25 Maret 2008

[Republika Online] Budaya Baca dan Kemajuan Bangsa

22 Maret 2008
Budaya Baca dan Kemajuan Bangsa

Rokhmin Dahuri
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan

Fakta sejarah membuktikan bangsa yang maju mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Terlebih pada era globalisasi ini, dengan perekonomian dunia semakin terintegrasi dan perdagangan antarnegara kian liberal.

Hanya bangsa yang dapat menghasilkan barang dan jasa kompetitif bisa eksis, maju, dan makmur. Cirinya berkualitas unggul, harga relatif murah, dan kuantitas produksi (supply) dapat memenuhi kebutuhan pasar, baik pasar domestik maupun internasional. Menghasilkan barang dan jasa semacam ini tidak mungkin dikerjakan secara tradisional tanpa menggunakan teknologi atau dengan manajemen asal-asalan.

Wajar bila negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD (seperti AS, Kanada, Uni Eropa, Jepang, dan Australia) menguasai 70 persen perdagangan dunia dan menjadi kaya raya. Merekalah yang menguasai teknologi serta mengaplikasikannya dalam industri dan ekonomi.

Dengan pola serupa, Singapura, RRC, India, Malaysia, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Cile berhasil mengikuti jejak negara-negara OECD. Lalu, apa hubungannya antara budaya baca dan penguasaan iptek dan kemajuan bangsa?

Jelas budaya baca berkorelasi positif dengan penguasaan iptek suatu bangsa. Semakin tinggi budaya baca, semakin maju bangsa tersebut.

Mahasiswa di negara industri maju rata-rata membaca delapan jam per hari, sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari (UNESCO, 2005). Ayat Alquran yang pertama kali turun pun berupa perintah membaca (iqra).

Tentu ini bukan kebetulan, tetapi sunatullah bahwa kalau ingin maju dan hidup bahagia dunia-akhirat, kita harus menguasai dan menggunakan ilmu. Gerbang utamanya dengan membaca serta memahami ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (Alquran dan Hadis) maupun qauniyah berupa alam semesta beserta segenap isi dan dinamikanya.

Kendala kemajuan
Tantangannya adalah bagaimana kita mentransformasi budaya baca masyarakat yang terendah di dunia menjadi gemar membaca. Rendahnya minat baca terutama karena kurangnya kesadaran publik akan arti penting membaca bagi peningkatan kemampuan dan kesejahteraan diri maupun bangsa.

Daya beli mayoritas rakyat kita masih lemah sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sehari-hari saja sudah kewalahan, apalagi beli koran, buku, atau bacaan lainnya. Komitmen pemerintah menyediakan buku dan bahan bacaan yang berkualitas dan murah, perpustakaan umum, juga masih rendah. Serbuan media elektronik (televisi, bioskop, dan internet) yang kebanyakan berisi tayangan hiburan, pornografi, iklan komersial, dan hal-hal hedonistis lainnya menjauhkan masyarakat dari budaya membaca dan menulis.

Masyarakat lebih senang menonton dan berbudaya verbal. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap kaum cerdik-pandai, ilmuwan, peneliti, akademisi, guru, dan profesional sangat tidak memadai.

Sistem pendidikan dan metode belajar-mengajar dari tingkat TK sampai perguruan tinggi (PT) pun kurang menumbuhkembangkan minat baca, berpikir logis, kreatif, inovatif, entrepreneurship, dan moralitas peserta didik. Akibatnya, sebagian besar lulusan pendidikan menengah dan PT hanya ingin menjadi pegawai negeri, politisi, atau bekerja pada orang lain, bukan menciptakan pekerjaan sendiri, berwirausaha.

Jumlah pengusaha nasional hanya 0,08 persen dari total penduduk Indonesia. Padahal, salah satu syarat utama agar sebuah bangsa menjadi maju dan makmur adalah jumlah pengusahanya minimal dua persen dari total penduduk (Ciputra, 2007).

Para sarjana lulusan PT umumnya tidak siap pakai, etos kerjanya rendah, dan kurang peduli dengan nasib bangsanya. Pengangguran terdidik membludak. Daya saing Indonesia menempati posisi kedua terbawah dari 55 negara yang disurvei (World Competitiveness Yearbook, 2007).

Jalan keluar
Kalau ingin menjadi bangsa maju, makmur, dan bermartabat, tak ada pilihan lain, kecuali melakukan gerakan nasional secara cerdas, sistematis, dan kontinu untuk mencintai, menguasai, dan menerapkan iptek di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama yang harus kita lakukan adalah membuka selebar-lebarnya akses masyarakat kepada semua jenis bahan bacaan yang berguna.

Kita bisa meneladani India dengan mencetak berbagai buku teks dalam kertas koran sehingga harganya jauh lebih murah ketimbang aslinya. Seperti Jepang, kita juga harus menggalakkan penerjemahan buku-buku dan jurnal ilmiah sehingga lebih banyak lagi rakyat dapat memahami dan menguasai iptek mutakhir.

Setiap kabupaten/kota dan provinsi minimal harus mempunyai satu perpustakaan umum. Masing-masing desa di seluruh Tanah Air selayaknya dilengkapi dengan satu taman bacaan.

Kedua, sistem pendidikan harus kita benahi agar bisa menghasilkan lulusan SDM yang mampu berpikir jernih dan logis, kreatif, inovatif, mampu berkomunikasi dengan baik, melek teknologi informasi (computer literacy), berjiwa wirausaha, memiliki etos kerja tinggi, dan berakhlak mulia. Lulusan sekolah tingkat menengah kejuruan, diploma, S1, S2, dan S3 tentu harus menguasai keahlian yang menjadi bidang studinya.

Untuk mengatasi pengangguran terdidik, jumlah dan kualitas lulusan dari program studi mestinya disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja, semacam program link and match. Depnakertrans sebagai leading sector menghimpun dan menyusun data base kebutuhan tenaga kerja nasional.

Data ini menjadi dasar perencanaan pembangunan sistem pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, perguruan tinggi, dan pencetak tenaga kerja lainnya. Balai latihan kerja harus lebih ditingkatkan lagi fungsinya.

Sudah saatnya kita mendukung perguruan tinggi secara lebih serius agar menjadi research-based universities yang mampu menghasilkan iptek yang berguna bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Kurikulum dan metode pendidikan harus terus disempurnakan sesuai kebutuhan pembangunan dan perkembangan zaman.

Di seluruh dunia, temuan teknologi dari aktivitas penelitian di PT hampir semuanya baru mencapai skala laboratorium. Untuk menjadikannya sebagai teknologi yang bermanfaat perlu upaya scaling-up (komersialisasi). Pemerintah dan swasta dituntut bekerja sama dengan PT. Sebagai bagian dari proses alih teknologi, Singapura, Malaysia, RRC, dan emerging economies lainnya mewajibkan perusahaan multinasional melibatkan para dosen dan peneliti dalam kegiatan research and development.

Seharusnya biaya pendidikan dibuat murah sehingga terjangkau keluarga termiskin. Di negara-negara maju dan emerging economies, pendidikan dari TK sampai SLTA bahkan gratis. Oleh sebab itu, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, di luar gaji guru, sesuai amanat UUD 1945 Amandemen, mestinya segera direalisasikan. Pasalnya, anggaran pendidikan di negara maju rata-rata mencapai 30 persen dari APBN. Sebagai contoh, Malaysia 25 persen, Thailand 30 persen, dan Myanmar 18 persen (UNDP, 2004).

Sumber dana lain juga bisa digali dari lima persen keuntungan BUMN, program CSR perusahaan asing, zakat mal, infak, shodaqoh, dan aktivitas filantropi lain.

Ikhtisar
- Minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. - Minat baca akan membuat daya saing bangsa meningkat.




Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Kolom_detail.asp?id=327560&kat_id=16

Tidak ada komentar: