03 Juni 2008

Islam Menjawab Ahmadiyah

Senin, 02 Juni 2008

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, permainan media sangat canggih
bisa menjadi fitnah bagi umat Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
ke-236

Oleh: Adian Husaini

Harian Republika (23 Mei 2008) menurunkan artikel berjudul "Ahmadiyah
Menjawab", karya MB Shamsir Ali SH SHD, Plt. Sekretaris Media dan Informasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Isinya berupa penegasan bahwa Ahmadiyah adalah
satu Jamaah Islam. Sejak keluarnya artikel tersebut, saya menerima sejumlah
SMS yang meminta agar artikel tersebut dijawab.

Syukurlah, pada 26 Mei 2008, Republika menurunkan artikel Dr. Syamsuddin
Arif yang berjudul "Solusi Masalah Ahmadiyah". Artikel ini dengan sangat
gamblang menjelaskan apa dan bagaimana Ahmadiyah dan mengapa para
cendekiawan dan ulama besar di dunia Islam sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah
adalah aliran di luar Islam. Catatan berikut ini akan lebih memperjelas
bagaimana sebenarnya posisi Ahmadiyah dan Islam, khsusunya dari sisi pandang
Ahmadiyah sendiri.

Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh
Ahmadiyah dan pendukungnya - yang biasanya mengaku bukan pengikut Ahmadiyah
- sering mengangkat "logika persamaan". Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari
Islam, karena banyak persamaannya. Al-Quran-nya sama, syahadatnya sama,
shalatnya sama, dan hal-hal yang sama lainnya. Maka, kata mereka, demi
keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui
saja sebagai bagian dari Islam.

Benarkah logika semacam ini?

Penyair dan cendekiawan Muslim terkenal asal Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal
(1873-1938), pernah menulis sebuah buku berjudul "Islam and Ahmadism" (Tahun
1991 di-Indonesiakan oleh Makhnun Husein dengan judul "Islam dan Ahmadiyah".
Terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad bahwa dia adalah nabi dan penerima wahyu,
Iqbal mencatat: "Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah
orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai
pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka
menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir."

Lebih jauh Iqbal menyatakan: "Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang
secara historik timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai
landasannya dan menyatakan semua ummat Muslim yang tidak mengakui kebenaran
wahyunya itu sebagai orang-orang kafir, sudah semestinya dianggap oleh
setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu
memang sudah semestinya, karena integritas ummat Islam dijamin oleh Gagasan
Kenabian Terakhir (Khatamun Nabiyyin) itu sendiri."

Dalam menilai Ahmadiyah, Iqbal tidak terjebak kepada retorika logika
persamaan. Iqbal mengacu pada inti persoalan, bahwa Ahmadiyah berbeda dengan
Islam, sehingga dengan tegas ia menulis judul bukunya, Islam and Ahmadism.
Titik pokok perbedaan utama antara Islam dan Ahmadiyah adalah pada status
kenabian Mirza Ghulam Ahmad; apakah dia nabi atau bukan? Itulah pokok
persoalannya.

Umat Islam yakin, setelah nabi Muhammad saw, tidak ada lagi manusia yang
diangkat oleh Allah sebagai nabi dan mendapatkan wahyu. Tidak ada! Secara
tegas, utusan Allah itu sendiri (Muhamamd saw) yang menegaskan:
"Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing
mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi
sesudahku." (HR Abu Dawud).

Jadi, umat Islam yakin, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat
wahyu setelah nabi Muhammad saw - apakah Musailamah al-Kazzab, Lia Eden,
atau Mirza Ghulam Ahmad - pasti bohong. Itu pasti! Inilah keyakinan Islam.
Karena itu, pada 7 September 1974, Majelis Nasional Pakistan menetapkan
dalam Konstitusi Pakistan, bahwa semua orang yang tidak percaya kepada Nabi
Terakhir Muhammad secara mutlak dan tanpa syarat telah keluar dari kelompok
umat Islam.

Sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah sebenarnya juga dilakukan berbagai agama
lain. Protestan harus menjadi agama baru karena menolak otoritas Gereja
Katolik dalam penafsiran Bibel, meskipun antara kedua agama ini banyak
sekali persamaannya. Tahun 2007, sebagian umat Hindu di Bali membentuk agama
baru bernama agama Hindu Bali, yang berbeda dengan Hindu lainnya. Agama
Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan. Bibel Yahudi juga dipakai
oleh kaum Kristen sebagai kitab suci mereka (Perjanjian Lama). Tapi, karena
Yahudi menolak posisi Yesus sebagai juru selamat, maka keduanya menjadi
agama yang berbeda.

Logika persamaan harus diikuti dengan logika perbedaan, sebab "sesuatu"
menjadi "dirinya" justru karena adanya perbedaan dengan yang lain. Meskipun
banyak persamaannya, manusia dan monyet tetap dua spesies yang berbeda.
Akal-lah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan monyet. Setampan
apa pun seekor monyet, dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia.

Jika umat Islam bersikap tegas dalam soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pihak
Ahmadiyah juga bersikap senada. Siapa pun yang tidak beriman kepada kenabian
Ghulam Ahmad, dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa
dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah.

Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai - sebuah penerbit buku Ahmadiyah -
menerjemahkan buku berjudul Da'watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya
Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis
buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah
(1914-1965). Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, dan pada tahun
1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul "Invitation to Ahmadiyyat".

Para pendukung Ahmadiyah - dari kalangan non-Ahmadiyah - baiknya membaca
buku ini, sebelum bicara kepada masyarakat tentang Ahmadiyah. Ditegaskan di
sini: "Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat
menjumpai Allah Ta'ala di luar Ahmadiyah." (hal. 377).

Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Masih al-Mau'ud mewajibkan umat
Islam untuk mengimaninya. Kata Bashiruddin Mahmud Ahmad: "Kami sungguh
mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk
menyongsong dengan baik utusan Allah Ta'ala yang datang guna menzahirkan
kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan
beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak
keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan
mendatangkan keberkatan." (hal. 372).

Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad - yang oleh kaum Ahmadiyah juga
diberi gelar r.a. (radhiyallahu 'anhu), setingkat para nabi -- bukti-bukti
kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua
nabi selain Nabi Muhammad saw. Sehingga, kata dia: "Apabila iman bukan
semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan
hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari
kedua hal yaitu mengingkari semua nabi atau menerima pengakuan Hadhrat Masih
Mau'ud a.s." (hal. 372).

Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: iman kepada Ghulam Ahmad
atau ingkar kepada semua nabi? Bandingkan logika kaum Ahmadiyah ini dengan
ultimatum Presiden George W. Bush: "You are with us or with the terrorists".
Oleh Ahmadiyah, umat Islam dipojokkan pada posisi yang tidak ada pilihan
lain kecuali memilih beriman kepada para nabi dan menolak klaim kenabian
Mirza Ghulam Ahmad.

Masih belum puas! Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini:
"Jadi, sesudah Masih Mau'ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau
akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi
penghalang di jalan Masih Mau'ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak
menginginkan adanya Islam." (hal. 374).

Jadi, begitulah pandangan dan sikap resmi Ahmadiyah terhadap Islam dan umat
Islam. Dan itu tidak aneh, sebab Mirza Ghulam Ahmad sendiri mengaku pernah
mendapat wahyu seperti ini: Anta imaamun mubaarakun, la'natullahi
'alalladzii kafara (Kamu - Mirza Ghulam Ahmad - adalah imam yang diberkahi
dan laknat Allah atas orang yang ingkar/Tadzkirah hal. 749). Ada lagi wahyu
versi dia: "Anta minniy bimanzilati waladiy, anta minniy bimanzilatin laa
ya'lamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu
bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk/Tadzkirah,
hal. 236).

Itulah Ahmadiyah, yang katanya bersemboyan: "Love for all. Hatred for None".
Namanya juga slogan! Zionis Israel pun juga mengusung slogan "menebar
perdamaian, memerangi terorisme". Kaum Ahmadiyah pun terus-menerus menteror
kaum Muslim dengan penyebaran pahamnya.

Dalam Surat Edaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 25 Ihsan 1362/25 Juni
1983 M, No. 583/DP83, perihal Petunjuk-petunjuk Huzur tentang Tabligh dan
Tarbiyah Jama'ah, dinyatakan:

"Harus dicari pendekatan langsung dalam pertablighan. Hendaknya
diberitahukan dengan tegas dan jelas bahwa sekarang dunia tidak dapat
selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia akan terpaksa menerima Pimpinan
Ahmadiyah. Tanpa Ahmadiyah dunia akan dihimpit oleh musibah dan kesusahan
dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah, tentu akan mengalami
kehancuran."

Umat Islam sangat cinta damai. Tetapi, umat Islam tentunya lebih cinta
kepada kebenaran. Demi cintanya kepada kebenaran dan juga pada ayahnya, maka
Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada ayahnya, "Aku melihatmu dan kaummu dalam
kesesatan yang nyata!"

Nabi Ibrahim a.s. dan semua Nabi adalah para pecinta perdamaian. Rasulullah
saw juga pecinta damai. Tetapi, dalam masalah aqidah, kebenaran lebih
diutamakan. Nabi Ibrahim harus mengorbankan kehidupannya yang harmonis
dengan keluarga dan kaumnya, karena beliau menegakkan kalimah tauhid. Beliau
menentang praktik penyembahan berhala oleh kaumnya, meskipun beliau harus
dihukum dan diusir dari negerinya.

Dalam kasus Nabi palsu, misalnya, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu
Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah
menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam
masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak
dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan
aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap
tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti
yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam.

Masalah aqidah, masalah iman, inilah yang jarang dipahami, atau sengaja
diketepikan dalam berbagai diskusi tentang Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah
eksis adalah karena iman. Berbagai kelompok yang mendukung Ahmadiyah di
Indonesia sebenarnya sudah sangat keterlaluan, karena mencoba untuk
menafikan masalah iman ini. Bahkan tindakan-tindakan mereka - apalagi yang
mengatasnamakan Islam dan menggunakan dalil-dalil Al-Quran -- lebih merusak
Islam ketimbang Ahmadiyah itu sendiri.

Umat Islam Indonesia memang sedang menghadapi ujian berat. Hal-hal yang
jelas-jelas bathil malah dipromosikan. Lihatlah TV-TV kita saat ini, begitu
gencarnya menyiarkan aksi-aksi kaum homo dan lesbi, seolah-olah mereka tidak
takut pada azab Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Luth. Bahkan, para
aktivis Liberal seperti Guntur Romli, pada salah satu tulisannya di Jurnal
Perempuan, dengan sangat beraninya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat
Al-Quran, sehingga akhirnya menghalalkan perkawinan sesama jenis.

Aktivis liberal yang satu ini juga sudah sangat keterlaluan dalam menghina
Al-Quran. Dia menulis dalam salah satu artikelnya (Koran Tempo, 4 Mei 2007),
yang berjudul "Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah" bahwa:

"Al-Quran adalah "suntingan" dari "kitab-kitab" sebelumnya, yang disesuaikan
dengan "kepentingan penyuntingnya" . Al-Quran tidak bisa melintasi "konteks"
dan "sejarah", karena ia adalah "wahyu" budaya dan sejarah."

Kita juga tidak mudah memahami pemikiran dan kiprah tokoh liberal lain
seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, yang begitu
beraninya membuat-buat hukum baru yang menghalalkan perkawinan muslimah
dengan laki-laki non-Muslim dan perkawinan manusia sesama jenis. Meskipun
sudah mendapat kritikan dari berbagai pihak, tetap saja dia tidak peduli.
Bahkan, di Jurnal Perempuan edisi khusus tentang Seksualitas Lesbian, dia
memberikan wawancara yang sangat panjang. Judul wawancara itu pun sangat
provokatif: "Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia."

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, karena permainan media yang yang
sangat canggih, berbagai fitnah dapat menimpa umat Islam. Orang-orang yang
jelas-jelas merusak Islam ditampilkan sebagai pahlawan kemanusiaan.
Sedangkan yang membela Islam tidak jarang justru dicitrakan sebagai
"penjahat" kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, disamping terus-menerus
berusaha menjelaskan, mana yang haq dan mana yang bathil, kita juga
diwajibkan untuk berserah diri kepada Allah SWT. Kita yakin, dan tidak
pernah berputus asa, bahwa Allah adalah hakim Yang Maha Adil. [Depok, 25 Mei
2008/ <http://hidayatullah .com/ <http://hidayatullah.com/> > www.hidayatullah. com]

1 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.