06 Januari 2010

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-275


Saturday, 02 January 2010 10:38

Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa
dengan Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-275

Oleh: *Dr. Adian Husaini*

Pada 27 Desember 2009, saya sempat menonton acara Perayaan Natal Bersama
melalui TVRI. Acara itu seperti sudah dianggap sebagai ritual tahunan
kenegaraan. Biasanya pejabat tinggi banyak yang diundang. Malam itu,
Presiden SBY juga datang. Ada juga Wapres Boediono, dan sejumlah pejabat
tinggi negara lainnya. Menyimak rangkaian acaranya, Perayaan Natal
Bersama itu jelas sebagai suatu bentuk Proklamasi agama Kristen dan
realisasi konsep Misi Kristen di Indonesia.

Pesan utama yang ingin disampaikan melalui acara tersebut sangat jelas
bahwa Jesus, Putra Tuhan, sang Juru Selamat sudah tiba untuk menebus
dosa manusia. Berbagai lagu dan sendratari yang ditampilkan membawa
pesan tersebut. Disamping lagu dan tari, ada pesan Natal dan juga Doa
Syafaat dibawakan oleh pejabat KWI (Katolik) dan PGI (Protestan).

Menarik jika kita amati wajah Pak SBY dan pejabat muslim lainnya yang
hadir acara itu. Kita juga mencoba menebak-nebak, apa kira-kira perasaan
Pak SBY dan orang Muslim di situ, ketika mendengar lagu-lagu dan seruan
tentang kedatangan Jesus sebagai anak Allah dan Juru Selamat. Kita
berprasangka baik, dan menduga-duga, hati Pak SBY yang Muslim itu pasti
berkata: “Ini tidakbenar! Sebab, saya Muslim. Saya yakin benar, bahwa
Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Saya yakin, Nabi Isa adalah utusan
Allah, rasul Allah; bukan Tuhan atau anak Tuhan.”

Pak SBY yang punya sebuah Majlis Zikir tentu sudah pernah mendengar ayat
Al-Quran:/ “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani
Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang
membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar
gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).”/
(Terjemah QS as-Shaff: 6).

Ada juga ayat Al-Quran yang menyatakan: “/Dan mereka mengatakan, (Allah)
Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa
Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar.
Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan
gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah
punya anak.” /(Terjemah QS Maryam: 88-91).

Sebagai Muslim, Pak SBY tentu paham benar ayat-ayat Al-Quran tersebut.
Dalam Perayaan Natal Bersama itu, orang-orang Muslim “dipaksa” mendengar
cerita-cerita tentang Jesus yang bertentangan dengan keimanan mereka.
Kata beberapa orang, praktik-praktik pencampuran Perayaan Hari Raya
Agama seperti itu perlu dilakukan demi tujuan mulia, yaitu untuk membina
Kerukunan Umat Beragama. Malah, ada yang berpendapat, agar MUI mencabut
fatwa tentang Haram-nya seorang Muslim merayakan Natal Bersama. Sebagai
Muslim, dan juga sebagai Presiden, Pak SBY ketika itu “harus” duduk
mendengarkan semua cerita tentang Jesus, yang sudah pasti tidak
diyakininya. Pada kondisi seperti itulah, Pak SBY juga terpaksa tidak
menyatakan secara terbuka, bahwa dia mempunyai kepercayaan dan keimanan
yang berbeda dengan kaum Nasrani.

Sebenarnya, jika kita berpikir jernih, praktik-praktik semacam ini
seharusnya dihentikan. Membangun kerukunan umat beragama tidak perlu
dilakukan dengan cara-cara yang dapat menyuburkan kemunafikan seperti
itu. Rasulullah saw, para sahabat, dan para ulama Islam – yang sejati –
tidak pernah mengajarkan tindakan seperti itu. Untuk membangun kerukunan
umat beragama, banyak cara lain yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jika
kaum Nasrani merayakan hari raya mereka, di kalangan mereka sendiri, itu
juga tidak ada masalah dan tidak perlu mengundang kontroversi.

