05 Agustus 2015

KLARIFIKASI & KABAR GEMBIRA SEPUTAR BPJS-KESEHATAN & FATWA MUI


Oleh  HM Sofwan Jauhari  LC, M.Ag

 

Sejak awal saya menyampaikan kepada teman-teman, bahwa hasil ijtima' MUI pada bulan Juni 2015 di Tegal  yang dianggap sebagai "fatwa",  sebenarnya diarahkan kepada pemerintah untuk mendorong dibentuknya BPJS-Syariah. User dari fatwa tersebut adalah pemerintah, hasil ijtima' yang berisi rekomendasi itu tidak menyebut kata HARAM di dalamnya,  rekomendasi untuk pemerintah yang dibahasakan oleh media dengan istilah  "FATWA HARAM MUI tentang BPJS" itu akhirnya membuat heboh masyarakat.

Hasil Ijtima' itu berisi REKOMENDASI yang tidak diarahkan untuk menghakimi masyarakat dengan memvonis masyarakat umum bahwa

mereka dianggap telah berdosa karena mengikuti BPJS Kesehatan yang haram hukumnya.  Mungkin ini adalah ulah media yang sengaja "memelintir" rekomendasi MUI agar menjadi heboh di masyarakat, dan menjatuhkan kehormatan MUI agar ummat Islam tidak memiliki ormas yang menjadi rujukan, agar ummat Islam terpecah terus….. naudzu billaah…..atau mungkin juga ini ketidak pahaman masyarakat  mengenai apa yang disebut dengan fatwa, UU dan permasalahan yang sebenarnya.

Kalau yang berbicara miring itu adalah masyarakat awam yang tidak berpendidikan, saya bisa memahami, masyarakat awam memang tidak terbiasa memahami masalah dengan baik, tetapi kalau seorang sarjana yang belum membaca UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS secara utuh, belum membaca Teks Asli Rekomendasi MUI dalam teks aslinya kemudia ikut-ikutan berkomentar miring, maka hal itu naif sekali, semoga Allah swt memaaafkan mereka.

Masyarakat secara umum harusnya berterima kasih kepada MUI, karena dengan "fatwa" itu pemerintah "tidak berani " untuk segera memberlakukan pasal 14 UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan yang mewajibkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi peserta. 

Perhatikan teks UU No 24/2011 tentang BPJS :

Pasal 14  : Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.

Pasal 16

(1) Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.

(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan data mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

Pasal 17

(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau   c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Karena pasal 14 mewajibkan semua rakyat Indonesia untuk menjadi peserta BPJS dan pasal 17 memberikan ancaman bagi yang tidak menjadi peserta BPJS, maka saya telah menyampaikan bahwa karyawan/ PNS/ masyarakat yang ikut menjadi peserta BPJS-Kesehatan Insyaallah tidak berdosa, karena posisi mereka adalah "mukroh"  alias dipaksa oleh UU untuk mengikuti program tersebut, posisi orang mukroh mirip dengan orang  "madzlum" atau yang didzalimi, sebagian masyarakat mungkin ada yang tidak memerlukan BPJS Kesehatan karena sudah menjadi nasabah asuransi syariah, tetapi dia harus ikut agar tidak dikenakan sanksi oleh pemerintah sesuai dengan pasal-pasal di atas.

Agar pembaca memahami masalah ini dengan baik, silahkan perhatikan Rekomendasi MUI tentang BPJS kesehatan dalam redaksi aslinya berikut ini  :

KEPUTUSAN KOMISI B  2 -  MASAIL FIQHIYYAH MU'ASHIRAH

(MASALAH FIKIH KONTEMPORER)

IJTIMA' ULAMA KOMISI FATWA SE INDONESIA V TAHUN 2015

Tentang

PANDUAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DAN BPJS KESEHATAN

Ketentuan Hukum Dan Rekomendasi:

1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari'ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari'ah dan melakukan pelayanan prima.

Jadi, melalui rekomendasi di atas MUI mengharapkan agar pemerintah tidak memaksa masyarakat untuk mengikuti BPJS Kesehatan yang menurut pandangan ulama' dianggap belum sesuai dengan syariah.  Tetapi masyarakat juga tidak dilarang dan tidak bisa dianggap salah jika diikutkan menjadi peserta oleh perusahaan pemberi kerja sebagai peserta BPJS Kesehatan.     Inilah keadilan yang disuarakan oleh MUI melalui rekomendasi tersebut, JANGAN MEMAKSAKAN SESUATU KEPADA RAKYAT, sebagaiman kaum intelektual juga tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada orang lain, MUI juga tidak memaksakan pendapatnya kepada masyarakat karena yang namanya fatwa itu tidak bersifat mulzim (mengikat kepada semua pihak).

Oleh karena itu saya berharap kepada semua pihak, khususnya para sarjana yang berpendidikan, agar dalam mensikapi setiap perbedaan : pahami permasalahannya terlebih dulu, baru berbicara, begitulah seharusnya kaum intelektual bertindak.

Dan sebagai kabar gembira, berikut ini penulis lampirkan siaran pers terbaru yang memperkuat pernyataan saya bahwa rekomendasi MUI diarahkan kepada pemerintah untuk terbentuknya BPJS-Syariah, untuk memberikan hak rakyat Indonesia yang beragama Islam dan ingin menjalankan syariah tanpa pakasaan dari pihak manapun dan juga tidak memaksa kepada siapapun, hidup adalah pilihan: Semoga tulisan ini bermanfaat.

Ket: Siaran Pers antara MUI, Pemerintah dan BPJS  terlampir.

Jakarta; 4 Agustus 2015.

Tidak ada komentar: