakan bencana umum yang menimpa umat karena
keterikatan dengan penanggalan yang di luar kemampuan mereka. Sekiranya
umat ini memiliki kekuasaan (untuk membuatnya), tentu kejadian ini
merupakan sesuatu yang didasarkan pada kesalahan dalam penentuan masuknya
waktu fajar shadiq.

Kerusakan akibat adzan sebelum fajar shadiq
Sesungguhnya adzan sebelum masuknya waktu subuh (terbitnya fajar shadiq)
menyebabkan banyak kerusakan (efek negatif), diantaranya:
1. Kebanyakan jama'ah, menyegerakan dalam melaksanakan shalat sunnah
fajar, langsung setelah masuk masjid, dengan begitu ia telah shalat sunnah
fajar sebelum waktunya.
2. Bersegera dalam makan sahur, tentu ini menyelisihi sunnah nabi
–Shalallahu alaihi wasalam-.
3. Sucinya haidh seorang wanita, atau yang sedang nifas setelah waktu
berdasarkan penanggalan yang ada sangat pendek, tidak mungkin ia bisa
berpuasa di hari itu.
4. Shalatnya orang sakit dan orang tua di rumah-rumah, atau orang
yang begadang semalaman hingga waktu fajar, yang langsung setelah adzan.
5. Shalatnya kaum wanita di rumah-rumah, yang kebanyakan mereka
langsung mengerjakan shalat selesai adzan.
6. Manusia yang sedang di stasiun, terminal dan bandara, langsung
melaksanakan shalat setelah adzan. (yang berarti shalat mereka tidak sah
karena dilakukan sebelum waktunya).

Dan berbagai kerusakan lainnya. Seandainya anda menemukan satu kesalahan
saja tentu sudah cukup menjadi alasan untuk merubah penanggalan itu.
Bagaimana pula jika berkumpul semua kerusakan ini?

Sekarang tinggal satu pertanyaan penting, mengapa dan bagaimana kesalahan
ini terjadi?
Saya akan menjawab, bahwa hal ini bukan sekedar kesalahan hari ini, bukan
pula akibat penjajahan semata. Kesalahan penjajah adalah memasukkan
penanggalan yang salah, akan tetapi kesalahan ini telah terjadi sebelum
itu di tempat-tempat lain yang terpisah di negeri-negeri Islam.
Berdasarkan penelitian, saya meyakini bahwa awal mula terjadinya kesalahan
dalam penentuan waktu fajar shadiq adalah terjadi pada bulan Ramadhan,
mengingat sudah dikenal sejak masa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bahwa
Bilal –Radiallahu anhu- adzan di malam hari, yakni adzan pertama, waktunya
adalah pada saat munculnya fajar kadzib, tujuannya agar manusia bersiap
sedia untuk menyambut terbitnya fajar shadiq.

Seiring dengan perputaran waktu, masalah ini menjadi bias pada sebagian
orang, dan berlangsung seperti itu hingga masa kita sekarang ini. Ketika
seorang adzan untuk waktu Subuh dengan hanya satu adzan, mereka
mengandalkan adzan pertama (saat fajar kadzib) dan meninggalkan adzan
kedua (fajar shadiq) waktu yang benar. Mereka mengira bahwa adzan yang
pertama ini adalah permulaan terbitnya fajar shadiq. Wallahu a'lam.

Yang sungguh mengherankan lagi, bersama pergantian masa ini, adzan yang
kedua pada banyak Negara (yang melakukan adzan subuh 2 kali) juga
dilakukan sebelum masuknya waktu fajar shadiq.
Ibn Hajar –Rahimahullah- mengatakan, "Termasuk bid'ah mungkar adalah apa
yang diada-adakan di zaman ini, berupa lantunan adzan kedua sekitar 1/3
jam sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang
menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa,
mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah,
dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia." (Silakan
merujuk, Fathul Bari, 4/199)

Syaikh Ibn Taimiyah –Rahimahullah- mengatakan dalam menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, orang yang makan setelah adzan subuh di bulan
Ramaadhan,
"Alhamdulillah, jika muadzin adzan sebelum masuknya waktu Subuh,
sebagaimana Bilal adzan sebelum masuk fajar di masa Nabi -Shalallahu
alaihi wasalam-, Seperti adzan di Damaskus dan lainnya yang dilakukan
sebelum masuk waktu fajar, maka jika demikian tidak mengapa makan dan
minum dalam waktu sebentar setelah adzan." (Majmu' Fatawa, 25/216)

Ini semua merupakan bukti bahwa kesalahan ini telah terjadi lama, sudah
dikenal oleh para ulama.
Syihabuddin Al-Qarafi –Rahimahullah- menyebutkan, bahwa kesalahan ini
sudah ada di zamannya, saya akan menukilkan kandungan ucapannya, mengingat
banyaknya penggunaan istilah-istilah astronomi, ia mengatakan yang
artinya, "Telah terjadi kebiasaan orang-orang adzan fajar sebelum
terbitnya fajar. Sehingga seseorang tidak menemukan bekas (cahaya) fajar
shadiq sama sekali. Ini tidak boleh, karena Allah menjadikan sebab
wajibnya shalat adalah munculnya fajar di ufuk, jika belum tampak maka
tidak boleh shalat, karena jika dilakukan berarti melaksanakan shalat
sebelum waktunya dan sebelum sebabnya." (Dari kitab al-Furuq, 2/301)
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
beliau juga para sahabat semuanya.

sumber : Majalah Qiblati Edisi 8 & 9 Volume 4 - www.qiblati.com

 

__,_._,___

16 Juni 2009

FW: [daarut-tauhiid] INILAH HAKEKAT SABAR


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Sabar menurut bahasa adalah menahan. Adapun secara syar'i, maknanya adalah menahan diri dalam tiga perkara:
- Yang pertama, taat kepada ALLAH subhanahu wata'ala.
- Yang kedua, menahan diri dari perkara-perkara yang haram.
- Yang ketiga, menahan diri terhadap takdir ALLAH subhanahu wata'ala yang menyakitkan.
Ini adalah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ulama.

Adapun penjelasan dari masing-masing jenis sabar itu adalah sebagai berikut:

1. Seseorang bersabar di atas ketaatan kepada ALLAH subhanahu wata'ala,
karena taat sangat berat dan sulit oleh jiwa dan badan, di mana
seseorang merasa lemah, capek dan kepayahan dari sisi harta seperti
zakat dan haji. Yang jelas dalam ketaatan kepada ALLAH subhanahu
wata'ala terdapat kepayahan yang dirasakan oleh jiwa dan badan sehingga
dibutuhkan sabar dan pertolongan. ALLAH subhanahu wata'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)". (Ali-'Imran: 200).

2. Sabar untuk tidak melakukan perkara-perkara yang diharamkan oleh ALLAH
subhanahu wata'ala yaitu seseorang menahan diri dari segala sesuatu
yang diharamkan-Nya karena jiwa selalu menyuruh dan menyeru untuk
berbuat jelek sehingga manusia perlu menyabarkan diri, seperti
berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan bathil dengan cara
riba atau yang lainnya, zina, minum khamr, mencuri, dan yang semisalnya
dari dosa-dosa besar. Sehingga seseorang harus mampu menyabarkan diri
darinya sehingga terjerumus ke dalam maksiat dan ini membutuhkan
pertolongan dan menahan diri dan hawa nafsu.

3. Sabar terhadap takdir-takdir ALLAH subhanahu wata'ala yang menyakitkan karena
takdir-Nya terkadang membahagiakan dan menyakitkan. Adapun takdir yang
membahagiakan maka perlu untuk disyukuri, sedangkan bersyukur termasuk
ketaatan kepada ALLAH sehingga termasuk jenis yang pertama, sedangkan
takdir yang menyakitkan dirasakan tidak enak oleh manusia dengan diberi
cobaan pada badannya, hilangnya harta, keluarganya dan masyarakatnya.

Yang jelas jenis musibah yang menimpa manusia sangat banyak sehingga
diperlukan sabar dan pertolongan. Dia menyabarkan jiwanya dari segala
sesuatu yang diharamkan baginya, seperti menampakkan keluh kesah dengan
lisan, kalbu atau anggota badan, karena seseorang yang tertimpa musibah
tidak lepas dari empat kondisi:
- Yang pertama, marah atas musibah yang menimpanya
- Yang kedua, bersabar
- Yang ketiga, ridha
- Dan yang keempat, bersyukur.

Keempat kondisi berikut ada pada manusia tatkala tertimpa musibah:

1) Adapun kondisi yang pertama, seseorang marah terhadap musibah yang
menimpanya, apakah hal itu ditunjukkan dengan kalbu, lisan atau anggota
badannya. Marah dengan kalbu dengan berprasangka jelek kepada ALLAH
subhanahu wata'ala berupa kemarahan kepada-Nya –aku berlindung kepada
ALLAH dari perkara ini- atau hal-hal yang semacamnya dan seakan-akan
ALLAH subhanahu wata'ala telah menzhaliminya dengan musibah ini. Adapun
dengan lisan maka ditunjukkan dengan mengucapkan kata-kata umpatan,
kecelakaan, seperti mengatakan aduh, celakanya atau kata-kata yang
semakna, mencela zaman sehingga menghina ALLAH subhanahu wata'ala dan
yang semisalnya. Adapun dengan anggota badan seperti menampar-nampar
pipi, memukul kepala, mencabik-cabik rambut, merobek-robek baju atau
yang semisalnya.

Kemarahan seperti ini adalah kondisi
orang-orang yang banyak keluh kesahnya yang mana ALLAH subhanahu
wata'ala telah haramkan mereka untuk mendapat pahala dan tidak akan
selamat dari musibah bahkan mereka mendapatkan dosa karenanya sehingga
mereka mendapat dua musibah yaitu musibah dalam agamanya dengan
kemarahannya tersebut dan musibah di dunia dengan tertimpa sesuatu yang
menyakitkan.

2) Kondisi yang kedua adalah bersabar terhadap musibah yang menimpanya yaitu dengan menahan jiwanya sementara dia
merasa tidak suka terhadap musibah tersebut namun dia menyabarkan diri
dengan menahan lisannya atau berbuat sesuatu yang akan mendatangkan
murka ALLAH subhanahu wata'ala atau sama sekali tidak ada prasangka
buruk dalam kalbunya terhadap ALLAH subhanahu wata'ala, dia bersabar
namun tidak suka terhadap musibah yang menimpanya.

3) Yang ketiga adalah merasa ridha terhadap musibah yang menimpanya di mana
seseorang merasa lapang dada terhadap musibah yang menimpanya dan
memiliki keridhaan yang sempurna sehingga seakan-akan tidak tertimpa
musibah.

4) Kondisi terakhir adalah bersyukur atas musibah yang
menimpanya dan Rasulullah jika melihat sesuatu yang beliau tidak sukai
mengatakan, "Alhamdullilah 'ala kulli hal (Segala puji bagi ALLAH atas
segala keadaan)". Beliau bersyukur karena ALLAH subhanahu wata'ala
memberikan pahala yang berlipat atas musibah yang menimpanya. Oleh
sebab itu diriwayatkan dari beberapa wanita yang ahli ibadah yang
tertimpa musibah pada jari-jemarinya maka wanita itu memuji ALLAH
subhanahu wata'ala sehingga orang-orang bertanya kepadanya, "Bagaimana
mungkin kamu memuji ALLAH subhanahu wata'ala sedang jari-jemarimu
terluka?" Maka dia menjawab, "Sesungguhnya kenikmatan pahalanya telah
membuatku lupa terhadap pahitnya sabar".

Dan ALLAH-lah yang Maha Pemberi Taufik.

(Diterjemahkan dari Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sumber: www.ulamasunnah.wordpress.com)