Berita tentang ke-Tuhanan Jesus tentu tidak mudah ditelan begitu saja
oleh kaum Muslim. Sebab, Islam memiliki kitab suci Al-Quran yang dengan
sangat gamblang menjelaskan kesalahan kepercayaan kaum Kristen tersebut.
Al-Quran menyatakan, bahwa berita tentang penyaliban Jesus (Nabi Isa)
adalah bohong belaka. Penyaliban Jesus, dalam pandangan Islam, tidak
memiliki dasar yang kuat. “/Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang
yang berkata: “Allah mengambil seorang anak. Mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Begitu pula nenek moyang mereka.
Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak
mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.”/ (Terjemah QS al-Kahfi: 4-5).

Ayat-ayat dalam kitab suci yang secara tegas membantah klaim-klaim kaum
Kristen tentang ketuhanan Jesus seperti ini hanya dijumpai dalam
Al-Quran. Ayat semacam itu tidak kita dijumpai pada Kitab Veda (Hindu),
Tripitaka (Budha), atau Su Si (Konghucu). Karena itu, wajar, selama
seorang mengaku dan meyakini keimanan Islam-nya, hatinya akan dengan
tegas menolak semua pernyataan yang tidak benar tentang Nabi Isa. Kaum
Ahlul Kitab yang hatinya ikhlas dalam menerima kebenaran pasti akan
mengakui kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Quran (QS 3:199).

Keyakinan kaum Muslim tentang Nabi Isa seperti itu seharusnya dihormati
oleh kaum Kristen. Sehingga, tidaklah etis jika “memaksa” seorang Muslim
yang berpegang kepada iman Islam-nya untuk duduk mendengar cerita
tentang Yesus dalam versi Kristen yang sama sekali berbeda versinya
dengan cerita tentang Nabi Isa dalam versi Islam. Inilah sebenarnya
hakekat saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Mereka bisa
bekerjasama satu sama lain, dalam berbagai hal. Tetapi, bukan
membiasakan diri bersikap “pura-pura” dalam soal keimanan. Sikap saling
menghormati bisa ditumbuhkan dengan tetap berpegang kepada keimanan
masing-masing.

Islam juga menghormati sikap pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II,
ketika menyatakan, bahwa Islam, bahwa Islam bukanlah agama penyelamatan:
“Islam is not a religion of redemption.” Paus juga menyatakan, dalam
Islam tidak ada ruang bagi Salib dan Kebangkitah Yesus. Yesus memang
disebutkan, tetapi, kata Paus, dia hanya sekedar seorang Nabi, yang
menyiapkan kedatangan Nabi terakhir, yaitu Muhammad. Karena itulah, Paus
berkesimpulan: /“For this reason, not only the theology but also the
anthropology of Islam is very distant from Christianity/.” Jadi,menurut
Paus, secara teologis dan antropologis, ada perbedaan yang mendasar
antara Islam dan Kristen. (Lihat, John Cornwell,/ The Pope in Winter:
The Dark Face of John Paul II’s Papacy/, (London: Penguin Books Ltd.., 2005).

Ada lagi yang sering tidak dipahami oleh pemeluk agama selain Islam atau
bahkan kalangan Muslim sendiri. Yaitu, bahwasanya Islam adalah agama
wahyu yang memiliki uswah hasanah (contoh teladan). Sebagai agama wahyu
(agama langit), Islam mendasarkan keyakinan dan semua praktik ritualnya
berdasarkan wahyu dan contoh dari Nabi Muhammad saw. Karena itu, hanya
orang Muslim yang kini memiliki bentuk ibadah yang satu. Orang Muslim
membaca al-Fatihah yang sama dalam shalat; ruku’ dengan cara yang sana;
sujud dengan cara yang sama, dan salam dengan cara yang sama pula. Semua
itu ada contoh dari Nabi Muhammad saw.

Bahkan, kaum Muslim berdebat tentang hal-hal yang “kecil” dalam ibadah
shalat, seperti apakah dalam tahiyat, jari telunjuk digerakkan atau
tidak. Sebab, memang ada riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw
tentang hal itu. Yang jelas, semua Muslim ingin mencontoh Sang Nabi
sampai hal-hal yang “kecil” seperti itu diperdebatkan. Tapi, semua orang
Muslim, saat melaksanakan tahiyat dalam shalat, pasti mengeluarkan jari
telunjuk, bukan jari jempol atau jari kelingking.

Karena kuatnya berpegang pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam ibadah
itulah, maka –misalnya -- orang Islam tidak mudah untuk diajak mengganti
salam Islam dengan salam lainnya. Karena salam resmi orang Islam, sesuai
ajaran Nabi saw adalah: Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”
Ucapan salam seperti ini berdasarkan contoh dari Nabi Muhammad, bukan
berasal dari budaya atau hasil Kongres umat Islam pada saat tertentu. Di
mana pun, kapan pun, umat Islam akan mengucapkan salam seperti itu. Apa
pun suku dan bangsanya. Upaya untuk “pribumisasi” salam Islam dan
menggantinya dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya, telah gagal
dilakukan. Dulu, semasa menjabat sebagai Menteri P&K (1978-1982), Dr.
Daoed Joesoef menolak mengucapkan salam Islam, dengan alasan, ia bukan
hanya menterinya orang Islam.

Sekarang, cara berpikir Daoed Joesoef itu sudah out of date, sudah
ketinggalan zaman. Kini, Presiden SBY pun sangat fasih dalam mengucapkan
salam. Bahkan, biasanya ia mendahului dengan ucapan basmalah. Sekarang
sudah banyak tokoh non-Muslim yang dengan lancar mengucapkan salam
Islam. Saya pernah bertanya kepada seorang tokoh non-Muslim, apakah dia
boleh mengucapkan salam Islam, seperti yang baru saja dia ucapkan. Dia
menjawab: Boleh!

Kondisi seperti itu berbeda dengan umat Islam. Untuk urusan salam saja,
Rasulullah saw memberikan contoh dan panduan yang sangat rinci.
Bagaimana seharusnya seorang Muslim memberikan salam kepada sesama
Muslim, bagaimana menjawab salam dari non-Muslim, dan sebagainya. Umat
Islam secara ikhlas berusaha mengikuti apa yang diajarkan oleh
Rasulullah saw tersebut. Sifat dan posisi ajaran Islam seperti ini
seyogyanya dipahami. Termasuk dalam soal perayaan Hari Besar Agama.
Panduan dalam soal ini juga sangat jelas. Karena itu, jika umat Islam
menolak untuk mengikuti Perayaan Hari Besar agama lain, itu pun harusnya
dipahami dan tidak dicap sebagai bentuk rasa permusuhan dengan agama
lain. Pemahaman akan sifat dan karakter masing-masing agama itu perlu
dipahami oleh masing-masing tokoh agama, agar tidak memaksakan
pemahamannya kepada orang lain.

Budaya dan Misi

Aspek lain yang menonjol dalam Peraayaan Natal Bersama 27 Desember 2009
adalah upaya kaum Kristen untuk menampilkan citra adanya penyatuan
Kristen dengan budaya Indonesia. Para penari mengenakan pakaian adat
dari berbagai daerah. Citra penyatuan Kristen dengan adat istiadat di
Indonesia sudah lama diusahakan oleh para misionaris di Indonesia.
Strategi budaya dijalankan agar misi Kristen lebih mudah diterima oleh
rakyat Indonesia, dan agar citra Kristen sebagai agama penjajah dapat
hilang di mata rakyat.

Penyebaran agama Kristen dengan strategi budaya Jawa pada dekade pertama
abad XX, misalnya, terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit dan juga misi
Katolik pada umumnya. Misi Kristen ingin menggusur atau memisahkan citra
penyatuan Islam dengan Jawa. Tokoh misionaris Katolik, misalnya, telah
lama berusaha menggusur dominasi bahasa Melayu dan menggantinya dengan
bahasa Jawa. Di sekolah Katolik di Muntilan, misalnya, penggunaan bahasa
Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu identik dengan
bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan
menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.

J.D. Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan:
“/Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu
bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga
bangsanya./”

Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan:
“Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda)
adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang
lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa
dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi
sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa
dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.
(Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang
Katolik di Indonesia).

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl.
Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru
di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku
ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara
provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan
budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari
sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena
dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Upaya untuk menggusur bahasa Melayu dari kehidupan berbangsa di
Indonesia, sebagaimana dipromosikan van Lith tidak berhasil dilakukan.
Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku bangsa justru
mendeklarasikan: “Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Demi persatuan
bangsa, para pemuda dari Jawa juga merelakan bahasa Jawa tidak dijadikan
sebagai bahasa nasional Indonesia.

Van Lith, yang datang ke Indonesia pada 1896, menulis dalam sebuah
suratnya:

    “Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada
    Kristus, mereka harus menemukan titik-awal bagi penginjilan. Di
    dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para
    misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu
    untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa,
    khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan
    ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa
    adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini
    telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati
    orang-orang ini.”

Dalam salah satu artikelnya yang ditemukan sesudah kematiannya, van Lith
juga menyemangati teman-teman misionaris agar menempatkan diri sesama
warga dengan orang Jawa:

    “Kalau kita, orang Belanda, ingin tetap tinggal di Jawa dan hidup
    dalam damai dan menikmati keindahan serta kekayaan pulau tercinta
    ini, maka ada satu tuntutan, yaitu bahwa kita harus selalu belajar
    memperlakukan orang Jawa sebagai saudara kita. Di tengah-tengah
    orang Jawa, kita tidak bisa berlagak seperti penguasa, atau sebagai
    majikan, atau sebagai komandan, tetapi seharusnya sebagai sesama
    warga. Kita harus belajar menyesuaikan diri, belajar menguasai
    bahasa orang-orang ini dan adat kebiasaan mereka; hanya dengan
    berlaku demikian kita bisa menjalin persahabatan dengan mereka ini.”

Demi pendekatan budaya, van Lith sampai bisa menerima orang Katolik Jawa
melakukan sunat. Padahal, dalam suratnya, Paulus menyatakan:
“Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan
dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”. (Gal. 5,2). Van
Lith menerima sunat bagi orang Katolik Jawa, tetapi menolak tambahan doa
Arab (Islam). Ia juga menentang sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi
Muslim.

Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa
dengan Islam. Sebab, orang Jawa memang sangat kokoh memegang
identitasnya sebagai Muslim, meskipun mereka belum mengamalkan ajaran
Islam sepenuhnya. Sulitnya orang Jawa ditembus misi Kristen digambarkan
oleh tokoh misi Katolik, Pater van den Elzen, dalam sebuah suratnya
bertanggal 19 Desember 1863:

    “Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka
    tidak mempraktekkannya. Mereka tidak bertindak sebagai Muslim
    seperti dituntut oleh ajaran “Buku Suci” mereka. Saya tidak dapat
    mempercayai bahwa tidak ada satu pun orang Jawa menjadi Katolik
    semenjak didirikannya missi pada tahun 1808. Dulunya Jawa ini
    sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika
    Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti
    sekarang, mengapa Santo Fransiskus Xaverius tidak pernah
    menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia mendapat informasi yang
    amat akurat tentang penduduk di wilayah ini, termasuk Jawa. Dan
    Portugis yang telah berhasil menduduki beberapa tempat disini
    menganjurkan agar ia pergi ke Maluku, Jepang, dan Cina, karena tahu
    tak ada apa-apa yang bisa dibuat di Jawa. Akan tetapi, dalam
    pandanganku di pedalaman toh ada sesuatu yang dapat dilakukan..”

Demikianlah semangat misi Kristen untuk mengubah agama orang Jawa, dari
Islam menjadi Kristen. Berbagai cara telah dan terus digunakan untuk
menjalankan misi tersebut. Kaum Muslim memahami semangat kaum Kristen
tersebut. Tapi, tentunya, tidak mudah bagi kaum Muslim untuk menerima
begitu saja usaha kaum misionaris tersebut. Sebab, bagi orang Muslim,
keimanan adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan mereka.
 
Dikutip dari Sumber:

[Depok, 14 Muharram 1431 H/1 Januari 2010/www.hidayatullah.com<http://www.hidayatullah.com>]

Tidak ada komentar: