18 Juni 2009

FW: [daarut-tauhiid] SALAH KAPRAH TENTANG WAKTU SUBUH

oleh : Mamduh Farhan al-Buhairi

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa`: 103)

Keprihatinan

Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa
kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya.
Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam
hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat
kesalahan seputar waktu Subuh. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya,
saya menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya berkisar
antara 9 hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara
umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni
mengumandangkan adzan paling tidak 24 menit sebelum munculnya fajar
shadiq.

Sesungguhnya jadual waktu shalat yang dipakai sekarang ini hampir di semua
Negara Islam, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang
insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini
ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama
beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah,
kemudian dari tempat itu, juga berdasarkan letak garis bujur dan garis
lintang, berdasarkan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan
waktu harian, diantaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu
tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad
Ali Basya dan Negara Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan
(matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan
penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis
lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum)
pada setiap Negara. Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun
melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling
mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari
setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit
untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan
waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu
berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah.

Masuknya waktu adalah syarat sahnya shalat

Sebelum kami sebutkan dalil-dalil yang mendukung kebenaran apa yang saya
sampaikan -bahwa penanggalan sekarang salah- saya akan mulai dengan
menyebutkan pentingnya waktu shalat, karena termasuk syarat terpenting
bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Ibn Abdilbarr mengatakan,
"Shalat tidak sah sebelum waktunya, ini tidak diperselisihkan di antara
ulama." Dari kitab al-Ijma' karya Ibn Abdilbarr -Rahimahullah-, hal. 45.

Para ulama fikih menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu
shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin
bahwa waktunya telah masuk, atau besar dugaannya bahwa waktu telah masuk,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah -Rahimahullah- dalam kitab
al-Mughni (2/30).

Yang kita lihat di sebagian besar negeri muslim adalah mereka shalat Subuh
di waktu fajar kadzib (Zodiacal light), yakni pada waktu masih gelap di
akhir malam.

Supaya tidak memperpanjang kalam, maka saya akan mulai masuk dalam
pembahasan, dengan menjelaskan makna fajar menurut ahli bahasa dan ulama
fikih.

Menurut Ibn Mandzur, al-Fajr adalah, "Cahaya Subuh, yaitu semburat merah
di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama
adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang
kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq,
yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang
berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini." Lisanul Arab
(5/45), cet. Beirut.

Dalam kitab Mukhtarus Sihah (hal. 324, cet. Darul Basya`ir) disebutkan,
"al-Fajr, di akhir malam seperti syafaq(semburat mega merah) di awal
malam."

Dalam al-Qamus al-Muhith (hal. 584, Mu`assasah ar-Risalah), disebutkan,
"Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu semburan sinar matahari yang merah…"

Dengan demikian, kita mengetahui kata al-Fajr dalam bahasa Arab
dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang
pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq, dan bahwa yang berkaitan dengan
hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang
puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar
shadiq.

Fajar dalam al-Qur`an dan Sunnah.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."
(QS. Al-Baqarah: 187)

Dari Salim bin abdillah dari ayahnya, bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi
wasalam- bersabda: "Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu
malam, makan dan minumlah hingga Ibn Ummi Maktum adzan." Kemudian berkata,
“Ia adalah laki-laki buta, ia tidak adzan hingga dikatakan kepadanya:
Sudah subuh, sudah subuh." (HR. al-Bukhari: 610)

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas
-Radiallahuanhuma-, bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
"Fajar itu ada dua; fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan
shalat, kedua fajar yang di dalamnya halam makanan dan haram shalat
-Subuh-." Dishahihkan al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4279.

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir , Rasulullah -Shalallahu
alaihi wasalam- bersabda, "Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala
tidak boleh shalat dan tidak mengharamkan makanan. Adapun fajar yang
menyebar di ufuk maka boleh shalat dan tidak boleh makan." Shahihul Jami'
no. 4278.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Fajar ada dua, fajar yang disebut
seperti ekor serigala adalah fajar kadzib yang memanjang vertical dan
tidak menyebar secara horizontal, yang kedua fajar yang melebar
(horizontal) dan bukan vertical." Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
ash-Shahihah, no. 2002; Shahih al-Jami': 4278.

Fajar menurut ulama
Ibn Abbas -Radiallahuanhuma- mengatakan, "Fajar ada dua, fajar yang
mencuat ke langit tidak menghalalkan dan tidak pula mengharamkan apapun,
akan tetapi fajar yang jelas terlihat di puncak-puncak gunung, itulah yang
mengharamkan minum." Dikeluarkan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam Jami'ul
Bayan (2/173).

Ibn Qudamah -Rahimahullah- mengatakan, "Ringkasnya, bahwa waktu Subuh
masuk dengan terbitnya fajar kedua, berdasarkan ijma' ulama. Hadits-hadits
tentang penentuan waktu shalat menunjukkan hal ini, yaitu sinar putih yang
melebar di ufuk. Disebut fajar shadiq, karena ia benar memberitakan
tentang Subuh dan menjelaskannya kepada anda. Subuh itu adalah waktu yang
menggabungkan sinar putih (terang) dengan semburat merah. Dari sini orang
yang berkulit putih bercampur merah disebut Ashbah. Sedangkan fajar
pertama yaitu sinar terang yang memanjang ke atas dan tidak melebar
(vertical) maka tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syar'i, disebut
fajar kadzib." Dari kitab al-Mughni (2/30).

Ibn Hazm -Rahimahullah- mengatakan, "Fajar pertama adalah meninggi ke atas
seperti ekor serigala, setelah itu gelap lagi menyelimuti ufuk, tidak
mengharamkan makan dan minum bagi orang yang puasa, belum masuk waktu
shalat Subuh. Ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari umat ini."
Yang kedua, adalah sinar terang yang melebar di langit di ufuk timur di
tempat terbitnya matahari pada setiap masa. Ia berpindah dengan
perpindahannya (matahari), ia merupakan permulaan cahaya Subuh, dan
semakin terang, barangkali dicampuri dengan semburat merah yang indah.
Inilah yang menjelaskan masuknya waktu puasa, dan adzan shalat Subuh.
Adapun masuknya waktu shalat terjadi dengan semakin terangnya, maka ini
tidak diperselisihkan oleh seorangpun." Al-Muhalla (3/192)

Dari dalil-dalil ini, menjadi jelas bagi kita kapan waktu fajar shadiq.
Kita bisa mengenalinya dengan sinar terang yang menyebar di langit. Agar
sinar terang ini menjadi jelas, dan kita mengetahui kapan ulama terdahulu
shalat, mari kita baca penjelasan Ibn Jarir At-Thabari -Rahimahullah-
tentang sifat atau karakter sinar terang tersebut. Ia mengatakan,

"Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit,
sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan
jalan-jalan menjadi jelas." Tafsir At-Thabari (2/167).

Lantas bandingkanlah keadaan kita sekarang ini, dengan apa yang disebutkan
oleh Ibn Jarir ini?

Syaikh Ibn Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan, "Para ulama menyebutkan
bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga perbedaan:
1. Fajar kadzib mumtad (memanjang) tidak mu'taridh (menghadang); Mumtad
maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar shadiq melebar
dari utara ke selatan.
2. Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini sebentar kemudian
gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan
semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang).
3. Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar
ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada
kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.
Fajar pertama ini (kadzib) tidak berkaitan dengan hukum syariat apapun,
tidak menjadi awal menahan diri dari makan minum ketika puasa, tidak pula
awal masuknya waktu Subuh. Hukum-hukum yang disebutkan ini berkaitan
dengan fajar kedua, yakni fajar shadiq." Syarhu Al-Mumti' (2/107-108).

Pendapat para ulama
Ibn Hajar Rahimahullah mengatakan, "Termasuk bid'ah mungkar adalah apa
yang diada-adakan di zaman ini, berupa mengumandangkan adzan kedua sekitar
1/3 jam (20 menit) sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan
lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang
hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian
dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari
manusia." Silahkan dirujuk, Fathulbari, 4/199.

Serupa dengan masalah ini adalah apa yang terjadi di zaman kita sekarang
ini, karena sebagian besar penanggalan memasukkan waktu shalat Subuh
sebelum waktunya yang syar'i, dengan perbedaan yang beraneka ragam.

Taqiyuddin Al-Hilali dalam risalahnya yang berjudul "Bayanu Al-Fajri
Ash-Shadiq wa Imtiyazuhu ani Al-Fajri Al-Kadzib (penjelasan tentang fajar
shadiq dan perbedaannya dengan fajar kadzib), hal. 2, ia mengatakan, "Saya
telah menemukan sesuatu yang tidak membutuhkan penelitian lagi, serta
persaksian yang berulang-ulang, bahwa penentuan waktu adzan subuh tidak
sesuai dengan penentuan waktu yang syar'i, karena muadzin mengumandangkan
adzan sebelum munculnya fajar shadiq."

Ibn Hazm mengatakan, "Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang orang yang
adzan sebelum masuk waktu Subuh dengan tujuan untuk membangunkan orang?
Maka beliau marah dan mengatakan,
"'Uluj Faragh, (yang berarti orang-orang keterlaluan yang pengangguran),
seandainya Umar bin Khathab mendapati mereka tentu ia akan memukul
sisi-sisi tubuh mereka. Siapa yang adzan sebelum waktu subuh, maka jama'ah
masjid itu shalat berdasarkan iqamah saja, tidak ada adzan padanya (adzan
tidak sah. Itu jika iqamahnya sudah masuk waktu, jika belum maka shalat
tanpa adzan dan iqamah; shalat di luar waktu)."

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ia (Al-Hasan Al-Bashri) mendengar
seseorang adzan di malam hari, ia berkata,
"'Uluj (orang-orang kasar) berlomba dengan ayam! Bukankah adzan di masa
Rasulullah –Shalallahu alaihi wa salam- tidak dilakukan kecuali setelah
terbit fajar?"

Dari Ibrahim an-Nakha'i, disebutkan bahwa ia membenci dikumandangkannya
adzan sebelum terbit fajar.
Darinya pula, ia mengatakan, "Alqamah bin Qais mendengar seseorang adzan
di malam hari (sebelum terbit fajar), maka ia berkata, "Orang ini telah
menyelisihi salah satu sunnah para sahabat Rasulullah -Shalallahu alaihi
wasalam-, seandainya ia tidur di tikarnya, tentu itu lebih baik baginya."
(Silakan merujuk kitab al-Muhalla, 3/118)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hasan Bashri berkata: “Orang-orang kasar
pengangguran, mereka tidak menyambung dengan iqamah. Seandainya Umar
mendapati mereka, tentu sudah memukuli atau memukul kepada mereka.”
(Mushannaf: 2306)

Dari sini menjadi jelas bagi kita, bahwa mendahulukan waktu adzan subuh
bukanlah perkara baru dalam umat ini, sebaliknya telah terjadi di
masa-masa yang lalu, akan tetapi itu kasus personal, individual
(perseorangan) dan itupun sudah diingkari. Sedangkan yang terjadi di masa
kita sekarang ini, maka ia merupakan bencana umum yang menimpa umat karena
keterikatan dengan penanggalan yang di luar kemampuan mereka. Sekiranya
umat ini memiliki kekuasaan (untuk membuatnya), tentu kejadian ini
merupakan sesuatu yang didasarkan pada kesalahan dalam penentuan masuknya
waktu fajar shadiq.

Kerusakan akibat adzan sebelum fajar shadiq
Sesungguhnya adzan sebelum masuknya waktu subuh (terbitnya fajar shadiq)
menyebabkan banyak kerusakan (efek negatif), diantaranya:
1. Kebanyakan jama'ah, menyegerakan dalam melaksanakan shalat sunnah
fajar, langsung setelah masuk masjid, dengan begitu ia telah shalat sunnah
fajar sebelum waktunya.
2. Bersegera dalam makan sahur, tentu ini menyelisihi sunnah nabi
–Shalallahu alaihi wasalam-.
3. Sucinya haidh seorang wanita, atau yang sedang nifas setelah waktu
berdasarkan penanggalan yang ada sangat pendek, tidak mungkin ia bisa
berpuasa di hari itu.
4. Shalatnya orang sakit dan orang tua di rumah-rumah, atau orang
yang begadang semalaman hingga waktu fajar, yang langsung setelah adzan.
5. Shalatnya kaum wanita di rumah-rumah, yang kebanyakan mereka
langsung mengerjakan shalat selesai adzan.
6. Manusia yang sedang di stasiun, terminal dan bandara, langsung
melaksanakan shalat setelah adzan. (yang berarti shalat mereka tidak sah
karena dilakukan sebelum waktunya).

Dan berbagai kerusakan lainnya. Seandainya anda menemukan satu kesalahan
saja tentu sudah cukup menjadi alasan untuk merubah penanggalan itu.
Bagaimana pula jika berkumpul semua kerusakan ini?

Sekarang tinggal satu pertanyaan penting, mengapa dan bagaimana kesalahan
ini terjadi?
Saya akan menjawab, bahwa hal ini bukan sekedar kesalahan hari ini, bukan
pula akibat penjajahan semata. Kesalahan penjajah adalah memasukkan
penanggalan yang salah, akan tetapi kesalahan ini telah terjadi sebelum
itu di tempat-tempat lain yang terpisah di negeri-negeri Islam.
Berdasarkan penelitian, saya meyakini bahwa awal mula terjadinya kesalahan
dalam penentuan waktu fajar shadiq adalah terjadi pada bulan Ramadhan,
mengingat sudah dikenal sejak masa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bahwa
Bilal –Radiallahu anhu- adzan di malam hari, yakni adzan pertama, waktunya
adalah pada saat munculnya fajar kadzib, tujuannya agar manusia bersiap
sedia untuk menyambut terbitnya fajar shadiq.

Seiring dengan perputaran waktu, masalah ini menjadi bias pada sebagian
orang, dan berlangsung seperti itu hingga masa kita sekarang ini. Ketika
seorang adzan untuk waktu Subuh dengan hanya satu adzan, mereka
mengandalkan adzan pertama (saat fajar kadzib) dan meninggalkan adzan
kedua (fajar shadiq) waktu yang benar. Mereka mengira bahwa adzan yang
pertama ini adalah permulaan terbitnya fajar shadiq. Wallahu a'lam.

Yang sungguh mengherankan lagi, bersama pergantian masa ini, adzan yang
kedua pada banyak Negara (yang melakukan adzan subuh 2 kali) juga
dilakukan sebelum masuknya waktu fajar shadiq.
Ibn Hajar –Rahimahullah- mengatakan, "Termasuk bid'ah mungkar adalah apa
yang diada-adakan di zaman ini, berupa lantunan adzan kedua sekitar 1/3
jam sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang
menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa,
mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah,
dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia." (Silakan
merujuk, Fathul Bari, 4/199)

Syaikh Ibn Taimiyah –Rahimahullah- mengatakan dalam menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, orang yang makan setelah adzan subuh di bulan
Ramaadhan,
"Alhamdulillah, jika muadzin adzan sebelum masuknya waktu Subuh,
sebagaimana Bilal adzan sebelum masuk fajar di masa Nabi -Shalallahu
alaihi wasalam-, Seperti adzan di Damaskus dan lainnya yang dilakukan
sebelum masuk waktu fajar, maka jika demikian tidak mengapa makan dan
minum dalam waktu sebentar setelah adzan." (Majmu' Fatawa, 25/216)

Ini semua merupakan bukti bahwa kesalahan ini telah terjadi lama, sudah
dikenal oleh para ulama.
Syihabuddin Al-Qarafi –Rahimahullah- menyebutkan, bahwa kesalahan ini
sudah ada di zamannya, saya akan menukilkan kandungan ucapannya, mengingat
banyaknya penggunaan istilah-istilah astronomi, ia mengatakan yang
artinya, "Telah terjadi kebiasaan orang-orang adzan fajar sebelum
terbitnya fajar. Sehingga seseorang tidak menemukan bekas (cahaya) fajar
shadiq sama sekali. Ini tidak boleh, karena Allah menjadikan sebab
wajibnya shalat adalah munculnya fajar di ufuk, jika belum tampak maka
tidak boleh shalat, karena jika dilakukan berarti melaksanakan shalat
sebelum waktunya dan sebelum sebabnya." (Dari kitab al-Furuq, 2/301)
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
beliau juga para sahabat semuanya.

sumber : Majalah Qiblati Edisi 8 & 9 Volume 4 - www.qiblati.com

 

__,_._,___

Tidak ada komentar: