03 April 2008

Pembiayaan Syariah Mahal dan Memberatkan?

Ivan Irawan

Wirausahawan dan Praktisi TI Perbankan Syariah

 

Pertanyaan

Pembiayaan Syariah Mahal dan Memberatkan?

 

Saya lihat kredit yang disalurkan oleh bank syariah tak jauh beda dengan kredit bank konvensional. Lebih dari itu, agak susah meminjam untuk keperluan usaha kecil, prosedurnya berbelit-belit. Ini adalah pengalaman rekan saya, seorang pengusaha kecil.

 

Rekan saya tersebut membutuhkan tambahan modal untuk usaha garmen yang dirintis istrinya. Lantaran "santri" dia mencoba mencari pinjaman ke beberapa bank syariah. Setelah kesana kemari, dia menemukan ternyata cicilan kreditnya lebih mahal dari bank konvensional. Alhasil, rekan saya tersebut meminjam ke sebuah Bank Pembangunan Daerah, bank konvensional, yang lebih praktis dan gampang.

 

Mohon tanggapan. Terima kasih.

 

 

Imam , Cianjur

 

Jawaban

 

Pak Imam, sesungguhnya konsep bank syariah atau konsep bank konvensional tidaklah langsung berkaitan dengan mahal tidaknya cicilan pembiayaan. Konsep bank syariah berbeda skim transaksinya dengan konsep bank kovensional, sehingga cicilan yang menjadi kewajiban nasabah pun berbeda cara perhitungannya.

 

Idealnya, konsep bank syariah seharusnya mampu meringankan beban pembiayaan nasabahnya ketimbang bila nasabah menerima pembiayaan dari bank konvensional. Pada bank syariah, nasabah membayar sesuai dengan kemampuannya atau sesuai kesepakatan proporsi bank dari berapa yang dihasilkannya. Jika sampai terjadi kebalikannya, tentu ada sesuatu yang mesti kita cermati sebabnya.

 

Pada bank konvensional, basis penentuan bunga adalah time value of money. Setiap uang yang pegang bank memiliki cost of fund yang merupakan fungsi waktu. Bunga pembiayaan dihitung berdasarkan berapa bunga dari dana yang berada di bank yang dapat digunakan untuk pembiayaan. Semakin tinggi bunga dari produk simpanan, maka semakin tinggi pula beban bunga yang ditanggung peminjam. Selisih antara suku bunga pembiayaan dan suku bunga simpanan, setelah dipotong biaya operasional/overhead cost akan menjadi keuntungan/laba usaha bank konvensional.

 

Bank konvensional akan selalu berusaha mempertahankan margin yang terdiri dari komponen laba dan biaya operasional, sehingga ketika suku bunga simpanan naik, maka suku bunga pinjaman pun akan naik juga. Demikian juga jika suku bunga pinjaman turun, maka bank konvensional tidak mungkin mempertahankan suku bunga simpanan yang tinggi.

 

Dalam beberapa kasus, bunga pinjaman bank konvensional bisa saja cukup rendah sehingga menyebabkan cicilan menjadi lebih rendah daripada pada bank syariah. Hal itu dapat disebabkan bank konvensional memiliki dana dengan cost of fund yang rendah, misalnya Giro pemerintah daerah.

 

Pembiayaan bank syariah dapat pula menjadi kelihatan lebih tinggi beban cicilannya. Hal ini dapat disebabkan karena kebanyakan bank syariah menyalurkan pembiayaan melalui skim jual beli murabahah di mana marginnya ditetapkan tidak jauh dari ekivalen suku bunga pinjaman bank konvensional. Bank konvensional yang memiliki dana-dana murah dapat saja menjual pinjamannya lebih rendah dari suku bunga pasar, sehingga membuat cicilan menjadi lebih ringan.

 

Pembiayaan dengan skim bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) masih terhambat beberapa hal antara lain menyangkut transparansi kegiatan usaha dan keuangan pihak yang dibiayai. Hal lain yang juga menjadi hambatan adalah karena bagi hasil yang dibayarkankan nasabah kepada bank syariah sangat tergantung dari keuntungan usaha, maka ketika keuntungan usaha meningkat pesat, nasabah pun membayar lebih tinggi secara nilai namun tetap secara nisbah. Di sisi lain modal dari bank syariah tidak bertambah bahkan cenderung turun dengan pembayaran pokok pembiayaan. Jika nilai bagi hasil yang dibayarkan ke bank syariah dicari prosentasenya, maka akan terlihat ekivalen suku bunganya sangat tinggi. Pada saat seperti ini biasanya nasabah akan mulai merasa keberatan jika melihat perbandingan ini, padahal sesungguhnya mungkin saja nasabah pernah terbantu karena membayar bagi hasil dengan ekivalen suku bunga yang rendah ketika keuntungan usahanya masih kecil.

 

Masalah yang diungkap Pak Imam ini memang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bank syariah. Bank syariah harus memiliki strategi produk yang tepat agar produk jual beli murabahah-nya dapat berbasis indeks barang dan tidak perlu mengambil referensi dari suku bunga pasar. Bank syariah juga harus siap untuk tidak hanya sekedar menyalurkan pembiayaan kepada sektor usaha, namun ikut andil membina bisnis, keuangan dan manajemen usaha, sehingga nasabah merasa terbantu dan dapat memahami konsep bagi hasil serta ikhlas dalam berbisnis dengan pembiayaan bank syariah.

 

Dalam hal saat ini bank syariah masih kebanyakan membiayai sektor konsumtif, ini juga terkait dengan usia dan pengalaman bank syariah itu sendiri. Dalam dunia perbankan, jauh lebih mudah untuk menyalurkan dana ke sektor konsumtif daripada untuk pembiayaan usaha. Barang yang dibiayai jelas, penghasilan nasabah pun dapat dengan mudah dianalisa.

 

Untuk menyalurkan dana ke sektor usaha, bank syariah membutuhkan pengalaman dan tenaga ahli untuk menganalisa usaha termasuk membina usaha tersebut ketika pembiayaan berlangsung. Dibutuhkan usaha keras dari bank syariah untuk dapat segera terjun ke sektor usaha riil, karena di sinilah seharusnya bank syariah dapat bermitra mengembangkan usaha nasabahnya sekaligus meningkatkan keuntungan usaha bank syariah, bukan sekedar melakukan pembiayaan jual beli barang. Saya pribadi melihat bahwa fenomena ini pun disadari oleh bank syariah yang ada di Indonesia dan mereka sangat serius untuk mulai masuk ke pembiayaan usaha.

 

Semoga Pak Imam dan calon nasabah yang ingin mendapatkan pembiayaan untuk usahanya dari bank syariah tidak perlu menunggu terlalu lama lagi.

 

Dikutip dari niriah.com

Tidak ada komentar: